Senin, 12 Agustus 2013

Wisuda Alumni Ramadhan

Banyak hikmah yang bisa dipetik dari rangkai ibadah di hari Fitri. Di hari ini, 
alumni universitas Ramadhan diwisuda. Apa yang harus disiapkan?
 
               Hari ini para alumni Ramadhan diwisuda. Hari ini mereka berbondong-bondong meninggalkan peraduan menuju tanah lapang. Gema takbir bersahut-sahutan. Pakaian terindah pun dikenakan. 
               Hari Fitri itu tiba. Ia harus tetap fitri, tak boleh ada yang mencemari kesuciannya. Rasulullah saw dan para sahabatnya, mengajarkan tradisi mengisi hari suci ini dengan rangkaian ibadah sunnah. Tak boleh ada tradisi baru. Idul Fitri miliki umat Islam. Hari penuh ceria setelah sebulan penuh kita merajut takwa dengan puasa.
               Di antara sunnah sebelum melaksanakan shalat Idul Fitri adalah mandi sebagaimana ketika akan melakukan shalat Jum’at. Hal ini didasarkan pada penjelasan Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam Zaadul Maad-nya (I/442), bahwa Rasulullah saw mandi untuk dua hari raya. Ia menyebutkan, hadits tentang hal ini shahih.
               Imam Nafi’ juga menyatakan, Abdullah bin Umar senantiasa mandi di hari Raya Idul Fitri sebelum berangkat shalat (HR Imam Malik dalam al-Muwaththa’ I/177).
               Seorang tabiin Said bin Musayyib menambahkan, “Sunnah Idul Fitri ada tiga: berjalan ke tempat shalat, makan sebelum berangkat dan mandi,” (Irwa’ul Ghalil II/104).
               Disunnahkannya mandi sebelum shalat Id karena pada hari itu, umat Islam akan berkumpul. Kondisi rapi dan bersih akan jauh lebih baik dan menambah keceriaan saat bertemu saudaranya yang lain. Namun demikian, hal ini tetap sunnah. Jika tidak sempat mandi dan hanya berwudhu’, shalatnya tetap sah (al-Mughni karya Ibnu Qudamah III/257). 
               Selain mandi, kita juga disunnahkan makan sebelum ketika berangkat shalat Idul Fithri dan tidak makan ketika berangkat pada hari raya Idul Adha. Hal ini didasarkan pada riwayat Buraidah yang berkata, “Nabi saw tidak berangkat pada hari raya Idul Fithri sampai beliau makan terlebih dulu, dan pada hari raya Idul Adha beliau tidak makan sampai pulang. Kemudian beliau makan dari daging hewan-hewan qurban," (HR at-Tirmidzi no. 542, Ibnu Majah no. 1756, ad-Darimi I/375 dan Ahmad V/352, hadits ini hasan).
               Riwayat Imam Bukhari mempertegas hal ini dengan riwayatnya, “Rasulullah saw tidak berangkat shalat pada hari Raya Idul Fitri hingga beliau memakan beberapa butir kurma,” (Fahtul Bari II/447). Ibnul Qayyim menambahkan, sebelum shalat Idul Fitri, Rasulullah saw biasa makan kurma dengan bilangan ganjil (Zaadul Maad I/441).
               Ada hikmah tersendiri dari tradisi yang disunnahkan Rasulullah saw ini. Beliau mengajarkan agar kita makan sebelum shalat Idul Fitri, untuk menunjukkan sikap taat pada Allah yang mengharamkan puasa pada hari itu. Apalagi sebelumnya kita berpuasa sebulan penuh. Karena itu, pelaksanaan shalat Idul Fitri biasanya dilaksanakan lebih siang dibanding shalat Idul Adha. Sebaliknya, disunnahkan tidak makan sebelum shalat Idul Adha, agar kita bisa melaksanakan shalat lebih awal dan segera menyembelih hewan qurban. 
               Pada hari Raya kita juga disunnahkan berhias diri. Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Zaadul Ma'aad (I/441) mengatakan, "Nabi biasa berangkat (ke tanah lapang) pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha dengan pakaian yang paling bagus. Beliau memiliki hullah (pakaian khusus) yang hanya digunakan untuk dua hari raya dan shalat Jumat. Kadang beliau mengenakan dua baju warna hijau, kadang mengenakan warna merah.”
               Dalam kitab al-Mughni (II/228), Ibnu Qudamah menambahkan, “Dan itu menunjukan, berhias diri bagi mereka pada kesempatan seperti ini (hari raya Id) sudah sangat populer." 
               Imam Malik juga menyatakan, “Aku mendengar para ulama menganggap sunnah memakai minyak wangi dan berhias pada setiap hari raya,” (Ungkapan ini terdapat dalam al-Mughni III/257).
               Namun bagi wanita hal ini harus diwaspadai. Jangan sampai pakaian atau wewangian yang ia gunakan, bisa menimbulkan fitnah. Bahkan, sebagian ulama menyarankan agar tidak menggunakan wewangian karena bisa mengundang fitnah. Hal lain yang harus diwaspadai adalah tempat shalat antara laki-laki dan wanita yang seharusnya dipisah dan dibatasi dengan hijab. 
               Sunnah Idul Fitri lainnya adalah mengambil jalan lain ketika berangkat dan pulang. Jabir berkata, Jika hari raya tiba, Nabi saw biasa mengambil jalan lain (ketika berangkat dan pulang)," (HR Bukhari no. 986).
               Hal ini dimaksudkan agar kita lebih banyak bertemu dengan orang lain. Dengan demikian, akan lebih banyak orang yang kita temui dan beri salam untuk saling memaafkan. 
               Sebagai ungkapan syukur, kita disunnahkan bertakbir ketika berangkat ke tempat pelaksanaan shalat. Allah SWT berfirman, "Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kalian bersyukur,” (QS al- Baqarah: 185).
               Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabi saw biasanya berangkat menunaikan shalat pada hari raya, lalu bertakbir hingga sampai di tempat shalat, bahkan sampai shalat akan dilaksanakan. Jika shalat dilaksanakan, beliau menghentikan takbir (HR Ibnu Abi Syaibah, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitab Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah no. 170).
               Ucapan takbir ini dilakukan dengan suara lantang seperti yang dilakukan oleh sahabat Abdullah bin Umar ketika pergi melaksanakan shalat (HR ad-Daruquthni, hadits ini shahih).
               Ibnu Qudamah menjelaskan, “…pada Idul Fitri hanya disunnahkan takbir muthlaq (al-Mughni III/256). Yang dimaksud takbir muthlaq adalah yang dilaksanakan pada malam hari raya sampai selesai khutbah. 
               Hal lain yang harus diperhatikan, pada shalat Id, tidak ada adzan dan iqamah. Ibnu Abbas dan Jabir mengatakan, “Tidak ada adzan pada hari raya Fitri dan Qurban,” (HR Bukhari Muslim). Jabir bin Samurah juga menambahkan bahwa ia melaksanakan shalat dua hari raya bersama Nabi saw, tidak hanya sekali atau dua kali, tanpa adzan dan tanpa iqamah,” (HR Muslim).
               Lebih detil, Ibnul Qayyim menjelaskan, “Jika tiba di tempat shalat, Rasulullah saw melaksanakan shalat tanpa adzan dan iqamah, dan tidak juga mengucapkan ash-shalatu jamiah. Yang sesuai dengan sunnah hendaknya tidak melakukan hal itu sedikit pun,” (Zaadul Maad I/442).
               Pada shalat dua hari raya ini juga tidak ada shalat sunnah qabliyah (sebelum) dan ba’diyah (setelah). Ibnu Abbas berkata, "Nabi saw mengerjakan shalat dua rakaat pada hari raya, dan tidak mengerjakan shalat lainnya sebelum maupun sesudahnya," (HR Bukhari no. 989, at-Tirmidzi no. 537, an-Nasa'i III/193 dan Ibnu Majah no. 1291).
               Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (II/476) menegaskan,  “Shalat Id itu ditetapkan dengan tidak adanya shalat sebelum maupun sesudahnya." 
               Namun jika shalat Id dilaksanakan di masjid karena tidak memungkinkan di lapangan, maka tetap disunnahkan shalat Tahiyatul Masjid—bukan shalat qabliyah. Karenanya, tidak benar kalau ada yang menganalogikan shalat Id dengan shalat Jumat sehingga ada shalat qabliyah dan ba’diyah-nya.
               Hal lain yang tak kalah pentingnya, usai shalat Id, kaum Muslimin dianjurkan untuk mendengarkan khutbah. Ibnu Abdullah bin as-Sa'ib berkata, "Aku pernah menghadiri shalat Id bersama Nabi saw. Ketika selesai shalat, beliau berkata, 'Sesungguhnya kami akan berkhutbah, barangsiapa ingin duduk untuk mendengarkan khutbah maka dipersilakan duduk. Bbarangsiapa yang ingin pergi, maka dipersilakan pergi,'" (HR Abu Dawud no. 1155, an-Nasa'i III/185, Ibnu Majah no. 1290 dan al-Hakim I/295, hadits dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa III/96-98).
               Ibnul Qayyim memperjelas masalah ini dalam Zaadul Ma'aad (I/448), "Nabi memberikan keringanan bagi orang yang menghadiri shalat Id untuk duduk mendengarkan khutbah atau pergi." 
               Namun demikian, tentu saja jauh lebih baik turut mendengarkan khutbah. Bahkan, para wanita haidh dan nifas serta anak-anak, pun dianjurkan keluar untuk ikut mendengarkan khutbah. Bukan saja untuk menunjukkan kegembiraan dengan hadirnya dua hari raya, tapi juga untuk mengambil hikmah dari uraian khutbah.
               Setelah itu, kita dianjurkan mengucapkan tahni’ah (ucapan selamat). Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Majmuu' Al Fataawaa (XXIV/253), "Adapun ucapan selamat pada hari raya Id, sebagaimana ucapan mereka terhadap sebagian lainnya jika bertemu setelah shalat Id adalah 'Taqabbalallahu minnaa wa minkum.' (Semoga Allah SWT menerima amal kami dan kalian"
               Namun Imam Ahmad mengatakan, "Aku tak pernah memulai untuk mengucapkan ucapan tersebut kepada seseorang. Jika dia (orang tersebut) yang memulai, maka aku akan menjawabnya," (Disebutkan oleh al-Jalal as-Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fatawaa I/81-82).
               Hari Raya Idul Fitri merupakan momen penting bagi para shaimin (orang yang berpuasa). Ia bagai hari wisuda untuk para sarjana. Di hari inilah toga dikenakan. Di hari fitri ini juga gelar itu disematkan: al-Muttaqin. Di hari ini kita ceria. Selamat wahai alumni Ramadhan. Semoga kita bisa menjaga gelar itu sampai hayat berakhir nanti.

Hepi Andi / @andibastoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar