Jumat, 06 Desember 2013

Menjamak Shalat

Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60

Seseorang boleh menjamak (menggabungkan dua shalat) dengan dua cara. Yakni, Jama' Taqdim dengan cara mengerjakan dua shalat pada waktu shalat pertama (dimajukan). Misalnya, shalat Asar dilaksanakan pada waktu shalat Zuhur. Lalu, Jama' Ta'khir dengan cara mengerjaka dua shalat pada waktu shalat kedua (diundur), misalnya, shalat Zuhur dilaksanakan pada waktu shalat Asar. Para ulama sepakat, shalat yang bisa dijamak hanyalah shalat Zuhur dengan Asar atau sebaliknya, dan shalat Magrib dengan Isya' atau sebaliknya.
Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya merinci beberapa hal yang menyebabkan seseorang boleh menjamak shalatnya. Yakni:

  1. Ketika Berada di Arafah dan Mundalifah
Para ulama sepakat, bahwa sunnah hukumnya menjamak shalat Zhuhur dan Asar dengan cara Jama Taqdim di Arafah. Begitu juga dengan Maghrib dan Isya dijamak ta'khir. Hal ini berdasarkan pada apa yang dilakukan Nabi saw.

  1. Saat Bepergian
Mayoritas ulama berpendapat rukhshah bagi orang yang bepergian untuk menjamak shalatnya, baik ketika itu ia sedang dalam perjalanan atau sedang berhenti di suatu tempat. Hal ini berdasarkan pada riwayat bahwa ketika Nabi saw dan pasukannya berada di Tabuk, mereka menjamak shalat selama 20 hari.
Menurut Imam Syafii, dalam pelaksanaanya, tidak disyaratkan berurutan. Hukumnya hanya sunnah. Ibnu Taimiyah berpendapat, niat tidak menjadi syarat dalam menjamak shalat. Dalilnya, ketika melaksanakan shalat jamak dan qashar, Nabi saw tidak memerintahkan para sahabatnya untuk menjama atau meng-qashar.


Hukum Jamak Shalat bagi Musafir
Tidak ada satupun dalil yang memerintahkan jamak shalat bagi musafir, yang ada hanyalah nukilan ada perbuatan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Karenannya, hukum jamak shalat bagi musafir adalah sunnah dan tidak sampai dalam derajat wajib, berbeda halnya dengan qashar shalat yang hukumnya wajib bagi musafir.

Adzan dan Iqamah dalam Shalat Jamak
Dalam menjamak dua shalat, disyariatkan untuk mengumandangkan azan di awal dari dua shalat tersebut dan keduanya serta iqamah di awal kedua shalat tersebut. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah dimana beliau berkata, "
:
أَنَّ النَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم -  صَلَّى الصَّلاتَينِ بِعَرَفَةَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتِينِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasalam mengerjakan (menjamak) dua shalat di Arafah dengan sekali azan dan dua kali iqamah.” (HR. Muslim no. 1818)
Juga berdasarkan hadits Abdullah bin Umar.

Jamak Shalat Jumat dan Ashar
Tidak ada satupun dalil yang mengecualikan shalat Jumat dari keumuman hadits-hadits tentang jamak shalat. Karenanya dibolehkan untuk menjamak shalat Jumat dengan shalat ashar berdasarkan keumuman semua dalil di atas. Seandainya shalat Jumat mempunyai hukum tersendiri yang berbeda dengan shalat-shalat lainnya dalam hal menjamak, niscaya para sahabat dan para ulama setelahnya akan semangat dalam menukilnya karena hukum tersebut keluar dari hukum asal. Karenanya, tatkala tidak ada satupun nukilan dari para sahabat radhiallahu anhum yang membedakan antara shalat Jumat dengan selainnya. Barangsiapa yang hendak membedakannya maka hendaknya dia mendatangkan dalilnya.

Hukum Shalat Jumat bagi Musafir
Tidak disunnahkan bagi musafir untuk mengerjakan shalat Jumat, tapi dia disyariatkan untuk hanya mengerjakan shalat zuhur lalu menjamaknya dengan ashar-jika dia ingin-. Dalil dalam masalah ini adalah tidak adanya satupun dalil yang menunjukkan kalau Nabi saw dan para sahabat beliau mengerjakan shalat Jumat dalam keadaan safar. Di antaranya hadits Jabir bin Abdillah yang panjang dalam riwayat Muslim no. 1218 tentang sifat haji Nabi saw, sementara para ulama menyebutkan bahwa hari arafah pada tahun itu jatuh pada hari Jumat.
Jabir berkata setelah menyebutkan isi khutbah beliau di Arafah, “Kemudian Bilal mengumandangkan azan kemudian iqamah kemudian beliau mengerjakan shalat zuhur. Kemudian iqamah kembali dikumandangkan lalu beliau shalat ashar, dan beliau tidak melakukan shalat sunnah satu rakaat pun di antara keduanya.”
Dari shalat yang beliau lakukan di Arafah pada hari Jumat di atas berbeda bukanlah shalat Jumat, ditinjau dari empat perkara:
·         Jabir menamakannya sebagai shalat zuhur dan bukan shalat Jumat.
·         Azan di sini dikumandangkan setelah khutbah, sementara pada shalat Jumat, azan dikumandangkan sebelum khutbah.
·         Hadits Jabir di atas hanya menyebutkan sekali khutbah, sementara shalat Jumat memiliki dua khutbah.
·         Tidak dinukil bacaan beliau pada kedua rakaat tersebut, padahal Jabir menukil bacaan beliau pada shalat sunnah tawaf. Ini menunjukkan shalat yang beliau lakukan saat itu adalah shalat sirriah. Maka shalat ini tentunya bukanlah shalat Jumat karena shalat Jumat adalah shalat jahriah.
Sejumlah ulama seperti Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (5/76), Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhah, dan selainnya menukil kesepakatan ulama akan tidak adanya shalat Jumat bagi musafir. Hanya saja nukilan ijma’ ini kurang detail karena Ibnu Hazm rahimahullah berpendapat tetap wajibnya Jumat bagi musafir. Karenanya ini hanya merupakan pendapat mayoritas ulama, dan inilah pendapat yang kuat insya Allah.



  1. Ketika Hujan Lebat
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Namun secara umum mereka sepakat tentang dibolehkannya menjamak shalat karena hujan lebat, banyak lumpur, atau dingin luar biasa dan kendala alam lainnya.
Bolehnya hal ini khusus bagi mereka yang mengalami kesulitan. Misalnya, rumahnya jauh dari masjid sehingga ia sulit melakukan perjalanan. Adapun bagi orang yang rumahnya dekat masjid atau ada sarana atau alat yang bisa melindunginya dari bahaya, ia tidak boleh menjamaknya (Fiqhus Sunnah I/315).

  1. Karena Sakit atau Uzur
Sekelompok ulama dari Madzhab Syafii membolehkan orang yang sakit untuk menjamak shalatnya karena kesulitan. Kesulitan ketika sakit ini lebih besar daripada ketika turun hujan.
Bahkan, ulama Hambali memperluas keringanan ini hingga ia membolehkan jamak shalat karena halangan seperti ketakutan, ibu yang sedang menyusui karena susah harus mengganti pakaiannya, wanita yang istihadhah, dan orang yang takut kehilangan mata pencariannya kalau ia meninggalkan shalat.
Sayyid Sabiq mengatakan, “Para ulama bermazhab hanbali memiliki pendapat yang longgar terkait dengan masalah menjamak shalat. Mereka membolehkan jamak taqdim ataupun ta’khir bagi orang-orang yang kerepotan untuk shalat di masing-masing waktu shalat dan orang yang diliputi ketakutan. Mereka membolehkan wanita yang sedang menyusui yang kerepotan untuk membersihkan baju yang dia pakai dari najis pada setiap waktu shalat, wanita yang mengalami istihadhah, orang yang memiliki penyakit terus menerus mengeluarkan air seni dan orang yang tidak mampu bersuci (setiap waktu shalat karena sakit atau lainnya).” (Fiqih Sunnah 1/316)
Imam Ibnu Taimiyah mempertegas pendapat ini dengan membolehkan orang yang sangat sibuk bekerja, termasuk juru masak atau profesi lainnya yang tidak mungkin ditinggalkan (Lihat Fiqh Sunnah I/316).

  1. Disebabkan Adanya Keperluan
Imam Nawawi mengatakan, beberapa ulama membolehkan jamak bagi orang yang tidak musafir apabila ada keperluan yang sangat penting dengan syarat tidak dijadikan kebiasaaan. Tujuannya agar tidak menyulitkan. Nabi saw pernah menjamak shalatnya di Madinah. Bukan karena musafir atau hujan. "Beliau tidak ingin menyulitkan umatnya," ujar Abdullah bin Abbas (Fiqhus Sunnah I/316).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar