Senin, 30 Desember 2013

Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-0-1945-60

Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Romawi, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM.
Kata Masehi digunakan umat Kristen awal untuk menetapkan hari kelahiran Yesus yang dalam bahasa latin disebut Anno Domini (AD) yang berarti “Tahun Tuhan Kita” atau Common Era/CE (Era Umum) untuk era Masehi, dan Before Christ/BC (sebelum [kelahiran Kristus) atau Before Common Era / BCE (Sebelum Era Umum).
            Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini tanpa merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di Eropa Barat selama abad ke-8.

            Semula biarawan Katolik, Dionisius Exoguus pada tahun 527 M ditugaskan pimpinan Gereja untuk membuat perhitungan tahun dengan titik tolak tahun kelahiran Yesus. Mula-mula dipergunakan untuk menghitung tanggal Paskah (Computus) berdasarkan tahun pendirian Roma.
            Awalnya penghitungan hari Orang Romawi terbagi dalam 10 bulan (kecuali Januari dan Februari). Persis dengan pemberian nama hari, pemberian nama bulan pada tarikh yang kemudian menjadi penghitungan hari Masehi ini ada kaitannya dengan dewa bangsa Romawi. Bulan Martius mengambil nama Dewa Mars, bulan Maius mengambil nama Dewa Maia dan bulan Junius mengambil nama Dewa Juno.
            Sedang  nama-nama Quintrilis, Sextrilis, September, October, November dan December diambil berdasarkan angka urutan susunan bulan. Quntrilis berarti bulan kelima, Sextilis bulan keenam, September bulan ketujuh, October bulan kedelapan dan December bulan kesepuluh.
            Aprilis diambil dari kata Aperiri, sebutan untuk cuaca yang nyaman di dalam musim semi. Berdasarkan nama-nama tersebut di atas, tampak¸bahwa di zaman dahulu permualaan penanggalan Masehi jatuh pada bulan Maret.
            Penanggalan yang terdiri atas 10 bulan kemudian berkembang menjadi 12 bulan. Berarti ada tambahan 2 bulan, yaitu Januarius dan Februarius. Januarius adalah nama dewa Janus. Dewa ini berwajah dua, menghadap ke muka dan ke belakang, hingga dapat memandang masa lalu dan masa depan. Karenanya Januarius ditetapkan sebagai bulan pertama. Februarius diambil dari upacara Februa, yaitu upacara semacam bersih kampung atau ruwatan untuk menyambut kedatangan musim semi. Dengan ini Februarius menjadi bulan yang kedua, sebelum musim semi datang pada bulan Maret.
            Awalnya bulan-bulan terdahulu letaknya dalam penanggalan baru menjadi tergeser dua bulan, dan susunannya menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Junius, 7) Quintrilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November dan 12) December.
            Ketika Julius Caesar berkuasa, ia menerima anjuran para ahli perbintangan Mesir untuk memperpanjang tahun 46 SM menjadi 445 hari dengan menambah 23 hari pada bulan Februari dan menambah 67 hari antara bulan November dan December. Setelah kembali ke Roma, Julis Caesar mengeluarkan maklumat penting dan berpengaruh luas hinga kini yakni penggunaan sistem matahari dalam sistem penanggalan seperti yang dipelajarinya dari Mesir.
            Keputusannya kala itu,  setahun berumur 365 hari karena beralasan,  bumi mengelilingi matahari selama 365,25 hari. Kedua setiap 4 tahun sekali, umur tahun tidak 365 hari, tapi 366 hari, disebut tahun kabisat. Tahun kabisat ini sebagai penampungan kelebihan 6 jam setiap tahun yang dalam 4 tahun menjadi 4×6=24 jam atau 1 hari.
            Untuk menghargai jasa Julius Caesar dalam melakukan penyempurnaan penanggalan itu, maka penanggalan tersebut disebut penanggalan Julian. Dengan menganti nama bulan ke-5 yang semula Quintilis menjadi Julio, yang kita kenal sebagai bulan Juli.
            Waktu terus berjalan, rupanya penanggalan Julian juga memperlihatkan kemelesetan juga. Apabila pada zaman Julis Caesar jatuhnya musim semi mundur hampir 3 bulan, kini musim semi justru dirasakan maju beberapa hari dari patokan.
            Guna meluruskan kemelesetan, Paus Gregious XIII pimpinan Gereja Katolik di Roma pada tahun 1582 mengoreksi dan mengeluarkan keputusan: Pertama, angka tahun pada abad pergantian, yakni angka tahun yang diakhiri 2 nol, yang tidak habis dibagi 400, misal 1700, 1800 dsb, bukan lagi sebagai tahun kabisat (catatan: jadi tahun 2000 yang habis dibagi 400 adalah tahun kabisat).
            Kedua, untuk mengatasi keadaan darurat pada tahun 1582 itu diadakan pengurangan sebanyak 10 hari jatuh pada bulan Oktober. Pada bulan Oktober 1582 itu, setelah tanggal 4 Oktober langsung ke tanggal 14 Oktober pada tahun 1582 itu.
            Ketiga, sebagai pembaharu terakhir Paus Regious XIII menetapkan 1 Januari sebagai tahun baru lagi. Berarti pada perhitungan rahib Katolik, Dionisius Exoguus tergusur. Tahun baru bukan lagi 25 Maret seiring dengan pengertian Nabi Yesus lahir pada tanggal 25, dan permulaan musim semi pada bulan Maret. Belakangan kelahiran Yesus yang awalnya 25 Maret, menjadi 25 Desember yang kita kenal dengan Hari Natal. Ini menjadi sangat rancu mengingat kelahiran Yesus itu mestinya bertepatan dengan musim semi dimana Maria bisa makan anggur yang biasanya terjadi pada bulan Maret.
            Jadi, penanggalan tahun Masehi yang dipakai saat ini  berdasarkan Astrologi Mesopotamia yang dikembangkan oleh astronum-astronum para penyembah dewa-dewa. Maka nama-nama bulan pun memakai nama dewa dan tokoh-tokoh pencetus penanggalan kalender Masehi. Lalu  ditetapkan oleh Paus Katolik dan menjadi tradisi umat Kristen se-Dunia.
           

Perayaan Tahun Baru
Mulanya perayaan ini dirayakan oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Jadi awalnya, perayaan Tahun Baru Masehi merupakan kebiasaan orang-orang Romawi. Mereka mendedikasikan perayaan itu untuk dewa sesembahan mereka yaitu Dewa Janus. Dewa inilah yang mempunyai simbol dua muka. Dari kata Janus inilah diambil nama bulan Januari. Bangsa Romawi biasanya menyembah dewa Janus sebelum memulai aktivitas. Jadi jelas, perayaan tahun baru Masehi bukan ajaran Islam.

Ritual Perayaan Tahun Baru
Tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara hari ini terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne.
Bagaimana dengan Indonesia? Umumnya di kota-kota besar, pergantian malam tahun baru yang berlangsung pukul 00.00 tengah malam, dirayakan dengan begadang semalam suntuk, menyalakan petasan, meniup terompet, pesta music dan minum keras serta berbagai aktivitas lainnya yang secara umum menghabiskan waktu sia-sia dan memubazirkan uang tanpa manfaat. Selain menyia-nyiakan waktu dan uang, aktivitas perayaan tahun baru Masehi juga menjadi bagian tradisi orang kafir. Meniup terompet kebiasaan Yahudi, membakar petasan (api) kebiasaan orang-orang Majusi, dan membunyikan lonceng adalah tradisi orang Nasrani.
Bahkan, hubungan dengan Perayaan Tahun Baru dengan agama Nasrani di Indonesia tak bisa dipisah. Selain menjadi libur resmi, perayaan ini menjadi satu paket dengan peringatan Natal. Lalu muncullah kalimat: selamat Natal dan Tahun Baru.
Lalu, bagaimana hukum merayakan Tahun Baru Masehi?

1. Pendapat yang Mengharamkan
            Mereka yang mengharamkan perayaan malam tahun baru masehi, berhujjah dengan beberapa argumen.
a. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Ibadah Orang Kafir
            Bahwa perayaan malam tahun baru pada hakikatnya adalah ritual peribadatan para pemeluk agama bangsa-bangsa di Eropa, baik yang Nasrani atau pun agama lainnya.
            Sejak masuknya ajaran agama Nasrani ke Eropa, beragam budaya paganis (keberhalaan) masuk ke dalam ajaran itu. Salah satunya adalah perayaan malam tahun baru. Bahkan menjadi satu kesatuan dengan perayaan Natal yang dipercaya secara salah oleh bangsa Eropa sebagai hari lahir nabi Isa.
            Walhasil, perayaan malam tahun baru masehi itu adalah perayaan hari besar agama kafir. Maka hukumnya haram dilakukan oleh umat Islam.

b. Perayaan Malam Tahun Baru Menyerupai Orang Kafir
            Meski barangkali ada yang berpendapat bahwa perayaan malam tahun tergantung niatnya, namun paling tidak seorang muslim yang merayakan datangnya malam tahun baru itu sudah menyerupai ibadah orang kafir. Sekadar menyerupai itu pun sudah haram hukumnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
            Siapa yang menyerupai pekerjaan suatu kaum (agama tertentu), maka dia termasuk bagian dari mereka. (HR Abu Daud).
             
c. Perayaan Malam Tahun Baru Penuh Maksiat
            Sulit dipungkiri bahwa kebanyakan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, berzina, tertawa dan hura-hura. Bahkan bergadang semalam suntuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Padahal Allah SWT telah menjadikan malam untuk beristirahat, bukan untuk melek sepanjang malam, kecuali bila ada anjuran untuk shalat malam.
            Maka mengharamkan perayaan malam tahun baru buat umat Islam adalah upaya untuk mencegah dan melindungi umat Islam dari pengaruh buruk yang lazim dikerjakan para ahli maksiat.

d. Perayaan Malam Tahun Baru Adalah Bidah
            Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw adalah syariat yang lengkap dan sudah tuntas. Tidak ada lagi yang tertinggal. Sedangkan fenomena sebagian umat Islam yang mengadakan perayaan malam tahun baru masehi di masjid-masijd dengan melakukan shalat malam berjamaah, tanpa alasan lain kecuali karena datangnya malam tahun baru, adalah sebuah perbuatan bid'ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw, para shahabat dan salafus shalih.
            Maka hukumnya bid'ah bila khusus untuk even malam tahun baru digelar ibadah ritual tertentu, seperti qiyamullail, doa bersama, istighatsah, renungan malam, tafakkur alam, atau ibadah mahdhah lainnya. Karena tidak ada landasan syar'inya.

2. Pendapat yang Menghalalkan
            Pendapat yang menghalalkan berangkat dari argumentasi bahwa perayaan malam tahun baru masehi tidak selalu terkait dengan ritual agama tertentu. Semua tergantung niatnya. Kalau diniatkan untuk beribadah atau ikut-ikutan orang kafir, maka hukumnya haram. Tetapi tidak diniatkan mengikuti ritual orang kafir, maka tidak ada larangannya.
            Mereka mengambil perbandingan dengan liburnya umat Islam di hari natal. Kenyataannya setiap ada tanggal merah di kalender karena natal, tahun baru, kenaikan Isa, paskah dan sejenisnya, umat Islam pun ikut-ikutan libur kerja dan sekolah. Bahkan bank-bank syariah, sekolah Islam, pesantren, departemen Agama RI dan institusi-institusi keIslaman lainnya juga ikut libur. Apakah liburnya umat Islam karena hari-hari besar kristen itu termasuk ikut merayakan hari besar mereka?
            Umumnya kita akan menjawab bahwa hal itu tergantung niatnya. Kalau kita niatkan untuk merayakan, maka hukumnya haram. Tapi kalau tidak diniatkan merayakan, maka hukumnya boleh-boleh saja.
            Demikian juga dengan ikutan perayaan malam tahun baru, kalau diniatkan ibadah dan ikut-ikutan tradisi bangsa kafir, maka hukumnya haram. Tapi bila tanpa niat yang demikian, tidak mengapa hukumnya.
            Adapun kebiasaan orang-orang merayakan malam tahun baru dengan minum khamar, zina dan serangkaian maksiat, tentu hukumnya haram. Namun bila yang dilakukan bukan maksiat, tentu keharamannya tidak ada. Yang haram adalah maksiatnya, bukan merayakan malam tahun barunya.

            Misalnya, umat Islam memanfaatkan even malam tahun baru untuk melakukan hal-hal positif, seperti memberi makan fakir miskin, menyantuni panti asuhan, membersihkan lingkungan dan sebagainya. Kegiatan itu tentu ada manfaatnya dan tidak berdosa. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar