Selasa, 11 Februari 2014

Buku Fiqih Demokrasi (Bagian 2)

iklan Buku Fiqih Demokrasi

KATA PENGANTAR

Kajian dan diskursus seputar islam dan politik bukanlah barang baru.  Imam Al Mawardi misalnya menulis  Al Ahkam  Al Sulthoniyah, buku politik klasik legendaris yang jadi rujukan dari masa ke masa. Di masa kontemporer, muncul kitab Khilafah walmulk karangan Allamah Syeikh Abul A’la Al Maududi, seorang pemikir  islam Pakistan.  Diantara bahasan yang disorot Maududi maupun para ulama lain yang hidup sezaman maupun sesudahnya adalah tentang demokrasi. Hal ini wajar  mengingat mereka  hidup di dua fase  sejarah umat islam yang paling dramatis. Pertama fase  negeri-negeri islam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan barat  dari awal abad 20 hingga pertengahan . Kedua, fase dimana negeri-negeri islam memilih sistem politik dan kekuasaan yang akan diterapkan setelah lepas  dari penjajahan barat  usai Perang Dunia kedua hingga tahun 60-an.

Buku karangan ustadz Rapung Samudin yang berjudul “Fiqih Demokrasi: Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik” juga hadir dari situasi aktual, ketika  umat islam Indonesia  dihadapkan pada realitas dimana kekuasaan politik baik ditingkat  nasional maupun lokal dicapai melalui jalan demokrasi. Lebih  jelasnya pemilu. Dari pemilu legislatif maupun atas pemilihan presiden yang berjalan serentak secara nasional sampai Pilkada(Pemilihan Kepala Daerah) di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. 
Situasi ini memunculkan perdebatan tajam di sejumlah kalangan umat.  Mayoritas umat islam memandang jalan demokrasi – baca pemilu- betapapun secara finansial teramat boros  dan secara kualitatif tidak jelas hasilnya, sebagai peluang dan kesempatan untuk  menapaki jalan kekuasaan. Dengan kekuasaan yang mungkin diiraih, maka pelaksanaan agenda umat islam diharapkan menjadi lebih mudah  dan nyata.
Sementara di sisi lain ada sekelompok  orang yang menolak  demokrasi. Khususnya pemilu. Penolakan itu  ada yang bersifat situasional dan temporal  lantaran melihat praktik politik yang sarat kecurangan,  money politik maupun korupsi yang semakin menggurita. Namun ada juga penolakan ekstrim  yang mengharamkan sama sekali  umat islam terlibat dalam politik dan demokrasi (pemilu). Bahkan walau sekadar melaksanakan hak pilih. Kelompok ini secara atraktif dengan lantang menyatakan penolakannya  dengan pendekatan hitam putih sembari  menggunakan dalil-dalil agama yang  sakral. Akibatnya, masyarakat awam menjadi bingung dan khawatir  salah langkah.
Di titik inilah buku karya Ustadz Rapung Samudin ini menjadi penting.  Buku ini menerangkan dengan sangat  jelas dan rinci tentang boleh tidaknya  umat islam terlibat politik dan demokrasi (baca pemilu) berdasarkan nash al qurán , hadits shahih, sirah nabawiyah, sirah sahabat serta qaidah-qaidah ushul fiqih. Membaca buku  ini kita jadi memahami  betapa  fiqih islam itu  amat luwes dan fleksibel  namun tetap terjaga  kejelasan dan ketegasannya. Dengan begitu, umat islam dapat bersikap  dengan benar dan tetap menghadapi realitas sosial politik yang terjadi.
Namun demikian, tidak berarti buku ini sepi dari kritik.  Menurut saya, kekurangan  yang paling kentara dari buku ini adalah miskinnya uraian dan analisis situasi politik demokrasi terkini, baik dalam skala global maupun nasional. Misalnya, pertanyaan jika demokrasi  merupakan jalan terbaik membangun Civil Society (masyarakat madani), mengapa Bangladesh, yang berpuluh tahun melaksanakan demokrasi tak kunjung maju. Yang kerap muncul justru laporan kemiskinan serta bencana yang tak kunjung henti. Belum lagi konflik horizontal bersifat sektarian  yang terjadi silih berganti. Keadaan yang lebih kurang sama juga terjadi di banyak negara di dunia, khususnya di Asia, Afrika dan Amerika Selatan/Tengah. yang memilih jalan demokrasi.
Sementara di sisi laIn, banyak negara yang memilih jalan non demokrasi- untuk tidak menyebut otoriter –seperti  Singapura, Brunai, Emirat, China dan lain-lain justru sebaliknya. China misalnya, tumbuh sebagai negara kuat yang merangsek naik ke peringkat  lima besar ekonomi dunia. Sementara Singapura, Emirat, Brunai  sedikit diantara sejumlah negara yang kaya raya dan berpendapatan tinggi.
Pertanyaan yang sama  juga bisa ditolehkan kepada kita di Indonesia.  Mengapa negeri gemah ripah loh  jinawi  ratna mutu manikam ini tak kunjung  bergerak naik, meski telah mengadopsi  total jalan demokrasi . Malahan  sebaliknya, jalan demokrasi habis-habisan yang ditempuh  paska reformasi 15 tahun lalu  itu justru membawa Indonesia kepada  gurita korupsi yang tak jelas ujung pangkalnya dan kesenjangan kaya miskin yang semakin lebar.
Menurut hemat saya, demokrasi sebagai anak kandung  peradaban barat  yang berdasarkan liberalisme materialisme, memang tidak bisa dicomot  mentah-mentah. Demokrasi  dengan mantra utamanya One Man One Vote  membutuhkan beberapa prasyarat   agar menjadi jalan membangun Civil Society. Yaitu sistem sosial politik yang stabil, tingkat pendidikan  masyarakat  cukup tinggi dan pendapatan ekonomi penduduknya yang lumayan tinggi. Dengan begitu  pembodohan rakyat yang kerap mewarnai kampanye dan money politic tak punya tempat leluasa.  Tanpa ketiga pilar terebut,  jalan demokrasi  yang diambil banyak negara di dunia cenderung membawa  pada merebaknya korupsi, maraknya konflik horizontal dan berkecambahnya oligarki kekuasaan  yang biasa disebut politik dinasti.
Jika saja penulis buku ini mengurai dan menganalisis hal hal tersebut diatas, niscaya buku ini  menjadi lebih menarik dan kaya gagasan dan solusi. Namun demikian, buku ini tetap menarik dan penting dibaca oleh umat islam untuk menyikapi perkembangan sosial politik yang terjadi. Terlebih  lagi para aktivis dan penggiat dakwah. 


M.Zainal Muttaqin

(Penggiat dakwah, aktivis sosial, mantan pemimpin redaksi majalah Sabili dan Gozian).

2 komentar: