Hanya
mereka yang mampu berjalan di tanah datar,
yang akan sanggup mendaki bukit. Hanya mereka yang biasa berbuat jujur,
yang akan mampu menghalau kemunafikan.
Kehadiran para dai yang jujur, lapang dada, berpikiran cemerlang dan terbuka
senantiasa didambakan semua orang. Merekalah yang akan mampu membaur dalam
masyarakat tanpa menanggalkan jati dirinya. Karena, untuk menyampaikan sebuah
misi diperlukan infrastruktur yang kokoh. Dengan dilandasi kesabaran dan
kematangan dalam bertindak serta jujur dalam berbuat, misi yang diemban bisa
mengalir sesuai tujuan. Sikap inilah yang telah dicontohkan Rasulullah saw.
Jauh sebelum diutus menjadi nabi,
beliau sudah dikenal sebagai orang yang jujur dan terbuka, al-Amiin. Beliau
merupakan sosok yang tak pernah berdusta sepanjang hidupnya. Walaupun terhadap
hal-hal yang sifatnya canda sekalipun. Pernah seorang perempuan tua menemui
beliau dan bertanya apakah ia akan masuk surga. Sembari tersenyum Rasulullah
berkata, “Nenek-nenek tidak akan masuk surga.” Mendengar ucapan beliau,
perempuan tua itu menangis. Ia merasa telah banyak melakukan amal shalih, tapi
menurut Rasulullah,
nenek-nenek tidak akan masuk surga.
Senyum Rasulullah kian mengembang
melihat reaksi nenek itu. Beliau lalu menjelaskan, bahwa di surga memang tidak
ada nenek-nenek. Semua penghuninya, baik yang meninggal tua atau muda, dengan
izin Allah akan menjadi muda kembali. Tangis nenek itu pun berubah jadi senyum
ceria.
Pada kesempatan lain, tatkala
Rasulullah tengah berdiri di sebuah tempat, tiba-tiba seorang laki-laki dengan
wajah ketakutan berlari ke arahnya, lalu bersembunyi di salah satu tempat tak jauh dari beliau. Tak lama kemudian,
seorang laki-laki lain dengan wajah beringas dan senjata tajam terhunus di
tangan berlari mendatanginya, lalu mengajukan petanyaan, “Apakah engkau melihat
seorang laki-laki lewat?” Rasulullah tahu, orang di depannya bermaksud buruk.
Dengan cepat ia menggeser kedua kakinya seraya menjawab, “Demi Allah, selama
berdiri di sini, saya tidak pernah melihat siapa pun kecuali engkau.” Laki-laki
itu pun berlalu. Rasulullah telah menyelamatkan orang yang bersembunyi di
belakangnya tanpa harus berbohong.
Dengan kejujuran inilah Rasulullah
mengawali dakwahnya. Orang-orang dekat yang selama ini bergaul dengannya tak
meragukan lagi apa yang beliau ucapkan. Karena itu, ketika Rasulullah
menyatakan diri sebagai nabi, mereka langsung menerimanya. Hanya orang-orang
berhati baja dan berkepala batu yang menolak ajaran beliau. Mereka sangat takut
kehilangan harta dan kedudukan.
Tidak hanya orang dekatnya yang
mengakui kejujuran Rasulullah, tapi juga musuhnya. Ketika Musailamah al-Kadzab
menyatakan diri sebagai nabi, para pengikutnya tetap mengakui kejujuran
Rasulullah. Hanya karena ta’ashub terhadap kelompok saja yang membuat mereka
mendukung Musailamah secara membabi buta. “Saya mengakui sungguh Muhammad itu
benar dan Musailamah bohong. Tetapi kebohongan orang Rabi’ah (suku Musailamah)
lebih saya sukai daripada kebenaran orang Mudhar (kabilah Nabi Muhammad),” ujar
salah seorang dari mereka.
Al-Qur’an sendiri banyak mengangkat
figur para nabi sebagai orang yang layak
menerima jabatan atas dasar kejujuran. Merekalah yang mestinya dijadikan
teladan. Berkenaan dengan Nabi Yusuf, Allah berfirman, “Dan raja berkata,
‘Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang dekatku.’ Maka
tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia (Yusuf), raja berkata,
‘Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi orang yang berkedududkan tinggi
lagi dipercaya di sisi kami,’” (QS Yusuf: 56).
Berkenaan dengan Nabi Musa, selain
karena kemampuan, ia diterima bekerja oleh orang tua dua wanita yang
ditolongnya, juga disebabkan kejujuran. Allah berfirman, “Salah seorang dari
kedua wanita itu berkata, ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai pekerja. Sesungguhnya
orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang
yang kuat lagi terpercaya,’” (QS al-Qashash:26)
Secara bahasa al-Amiin berasal dari
kata aamina–ya’manu–amaanatan yang berarti merasa aman atau memberi
kepercayaan. Seseorang dinamakan amiinun,
karena ia bisa memberi rasa percaya atau jujur. Jadi, orang dikatakan
jujur manakala bisa memberi rasa aman, baik kepada dirinya atau orang lain.
Caranya, menyesuaikan segala tindakan dengan kenyataan (al-muwaafaqatu li
al-waaqi’). Kata ini berdekatan dengan kata aamana–yu’minu–iimaanan yang
berarti keyakinan atau keimanan.
Dari elaborasi bahasa, dapat dilihat
bahwa amaanat (kepercayaan), amiin (jujur), dan iimaan (keimanan) satu
rangkaian kata yang tidak bisa dipisahkan. Pada tataran realitas, kepercayaan
adalah buah dari kejujuran. Sedangkan iman tidak akan sempurna tanpa kejujuran.
Karena itu, setiap sikap yang bertentangan dengan kejujuran dianggap sebagai
bentuk dari kemunafikan.
Tak heran, kalau dalam pembentukan
kepribadian, sikap jujur mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada sekadar
IQ (Intellectual Quotient)-kecerdasan penalaran. Karena dalam ilmu psikologi,
IQ saja tidak cukup untuk mencapai keberhasilan hidup seseorang. Daniel Goleman
dalam bukunya Emotional Intellegence, menjelaskan mengapa mereka yang ber-IQ
tinggi sering tidak berhasil. Sedangkan mereka dengan IQ sedang-sedang saja
bisa dengan cepat berkembang. Berdasarkan penelitian ilmiah, kecerdasan
emosilah yang membuat seseorang mampu mengarahkan dirinya untuk meraih sejumlah
obsesi.
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah
menegaskan bahwa kejujuran mampu
membimbing meraih surga. “Sesungguhnya kejujuran menunjukkan kepada kebaikan.
Dan kebaikan menunjukkan kepada surga. Seorang laki-laki benar-benar telah
jujur hingga ia dicatat di sisi Allah
sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya kebohongan itu menunjukkan kepada
kezaliman. Kezaliman menunjukkan kepada neraka. Seorang laki-laki telah berbuat
dusta hingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta,” (HR Bukhari Muslim)
Sayangnya, kian hari budaya
kejujuran dalam masyarakat kita makin terkikis oleh gelombang informasi yang
sering kali mendorong manusia berbohong dan memanipulasi diri. Kalau saja sifat
jujur ini dimiliki para penguasa, niscaya
kepercayaan rakyat akan menguat.
Kita sering kali sungkan berbuat jujur kala
dibenturkan untuk mengakui sebuah kesalahan. Kita kerap takut berterus terang
saat diminta menyampaikan aspirasi
kepada penguasa zalim. Bahkan, tak jarang kejujuran kita tergadai oleh
sebuah tuntutan pribadi yang mesti
ditebus. Kalau saja kondisi ini tidak segera diatasi, jangan harap sebuah
tatanan masyarakat akan terbentuk dengan baik.
Karenanya, kejujuran hendaklah
dijadikan sebuah kebiasaan bagi masyarakat. Mereka mengaplikasikannya kapan saja
dan di mana saja. Di perkantoran, kejujuran dapat disandingkan dengan
kedisiplinan. Datang tepat waktu dan tidak menggunakan fasilitas kantor untuk
kepentingan sendiri adalah salah satu contohnya. Di dunia perdagangan,
kejujuran dapat diwujudkan melalui transparansi nilai dan harga barang.
Di medan dakwah, kejujuran adalah
modal utama bagi seorang dai. Karena kejujuran bisa menjinakkan hati, menumbuhkan kepercayaan
dalam jiwa, ketenteraman, kelapangan, dan kasih sayang. Sehingga orang yang
didakwahi akan tertarik bahkan merasa terikat dengan para penyeru dakwah. Berbeda dengan kedustaan yang akan
menanamkan benih-benih keraguan, ketidakpercayaan, dan selalu was-was.
Selagi para penyeru dakwah berdiri
di atas kejujuran, masyarakat akan membuka diri untuk menerima seruannya.
Mereka senantiasa akan menanti setiap ucapannya dan mengikuti segala
tindakannya. Seorang dai yang lidahnya terbiasa mengeluarkan kejujuran akan
terhindar untuk mengatakan kebatilan. Baik itu dusta, mencela, ghibah, namimah
(menyebar isu) ataupun berkata kotor.
Sedangkan wujud jujur dalam amal
adalah menyesuaikan perkataan dengan perbuatan. Allah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat?
Amat besar kebencian di sisi Allah jika
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan,” (QS ash-Shaff: 3).
Sikap inilah yang harus ditumbuhkan
dalam setiap pribadi, sehingga terwujud keluarga-keluarga jujur. Dari kumpulan
keluarga ini akan terbentuk sebuah tatanan masyarakat. Merekalah yang akan
membawa bangsa ke gerbang kejayaan.
Tulisan Karya Ust. Hepi Andi Bastoni dalam "101 Butiran Dakwah"
Sumber: Muqawwimaatu ad-Daa’iyah an-Naajih, Said bin
Ali bin Wahf al-Qahthani, Ushuulu ad-Dakwah wa Thuruuquhaa, Dr. Abdur Rab ibnu Nuwwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar