Selasa, 02 September 2014

Hukum Menggunakan Parfum Beralkohol


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60 @andibastoni
+hepi andi            

Karena tak ada teks zhahir tentang alkohol, baik dalam al-Qur’an maupun hadits, maka untuk menjelaskan hukumnya kita harus merujuk ke pendapat ulama tentang hukum khamar yang jelas-jelas ada disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits.
Pertanyaannya:
1.      Apakah khamar termasuk najis atau tidak?
2.      Samakah khamar dan alkohol?

Setelah memaparkan perbedaan pendapat di kalangan para ulama Hijaz dan Iraq tentang apakah yang diharamkan pada khamar itu zatnya atau karena ia memabukkan, Imam Ibnu Rusyd menyebutkan:

            1. Secara ijma’ dan atas dasar keadaan syara’ sudah ada ketetapan bahwa yang dimaksud khamar adalah pada jenisnya bukan pada kadarnya (banyak atau sedikitnya). Maka, segala sesuatu yang di dalamnya terdapat hal-hal yang menutupi akal dinamakan khamar.
2. Para ulama sepakat bahwa memeras anggur itu halal selama belum menjadi keras sehingga mengandung khamar sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Maka peraslah anggur, dan segala yang memabukkan itu haram.” Begitu juga hadits bahwa Nabi saw memeras anggur menuangkannya pada hari kedua dan ketiga. (Bidayatul Mujtahid juz 1 hal 347).

Khamar itu Haram Karena Memabukkan
Sayyid Sabiq dalam ‘Fiqhus Sunah mengatakan, “Segala sesuatu yang memabukkan termasuk khamar dan tidak menjadi soal tentang apa asalnya. Oleh karena itu, jenis minuman apa pun sejauh memabukkan adalah khamar menurut pengertian syari’at dan hukum-hukum yang berlaku terhadap khamar adalah juga berlaku atas minuman-minuman tersebut, baik ia terbuat dari anggur, madu, gandum dan biji-bijan lain maupun dari jenis-jenis lain.”
Jadi, haramnya khamar itu sudah jelas, baik sedikit maupun banyak. Di antara dalil-dalilnya Firman Allah SWTR:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al Maidah : 90 – 91).
            Hadits Abi Aun ats-Tsaqafiy dari Abdullah bin Saddad dari Ibnu Abbas dari Nabi saw bersabda, ”Khamar itu diharamkan karena bendanya.” (HR. Baihaqi)
Sabda Rasulullah saw : “Setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap khamar adalah haram.” (HR. Muslim).
            Ijma’ dan atas dasar keadaan syara’ sudah ada ketetapan bahwa yang dimaksud khamar adalah pada jenisnya bukan pada kadar (banyak atau sedikitnya). Maka segala sesuatu yang didalamnya terdapat hal-hal yang menutupi akal dinamakan khamar. (Bidayatul Mujtahid juz 1 hal 347)

Khamar, Najiskah?
Lalu, bagaimana hukumnya jika khamar tidak dimakan? Apakah khamar termasuk najis atau tidak? 
Ulama yang empat mengatakan bahwa khamar itu najis sebagaimana firman Allah SWT, “…adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu.” (QS. Al Maidah : 90)
Sementara para ulama lain, seperti; Imam Rabi’ah, al-Laits bin Sa’ad dan al Mazini mengatakan bahwa khamar itu suci. Mereka berdalil dengan apa yang terjadi ketika ayat pengharamannya itu diturunkan maka khamar-khamar itu ditumpahkannya di jalan-jalan Madinah.
Seandainya khamar itu najis maka sahabat tidak akan melakukan hal itu dan Rasulullah saw pun pasti akan melarang mereka sebagaimana beliau saw melarang sahabat buang hajat di jalan-jalan. Ini menjadi dalil sucinya khamar.
Mereka menjawab jumhur dengan mengatakan bahwa najis yang dimaksud dalam ayat adalah najis hukmiyah seperti najisnya orang-orang musyrik (QS at-Taubah: 28), dan tidak diragukan lagi bahwa setiap yang diharamkan adalah najis hukmiyah. Khamar bukanlah najis bendanya akan tetapi hukumnya.
Jumhur ulama kemudian menjawab, ”Sesungguhnya firman Allah, ’rijs’ menunjukan bahwa makna rijs dari sisi bahasa adalah najis. Kemudian seandainya kita berpegang teguh untuk tidak menghukum dengan suatu hukum kecuali jika kita dapatkan satu dalil yang manshush (ada nashnya) maka syariah ini akan terhambat, karena nash dalam hal ini tidaklah banyak namun sebagaimana penjelasan kami diawal bahwa rijs itu adalah najis hissiyah (fisik) dan maknawiyah sebagaimana disebutkan terhadap orang-orang musyrik…
Pendapat jumhur ini disangkal dengan mengatakan bahwa asal segala sesuatu boleh dan suci selama tidak ada dalil yang menentangnya serta tidak ada dalil yang menajiskannya.
Intinya menurut jumhur ulama bahwa khamar adalah najis maka alkohol pun najis. Sedangkan menurut selain jumhur ulama khamar adalah suci dengan demikian khamar pun suci.
Di antara ulama belakangan yang mengatakan akan kesucian khamar adalah asy Syaukani, ash Shon’ani, Shiddiq Hasan Khan dan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha yang berpendapat bahwa alkohol dan khamar tidaklah najis, demikian pula parfum yang dicampurkan dengannya karena tidak ada dalil shohih yang menjadikannya najis. Dan juga rijs didalam khamar adalah rijs hukmi yang berarti haram.
Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengatakan bahwa terjadi perbedaan pendapat dalam najisnya khamar di kalangan ulama kaum muslimin. Imam Abu Hanifah menganggap minuman dari anggur yang di dalamnya terdapat alkohol secara pasti adalah suci. Alkohol bukanlah khamar.
Selain itu, zat yang dapat digolongkan ke dalam alkohol banyak digunakan untuk obat-obatan, makanan, parfum ataupun benda-benda di sekitar kita. Namun dari jenis alkohol yang termasuk dalam kategori berbahaya dan memabukkan adalah ethanol.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa khamar tidaklah identik dengan alkohol dan sebaliknya tidak setiap alkohol adalah khamar. Khamar adalah segala sesuatu yang mengandung ethanol atau zat lain yang memabukkan dari apapun ia dibuat.
Dengan demikian setiap makanan atau minuman yang mengandung ethanol disebut khamar dan haram untuk dikonsumsi. Pengharaman tidak dilihat dari aspek memabukkan atau tidak namun pada zatnya itu sendiri. Karena jika berpatokan dengan alasan memabukkan maka akan ada yang berpendapat selama khamar itu tidak memabukkan seseorang maka diperbolehkan padahal ini tidak betul. Namun jika seseorang berpatokan pada zat khamarnya; berapapun banyaknya kandungan zat (yang memabukkan) itu dalam suatu makanan/minuman maka ia haram dikonsumsi.

Alhkohol untuk Parfum dan Makanan
Adapun alkohol untuk bahan pensteril makanan atau roti maka selama ia bukan dari bahan ethanol yang berbahaya dan memabukkan maka halal digunakan. Sedangkan hukum penggunaan alkohol untuk parfum atau minyak wangi terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama yang disebabkan apakah ia termasuk benda najis atau suci.
Selama masih menjadi perselisihan, maka kita harus memperhatikan konteksnya. Dalam konteks Indonesia atau Negara-negara yang mayoritas Muslim serta tersedianya alternatif parfum tidak beralkohol, maka memilih yang tidak beralkohol itu lebih baik. Kondisi ini tentu berbeda dengan beberapa Negara Barat dan Eropa yang hampir seluruhnya menggunakan alkohol, tentu ada kemudahan.
Selain itu, komposisi alkohol pada parfum relatif sedikit dan mudah hilang ketika melekat pada pakaian atau tubuh. Dengan demikian, tidak bisa dikatagorikan memabukkan.
Jadi, tidak ada satupun dalil dari Alkitab dan sunnah yang mengharamkan alkohol, tapi yang ada hanya pengharam khamar, yaitu semua segala sesuatu yang memabukkan. Jadi khamar diharamkan karena dia memabukkan, bukan karena mengandung alkohol. Karenanya para ulama mengharamkan ganja dan sejenisnya dengan dalil bahwa termasuk khamar meskipun di dalamnya tidak mengandung alkohol.

Alkohol untuk Obat-obatan
Adapun alkohol yang digunakan untuk obat-obatan, jika dipakai untuk obat luar, maka hukumnya boleh selama membawa manfaat bagi yang berobat. Ini menurut pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa khamar itu tidak najis, apalagi alkohol, jelas tidak najis juga.
Adapun jika dipakai untuk obat dalam dan dikonsumsi (dimakan atau diminum), maka hukumnya dirinci terlebih dahulu: Jika obat tersebut diminum dalam jumlah banyak akan memabukkan, maka hukumnya haram mengonsumsi obat yang mengandung alkohol. Tetapi jika tidak memabukkan, maka hukumnya boleh.
Walau demikian dianjurkan setiap muslim untuk menghindari obat-obatan yang beralkohol, karena berpengaruh buruk untuk kesehatan. Apalagi fungsi alkohol pada obat bukan untuk menyembuhkan tapi untuk melarutkan atau pengawet.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin sendiri menjelaskan, “Adapun beberapa obat yang menggunakan campuran alkohol, maka itu tidaklah haram selama campuran tersebut sedikit dan tidak nampak memberikan pengaruh.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 11/195, Asy Syamilah).

Halal tapi Sebaiknya Dihindari
Obat yang mengandung alkohol ini dibolehkan karena adanya istihlak. Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna dan baunya. Ini seperti benda najis atau haram bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin juga mengatakan, “Begitu pula khamar apabila bercampur dengan zat lain yang halal dan tidak memberikan pengaruh apa-apa, maka campuran yang ada akan tetap halal.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Ibnu ‘Utsaimin, 11/195).
Di samping itu pula selain karena alasan istihlak sebagaimana dijelaskan di atas, obat yang mengandung alkohol diperbolehkan karena illah (sebab) seperti yang ada pada khamr tidak ada lagi, yaitu memabukkan. Padahal hukum berputar sesuai dengan ada tidaknya illah (sebab).
Namun untuk kehati-hatian, sebaiknya menghindari obat-obatan beralkohol. Konsumsi alkohol berlebih akan menimbulkan efek bagi kesehatan tubuh, yaitu mematikan sel-sel baru yang terbentuk dalam tubuh. Selain itu juga efek sirosis dalam hati, di mana jika dalam tubuh manusia terdapat virus maka virus tersebut akan bereaksi dan menimbulkan penyakit hati (kuning).
Sebagaimana pula hasil rapat Komisi Fatwa MUI tahun 2001 menyimpulkan bahwa minuman keras adalah minuman yang mengandung alkohol minimal 1%  (satu persen). Sehingga untuk kehati-hatian, disarankan untuk meninggalkan obat beralkohol jika kandungan alkoholnya di atas 1%.

Sebagai solusi, disarankan menggunakan obat herbal, di mana diketahui tidak membutuhkan alkohol dalam pelarutan zat-zat aktif, tapi dapat menggunakan air sebagai bahan pelarut. Obat batuk herbal yang berasal dari bahan alami ini pada dasarnya tidak berbahaya, dan dari segi kehalalannya jelas dapat dibuktikan. Inilah solusi yang lebih aman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar