Ketika
bencana kekeringan melanda Madinah, sumur Rum menjadi satu-satunya sumber mata
air bagi penduduk. Sayangnya, sumur tersebut milik seorang Yahudi tua bernama
Yusuf. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk menjual air sumur dengan harga
sekehendaknya.
Melihat keadaan penduduk
Madinah, Utsman bin Affan ra segera
menemui Yusuf, si pemilik sumur. “Wahai Yusuf, maukah engkau menjual sumur Rum
ini kepadaku?”
Yahudi tua yang mendapatkan banyak
keuntungan dari sumur itu menolak. “Tidak, saya tidak akan menjualnya kepada
siapa pun!” katanya.
Menyadari situasi ini, Utsman dengan
cepat menyusun siasat. “Saya tahu sumber
pendapatan Anda
berasal dari sumur ini. Tapi bagaimana kalau saya membelinya separuh saja. Dengan demikian, saya bisa mengambil air dari sumur ini sehari, lalu hari berikutnya Anda bisa memanfaatkannya.”
berasal dari sumur ini. Tapi bagaimana kalau saya membelinya separuh saja. Dengan demikian, saya bisa mengambil air dari sumur ini sehari, lalu hari berikutnya Anda bisa memanfaatkannya.”
Yahudi tua itu berpikir. “Ah, tentu
akan sangat menguntungkan. Aku bisa menjualnya dengan harga tinggi,” katanya
dalam hati. “Baiklah kalau begitu. Aku jual separuh sumur ini dengan harga 12
ribu dirham!”
Harga yang sangat mahal untuk sebuah
sumur. Namun Utsman tak ragu untuk membelinya. Setelah membayar seharga yang
diinginkan, Utsman menyuruh pelayannya untuk mengumumkan kepada para penduduk,
bahwa mereka bebas mengambil sumur Rum secara gratis pada hari yang menjadi
haknya.
Sejak saat itu, penduduk Madinah
bebas mengambil air sebanyak mungkin untuk keperluan mereka. Lain halnya dengan
si Yahudi tua. Ia kebingungan lantaran tak seorang pun yang membeli airnya.
Ketika Utsman datang menemuinya untuk membeli separuh sisa air sumurnya, ia
tidak bisa menolak.
Peristiwa tersebut selain
menunjukkan kecerdikan Utsman, juga mencerminkan kedermawanannya. Ia tidak
segan-segan mengorbankan kekayaannya untuk kepentingan kaum muslimin. Tindakan
seperti itu, bukan sekali dua kali ia lakukan. Kala meletus perang Tabuk, ia
menyedekahkan seluruh hartanya sehingga mencapai 900 ekor unta dan 100 ekor
kuda. Belum lagi uang yang jumlahnya ribuan dinar. Tindakan yang sama juga
dilakukan sahabat lain, seperti Abu Bakar Shiddiq, Abdurahman bin Auf, Umar bin
Khathab, Thalhah bin Ubaidillah, dan beberapa sahabat lainnya.
Begitu gigihnya para sahabat
berlomba menginfakkan harta ini, karena mereka tahu keutamaannya. Allah
berfirman, “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir. Pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki...,” (QS al-Baqarah: 261).
Sayangnya, tidak banyak orang yang
memiliki kedermawanan semisal Utsman bin Affan. Orang-orang yang memiliki
kekayaan melimpah ternyata amat enggan berinfak. Seakan-akan mereka akan jatuh
miskin bila mengeluarkan sebagian hartanya untuk orang-orang yang membutuhkan.
Mengapa mereka begitu enggan memberi?
Ada beberapa faktor yang
menyebabkannya. Antara lain, cinta dunia dan takut (siksa) akhirat. Ini adalah
sifat orang kafir. Mereka yang diuji Allah dengan kemegahan dunia, jika tidak
bisa mengendalikannya akan cenderung bersikap bakhil. Ia takut pemberiannya
akan menyebabkan hartanya berkurang, dan orang lain bertambah kaya. Padahal
tidak pernah ada cerita orang yang dermawan jatuh miskin. Bahkan sebaliknya,
malah bertambah kaya lantaran Allah sendiri memberikan jaminan melalui
firman-Nya, “Dan apa saja yang kamu nafkahkan, Allah akan menggantinya,”
(QS Saba’: 39).
Selain
itu, kelemahan untuk mengendalikan hawa nafsu juga menyebabkan orang bersikap
bakhil. Apalagi pada dasarnya manusia yang tidak memiliki pondasi iman
yang kokoh memang memilik sifat kikir.
Allah berfirman, “Dan sesungguhnya dia (manusia) sangat bakhil karena
cintanya kepada harta,” (QS al-‘Aadiyaat: 8). Dalam sebuah hadits,
Rasulullah saw bersabda, “Anak Adam tumbuh dan menjadi besar bersama kecintaan
terhadap dunia dan panjang usia,” (HR Bukhari).
Menurut Ibnu Hajar, sesuatu yang
paling disukai manusia adalah dirinya sendiri. Dia menginginkan dirinya tetap
hidup. Harta adalah salah satu sarana utama agar manusia bisa menghindari kematian. Karenanya, setiap kali si bakhil
kehilangan harta, setiap kali pula ia merasa usianya semakin pendek.
Sebaliknya, semakin banyak harta yang ia kumpulkan, semakin tebal tingkat
kekikirannya. Akhirnya yang muncul pada dirinya tidak hanya sifat kikir, tapi juga
dengki.
Apabila penyakit dengki sudah
melanda seseorang, ia tidak semata cinta kepada harta yang berada di tangannya,
tapi kekayaan orang lain pun ingin ia miliki. Dengan segala tenaga dan usaha ia
tempuh agar milik orang lain itu jatuh ke pangkuannya. Akibatnya yang muncul
adalah keserakahan, ketamakan dan
ambisi. Untuk mewujudkannya ia tak segan-segan menempuh segala cara.
Jika seseorang sudah merasa memiliki
apa yang ia kehendaki dan mampu mewujudkan segala impiannya, akan mudah
terjangkit penyakit sombong. Dan, inilah awal dari segala kehancuran. Iblis
terjerumus ke neraka akibat kesombongannya tidak mau sujud kepada Nabi Adam as.
Qarun terperosok ke dalam tanah bersama kekayaannya akibat kesombongan dan
kekikirannya.
Sifat bakhil, dengki dan sombong
ibarat api dengan asap yang tidak bisa dipisahkan. Ketiganya laksana lautan
dengan pantai. Sifat-sifat tersebut tidak hanya berakibat kepada yang
bersangkutan saja, tapi juga terhadap orang-orang sekitarnya. Kelangsungan
dakwah akan terhambat lantaran tidak adanya kekompakan antar juru dakwah.
Sebaliknya, umat akan terjebak kepada perpecahan. Seiring dengan itu, beban
dakwah akan semakin berat, perjalanannya pun akan semakin panjang dan berliku.
Karena
itu, saatnya menyatukan umat dengan menumbuhkan kedemawanan. Saatnya
meringankan beban dakwah dengan saling memberi. Saatnya memperpendek jalannya
dakwah dengan menyingkirkan kekikiran. Mari tumbuhkan kedermawanan. Mari
singkirkan kekikiran.Sumber : "101 Butiran Dakwah" Karya Ust. Hepi Andi Bastoni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar