Selasa, 28 Juli 2015

Panduan Memilih Mazhab


Oleh: Hepi Andi Bastoni
Ketua Yayasan az-Zumar Bogor
0817-1945-60

Semua Mazhab Berpeluang Benar
Ketika kita bicara tentang pendapat para ulama yang mewakili mazhab tertentu, jangan sekali-kali kita berpikir bahwa mazhab itu sekadar kelompok yang tidak penting dan suka berseteru, rajin memecah-belah persatuan umat, aktif menghidupkan fanatisme kelompok, gemar saling menjelekkan dan saling mencemooh antara sesama elemen umat.
Cara pandang seperti itu jelas menunjukkan ketidak-mengertian yang fatal, keawaman terhadap ilmu syariah, serta kerancuan dalam memahami sejarah Islam.

Sayangnya, banyak ustadz dan tokoh agama yang punya pemahaman error macam ini, lalu kemana-mana berdakwah sambil menyesatkan umat dengan pemahamannya yang tidak punya sumber rujukan itu. Di situlah kadang kita merasa sedih. Sebab yang menghancurkan pemahaman agama justru mereka yang terlanjur dianggap tokoh agama.
Padahal hakikat dan jati diri mazhab fiqih itu merupakan institusi resmi dan profesional yang menjadi pusat penelitian, riset dan tahqiq (validasi) atas kesimpulan-kesimpulan hukum syariah. Tentu saja yang diteliti itu tidak lain adalah sumber-sumber resmi agama Islam yang valid, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah yang shahih.
Sungguh terlalu ketika ada orang yang mengatakan bahwa mazhab fiqih tidak pakai Al-Quran dan Sunnah. Ini logika yang sungguh bikin sakit perut karena saking lucunya. Padahal mazhab itu justru instrumen vital dalam memahami Al-Quran dan Sunnah, dimana keduanya tidak boleh dipahami secara sembrono, seenak udel dan semau-maunya sendiri. Harus ada tools yang benar untuk merujuk kepada warisan Nabi SAW ini, dan tidak lain mazhab fiqih itulah yang disepakati sepanjang sejarah untuk menjadi instrumen.
Jangan juga kita berpikir bahwa para ulama mazhab itu sama seperti kita yang jahil dan awam. Apalagi sampai membayangkan bahwa pendapat-pendapat itu lahir dari pikiran kosong orang-orang yang fanatik dengan kelompoknya. Tuduhan seperti ini mustahil kalau datang dari umat Islam. Umat Islam tidak mungkin sebodoh itu dalam memahami agama.
Tuduhan ini justru datang dari orang-orang kafir jahat yang ingin menusukkan belati karatan ke jantung agama Islam. Namun sayangnya, begitu banyak umat Islam yang awam dan tidak pernah belajar ilmu syariah merasa terpesona dengan rayuan orang-orang kafir itu. Sehingga tanpa sadar mereka justru ikut-ikutan mencela agama sendiri.
Sesungguhnya para ulama di dalam tiap-tiap mazhab itu tidak lain adalah para peneliti, pakar dan begawan-begawan yang paling tinggi derajatnya dalam bidang istimbat hukum. Mereka itu sudah hafal Al-Quran luar kepala sejak balita, menghafal minimal setengah juga hadits, baik matan atau sanadnya, sekaligus juga pakar dalam bidang penelitian keshahihan setiap hadits itu.
Penting untuk diketahui bahwa pendapat para ulama di tiap-tiap mazhab itu sudah terbentuk sejak lebih dari 13 abad yang lalu, dan sampai hari ini tidak pernah tumbang atau runtuh. Teori dan hasil ijtihadnya malah semakin berkembang, meski zaman sudah berubah.
Maka pikiran rendah kita yang berhayal bahwa mazhab-mazhab itu bisa disalah-salahkan seenaknya oleh kita yang tidak punya potongan sebagai peneliti adalah hal yang justru semakin menampakkan keawaman dan sempitnya wawasan kita saja.
Kalau pakar dan peneliti yang paling ahli masih kita salah-salahkan juga, lalu kita mau ikuti siapa lagi? Apakah kita berguru kepada ustadz yang baru kemarin belajar IQRO' belajar mengeja Al-Quran? Ataukah bertaqlid buta kepada ustadz yang baru belajar mengucap hadza hadzihi dalam pelajaran Bahasa Arab? Jawabanya tentu saja tidak.

Dua Pendapat Berbeda Tapi Keduanya Benar
Barangkali banyak di antara kita yang masih berpikir secara sederhana, yaitu kebenaran itu selalu hanya ada satu dan tidak mungkin ada dua kebenaran. Teori ini memang ada benarnya, selama digunakan pada tempatnya. Tetapi sayangnya, teori ini sering diterapkan bukan pada tempatnya, sehingga bukan teorinya yang salah, tetapi penempatannya yang keliru.
Teori bahwa kebenaran itu hanya ada satu itu tidak bisa main pasang seenaknya. Teori macam ini hanya bisa dipakai dalam masalah-masalah yang fundamental, misalnya tentang kebenaran agama Islam dibandingkan agama-agama samawi lainnya. Atau tentang adanya Tuhan dibandingkan teori Atheisme yang masih meragukan keberadaan-Nya.
Namun teori ini tidak bisa dipakai untuk hal-hal yang bersifat ijtihadi dan ruang lingkup wilayah furu'iyah agama. Alasanya karena masalah furu'iyah agama itu sejak awal memang sudah diberikan ruang untuk berbeda-beda. Bahkan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits shahih sendiri sudah memberi ruang yang luas untuk terjadinya perbedaan itu.
Para ulama sering menggunakan istilah muwassa' (luas) ketika mengomentari masalah yang sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan. Dan biasanya yang jadi titik perbedaan pendapat adalah masalah-masalah yang tidak ada dalilnya secara tegas, atau ada dalilnya tetapi satu dalil dengan dalil lain saling bertentangan, meskipun sederajat dalam masalah keshahihannya.
Misalnya: hukum membaca bismillah di awal surat al-Fatihah. Ada tiga pendapat. 1). Bismillah bagian dari al-Fatihah. Dalilnya, Abu Hurairah menjaharkan bacaan bismillah dan mengatakan, inilah shalat yang mirip dengan shalat Nabi saw. (HR Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
2). Bismillah terpisah dengan al-Fatihah. Membacanya sunnah tapi tidak harus dijaharkan. Dalilnya: hadits Anas yang mengatakan bahwa khulafaur Rasyidin tidak menjaharkannya (HR Nasai, Ibnu Hibban dan ath-Thahawi).
3). Bismillah bukan bagian dari al-Fatihah dan tidak perlu dibaca. Ini pendapat lemah.
Ibnul Qayyim menyimpulkan, Nabi saw sesekali menjaharkan, kadang mensirkan bismillah, tapi beliau lebih sering mensirkannya. (Fiqhus Sunnah I/149).

Pedoman Memilih Pendapat
Adapun terkait dengan pedoman dalam memilih pendapat dari perbedaan pendapat para ulama, kriterianya bukan benar atau salahnya. Sebab semuanya relatif benar, setidaknya menurut masing-masing mazhab itu sendiri. Kita tidak berhak untuk menyalahkan apa-apa yang sudah diijtihadkan oleh para pakar di bidangnya.
Jadi dasarnya bukan benar atau salah, melainkan dasarnya bisa bermacam-macam. Misalnya kita lebih memilih dimana kita punya akses informasinya secara lengkap. Atau misalnya pendapat yang paling mashlahat untuk diterapkan. Atau boleh juga karena merupakan pendapat mayoritas atau karena suatu pendapat itu kita anggap lebih berhati-hati.

a.      Pendapat yang Kita Kenal Secara Benar
Pertimbangan pertama dalam memilih tentu kalau kita sudah mengenalnya. Ibarat pilkada dan pemilihan umum, kita biasanya memilih calon yang kita sudah kenal sebelumnya. Bukan berarti kita mengatakan bahwa pilihan kita pasti benar, tetapi setidaknya kita kenal orangnya. Sedangkan calon lain yang tidak kita pilih bukan berarti dipastikan jahat, hanya saja kalau tidak kenal tentu kita agak ragu.
Sebagai ilustrasi yang mudah, misalnya kita tinggal di Jakarta dan mau ke Bogor. Ada banyak rute alternatif yang bisa kita lalui, misalnya lewat jalan TOL Jagorawi, atau lewat jalan biasa Cibinong, atau lewat Depok Citayam, bahkan bisa juga lewat Parung. Dari semua rute itu, tidak ada satupun rute yang sesat atau keliru, semua rute pasti benar.
Namun kenapa Saya pilih jalan TOL Jagorawi dan bukan lewat Parung, karena yang saya tahu cuma lewat jalan TOL Jagorawi saja. Sedangkan lewat Parung belum pernah saya lalui. Boleh jadi lewat Parung itu malah lebih baik, namun karena saya tidak tahu, tentu tidak jadi pilihan saya.
Demikian pula ketika memilih pendapat yang berbeda dari para ulama mazhab yang empat, boleh saja pertimbangannya adalah karena pendapat itu sudah saya kenal sejak awal. Misalnya terkait dengan najisnya kotoran hewan yang dalam mazhab Asy-Syafi'iyah dianggap najis sedangkan dalam mazhab Al-Hanabilah dianggap bukan najis.
Sebagai orang Indonesia yang dibesarkan dengan akar kultur mazhab Asy-Syafiiyah, sangat masuk akal kalau saya tidak mau shalat manakala sejadah saya terkena kotoran ayam. Sebab yang saya tahu kotoran ayam itu najis dan tidak sah shalat saya ini kalau tempat shalatnya ada najisnya. Sikap seperti ini sangat manusiawi, masuk akal dan wajar sekali.
Dari sanalah kemudian muncul anjuran untuk berpegang teguh hanya kepada satu mazhab saja. Sebenarnya alasannya karena biasanya kita lebih mudah belajar satu mazhab ketimbang belajar sekaligus empat mazhab. Penulis sendiri pun sejak kecil belajar satu mazhab dulu, baru kemudian ketika kuliah terkena kewajiban belajar empat mazhab. Sebab jurusan di dalam fakultas syariahnya adalah jurusan perbandingan mazhab.
Namun tidak semua orang berkesempatan belajar fiqih dengan jalur empat mazhab sekaligus. Umumnya guru agama kita mengajarkan hanya satu mazhab saja, karena memang hanya sampai disitu saja kemampuannya.
Adapun mazhab lainnya, kenapa tidak digunakan, tentu alasannya sangat masuk akal, yaitu karena kita tidak tahu atau belum pernah mempelajarinya dengan baik dan lengkap. Maka justru kita tidak boleh mempraktekkan hal-hal yang kita belum pelajari dengan benar. Sebab nanti bisa keliru dan salah jalan sendiri.

b. Pertimbangan Kemaslahatan
Pertimbangan lainnya dalam memilih suatu pendapat adalah masalah kemaslahatan. Mana yang lebih maslahat bagi diri kita dan orang lain, tentu saja lebih direkomendasikan kita jadikan pilihan kita.
Misalnya kita tinggal di daerah orang-orang yang 100% bermazhab Asy-syafi'iyah, yang mana mereka pasti melakukan qunut pada rakaat terakhir shalat shubuh. Tentu menjadi sangat tidak bijak kalau kita menjadi imam, lantas kita sengaja meninggalkan doa qunut pada saat shalat shubuh. Meskipun kita tahu bahwa di dalam mazhab lainnya seperti mazhab Al-Hanafiyah, qunut shubuh itu dianggap bid'ah atau terlarang.
Sebab hal itu akan menjadi masalah tersendiri buat masyarakat itu. Kita telah membakar masalah 'panas' yang kurang ada unsur maslahatnya. Ibaratnya kita membangunkan macan kelaparan yang sedang tidur.

c. Pertimbangan Pendapat Mayoritas
Selain kedua pertimbangan di atas, ada lagi yang juga bisa dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih pendapat, yaitu pertimbangan faktor pendapat mayoritas ulama.
Contohnya masalah posisi membaca surat Al-Fatihah di dalam tiap rakaat shalat. Jumhur ulama sepakat bahwa posisinya adalah rukun, kalau tidak dibaca maka shalat kita tidak sah dan harus diulang. Di sisi lain, ada pendapat yang menyendiri dari mazhab Al-Hanafiyah, dimana mazhab ini mengatakan bahwa surat Al-Fatihah itu bukan rukun, sehingga shalat tetap sah meski kita tidak membacanya. Dan sebagai gantinya dalam mazhab ini kita cukup membaca ayat-ayat tertentu yang mudah bagi kita.
Tentu sangat logis dan masuk akal kalau kita lebih memilih pendapat jumhur ulama yang mengharuskan kita membaca surat Al-Fatihah pada tiap rakaat shalat. Waktu kita memakai pendapat jumhur ulama ini, pertimbangannya karena nyaris mayoritas ulama mewajibkannya, hanya segelintir saja yang tidak mewajibkannya.
Logika seperti ini juga wajar, manusiawi dan sangat masuk akal. Kita boleh menjadikan hal-hal yang menjadi kesepakatan jumhur ulama sebagai bahan pertimbangan dalam memilih suatu pendapat.

d. Pertimbangan Kehati-hatian
Pertimbangan lain yang juga direkomendasikan untuk digunakan dalam memilih suatu pendapat adalah dari sisi kehati-hatian. Kalau ada dua pendapat yang berbeda, satu bilang halal dan satu bilang haram, maka sangat masuk akal kalau kita mengambil posisi berhati-hati.
Contohnya adalah masalah sentuhan kulit secara langsung antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tanpa lapisan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hal itu membatalkan wudhu dan ada pendapat yang bilang tidak membatalkan wudhu'.
Sungguh sangat baik dan masuk akal serta amat wajar kalau kita berhat-hati, meski pun ada pendapat yang bilang bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu', tetapi kita tetap berwudhu' demi kehati-hatian. Sebab berhati-hati dalam masalah agama itu baik, selama tidak sampai berlebih-lebihan atau ghuluw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar