Keikhlasan adalah kunci untuk menggapai kedamaian. Kita harus senantiasa
menjaganya dari deraan ambisi dan
kepentingan.
Dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib berhasil melumpuhkan lawannya.
Namun, ketika ia akan mengayunkan pedang, musuh yang saat itu terkapar tak berdaya, meludahi wajahnya. Melihat
perilaku lawannya yang menjijikkan
tersebut, Ali bin Abi Thalib bukannya mempercepat tebasan senjatanya,
tapi malah menariknya ke belakang. Ia urung membunuh lantaran khawatir tindakannya itu tak lagi
dilandasi keikhlasan berjuang di jalan
Allah. Tapi, karena murka atas perlakuan
musuhnya.
Sikap Ali di atas menunjukkan bahwa
kedudukan niat sangatlah penting dalam semua pekerjaan. Niatlah yang akan
menentukan apakah pekerjaan itu bernilai pahala, atau sebaliknya berlumur dosa.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Umar bin Khathab Rasulullah
bersabda, “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya. Setiap orang
hanya memperoleh menurut apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa
yang berhijrah untuk dunia yang ingin ia dapatkan, atau wanita yang hendak ia
nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia tuju.” (HR Bukhari-Muslim)
Karena itu, satu jenis perbuatan
bisa jadi berbeda kadar pahalanya sesuai dengan perbedaan niat masing-masing.
Suatu amal yang diperkirakan mempunyai dampak besar, tapi jika tidak dilandasi
dengan niat yang tulus, bisa jadi sia-sia. Bahkan, boleh jadi menyebabkan dosa.
Sebaliknya, suatu perbuatan yang kelihatannya sepele, bisa jadi bernilai pahala
besar manakala dilandasi dengan niat yang luhur dan ikhlas.
Kendati demikian, betapapun
pentingnya, niat tak bisa mengubah sesuatu yang haram menjadi halal. Karena
walau bagaimanapun, syari’at tidak bisa ditegakkan dengan niat saja. Setiap
amal hanya akan diterima di sisi Allah jika memenuhi syarat lahir dan batin.
Pertama, keikhlasan niat yang merupakan kebenaran batin. Kedua, mutaaba’ah
(mengikuti) ajaran Rasulullah yang merupakan kebenaran lahir.
Berkenaan dengan ini Allah SWT berfirman, “Dan
siapakah orang yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan
diri kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama
Ibrahim yang lurus.” (QS al-Nisaa’: 125)
Orang yang bekerja dengan ikhlas
akan memperhatikan penilaian Khaliq semata, bukan penilaian makhluk. Seluruh
aktivitasnya ditujukan hanya kepada Allah. Al-Fudhail bin Iyadh pernah berkata,
“Amal yang dikerjakan karena manusia adalah syirik. Meninggalkan amal karena
manusia adalah riya.”
Bagaimana dengan amal yang pada
prinsipnya diniatkan karena Allah, tapi ada kepentingan-kepentingan pribadi
yang menyertainya? Misalnya, orang yang ingin melaksanakan haji, tapi sekaligus
juga mau berniaga. Para mujahid yang ingin berperang di jalan Allah, tapi
terbetik dalam hatinya kemauan mendapatkan ghanimah. Orang yang berpuasa untuk
taqarrub kepada Allah, tapi juga dengan tujuan diet atau hemat. I’tikaf di
masjid untuk beribadah, sekaligus menghemat sewa rumah. Apakah tindakan seperti
ini mendapatkan pahala atau tidak?
Imam al-Ghazali dalam kitabnya
Ihyaa’ Uluumiddin menyebutkan, jika kepentingan pribadi dan niat ikhlas karena
Allah seimbang, maka amal itu tidak mendatangkan pahala dan dosa. Jika pendorong
riya’nya lebih dominan, maka amalnya tidak bermanfaat, bahkan bisa mendatangkan
siksa. Namun, siksanya lebih ringan dibanding perbuatan yang semata karena
riya’ dan tidak dibarengi dengan niat taqarrub kepada Allah.
Jika tujuan taqarrub lebih dominan
daripada pendorong yang lain, maka dia mendapatkan pahala selaras dengan
kekuatan pendorong agama tersebut. Hal ini didasarkan pada firman Allah,
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan
melihat balasannya. Dan, barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat
dzarrah, niscaya ia akan melihat balasannya juga.” ( QS al-Zalzalah : 7– 8 )
Ibnu Rajab al-Hambali berpendapat
lain. Menurutnya, jika suatu amal dilakukan karena Allah dan disekutukan dengan
riya’, maka pahalanya gugur. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi yang
di-takhrij oleh al-Nasa’i dari Abu Umamah al-Bahili, bahwa ada seorang
laki-laki menemui Rasulullah saw seraya bertanya, “Wahai Rasulullah, apa
pendapatmu tentang seseorang yang berperang karena mencari pahala dan
ketenaran?”
Rasulullah saw menjawab, “Dia tidak
memperoleh apa pun.” Kemudian beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak
menerima amal, kecuali diikhlaskan karena-Nya dan untuk mencari keridhaan-Nya.”
Di samping mendulang pahala, ada
sejumlah hikmah yang didapatkan oleh orang yang senantiasa mampu menjaga
keikhlasan. Di antaranya, ketenangan jiwa dan kedamaian hidup. Ia akan merasa
hidupnya terarah lantaran hasratnya terhimpun dalam satu wadah, yaitu meniti
jalan menuju mardhaatillaah. Kejelasan tujuan membuat manusia tenang menghadapi
berbagai guncangan. Di samping tahan banting dan tak mudah putus asa di kala
menghadapi kegagalan serta tak akan sombong ketika menuai kesuksesan.
Hal ini berbeda dengan orang yang
musyrik yang mempunyai tujuan beragam. Hasratnya terpecah dan hatinya terbelah.
Makanya, Allah SWT mengibaratkan seorang mukmin seperti budak yang dimiliki
oleh seorang tuan. Sedangkan seorang musyrik ibarat budak yang diperebutkan
oleh beberapa tuan. Allah berfirman, “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seperti
seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang berserikat yang
sedang berselisih, dan seorang budak yang menjadi milik penuh seorang laki-laki
(saja). Adakah kedua budak itu sama? Segala puji bagi Allah tetapi kebanyakan mereka
tidak mengetahui.” ( QS al-Zumar :29)
Keikhlasan bisa memberikan kekuatan
rohani. Jiwa orang yang ikhlas tidak bisa dikalahkan dengan kekuatan apa pun.
Ia akan mempunyai benteng pertahanan kokoh tak terkalahkan. Apa yang dialami
para sahabat saat berperang melawan musuh cukup sebagai bukti. Walaupun jumlah
mereka jauh lebih sedikit dibanding lawan. Namun, kekuatan rohani yang dibentuk
oleh keikhlasan, membuat mereka mampu menaklukkan musuh yang berlipat ganda.
Dengan kekuatan tersebut, orang yang
berbuat ikhlas mampu melakukan ibadah secara berkesinambungan. Orang yang
beramal sebatas untuk mencukupi kebutuhan makannya, akan menghentikannya jika
tidak mendapatkan apa yang mengenyangkan perutnya. Orang yang beramal karena
mengharap ketenaran atau kedudukan, akan bermalas-malasan jika mengetahui
harapannya kandas. Orang yang beramal lantaran mencari muka di hadapan
pemimpin, akan berhenti jika atasannya dipecat atau meninggal. Sedangkan orang
yang beramal karena Allah, tidak akan memutuskan amalnya sampai kapanpun. Sebab
yang mendorongnya untuk beramal tak akan
pernah punah selamanya.
Orang yang
selalu melandasi aktivitasnya dengan keridhaan Allah, niscaya akan mendapatkan
kemudahan dan pertolongan dari-Nya. Jiwanya senantiasa merasa aman dan
damai. Tak ada yang bisa melepaskan umat
ini dari kesia-siaan, kerugian dan kerusakan kecuali orang-orang ikhlas.
Merekalah yang bertindak atas nama kebenaran, bukan demi hawa nafsu.
Salah satu cara untuk menyempurnakan
keikhlasan adalah banyak membaca dan menyelami kandungan al-Qur’an dan
al-Sunnah. Dengan begitu kita bisa mendapatkan keyakinan tentang bahaya riya’,
gila kedudukan dan dan ketenaran duniawi. Pengetahuan tentang hal itu semua
yang akan memperdalam keyakinan untuk melepaskan diri dari semua kepentingan
semu.
Selain itu, pergaulan dengan
orang-orang ikhlas akan mendorong seseorang berbuat yang sama. Rasulullah saw
memberikan perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk seperti pembawa minyak wangi dan pandai besi. Disengaja atau tidak, orang yang
berteman dengan tukang minyak wangi akan kecipratan harumnya. Sedangkan orang
yang berteman dengan pandai besi, suatu saat pasti akan kena apinya.
Berteman tidak semata berarti
bergaul dalam kehidupan nyata. Membaca
kisah-kisah para mukhlisin juga termasuk cara mendapatkan keikhlasan.
Pengenalan tersebut akan memberikan pengaruh positif terhadap pembacanya.
Kini
di tengah mewabahnya virus kemunafikan, maka satu-satunya jalan yang harus
segera kita tempuh adalah mengembalikan kesucian jiwa. Bersihkan segala noda
dan ambisi yang merusak keikhlasan dalam beramal. Sebab hati ibarat kaca. Jika
tidak dibersihkan ia akan kotor berkarat. Akibatnya, benderang rahmat dan
hidayah Allah pun tak bisa terlihat. Na’uudzubillaah!Sumber : 101 Butiran Dakwah Karya Ust. Hepi Andi Bastoni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar