Senin, 28 Oktober 2013

Seputar Shalat dalam Perjalanan


Banyak pendapat mengenai shalat dalam perjalanan yang biasa disebut dengan Shalat Safar. Untuk itu, perlu pembahasan detil agar tidak menimbulkan salah paham dan perdebatan yang berujung pada perpecahan di kalangan umat. Pemahaman yang baik ini diharapkan bisa membuka pintu 'toleransi' dalam menjalankan ibadah sesuai dengan pemahaman masing-masing, dengan dalil shahih dari al-Qur'an dan hadits.

1. Batasan Jarak untuk Sahnya Shalat Musafir/Safar
Menurut Imam Ibnu Mundzir, ada sekitar 20 pendapat yang memperselisihkan jarak shalat safar. Berikut sebagian rinciannya:
a. Minimal tiga mil atau farsakh, berdasarkan hadits,
Artinya : Syau'bah dari Yayah bin Yazid Hanafi memberitakan, saya bertanya kepada Anas bin Malik mengenai shalat qashar. Anas menjawab, "Rasullullah saw bila bepergian sejauh 3 mil atau farsakh, maka Rasulullah saw shalat dua rakaat," (HR Ahmad dan Muslim).

Kata-kata 3 mil atau farsakh di atas dianggap tidak jelas karena perawi (Syau'bah) ragu-ragu meriwayatkannya, antara mil atau farsakh. Padahal 1 farsakh = 3 mil atau 3 farsakh = 9 mil. Namun kekaburan ini diperjelas dengan riwayat dari Abu Sa'id al-Khudri sebagai berikut :
Ia memberitakan Rasulullah saw bila bepergian sejauh satu farsakh, maka mengqashar shalat menjadi dua raka'at (diberitakan oleh Said bin Mansur dan Al-Hafidz, yang menyebutkannya dalam Kitab at-Talkhis dan ia mendiamkan hadits ini sebagai tanda pengakuannya).
Jadi, dua hadits ini bisa dikompromikan. Satu mil= 1 farsakh. Ukuran 1 mil = 1748 meter. (3 mil = 5244 m). Sedangkan 1 farsakh adalah 5541 meter. Jadi, 3 mil atau 1 farsakh sekitar 5 atau 6 km.Mengenai satuan Farsakh (menurut sejarah dan stadart baku) berasal dari satuan Persia Kuno, yaitu perjalanan dengan kuda selama 1 jam menempuh jarak 3 mil.

b. Minimal 4 barid (sekitar 77.520 m atau ± 80 Km) atau sejauh Makkah ke Usfan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda, "Jangan kamu meng-qashar shalat dalam perjalanan kurang dari 4 barid, yaitu dari Makkah hingga Usfan," (HR Daraquthni dengan isnad dhaif). Hadits ini dianggap mempunyai cacat karena dalam penyampaiannya ada musnad (orang yang menyampaikan hadits ini) yaitu Abdul Wahad bin Mujahid yang dituduh pendusta/tukang karang hadits (Lihat Nailul Authar Juz III).
Namun pendapat ini dikuatkan oelh Imam Malik dalam kitabnya al-Muwattha'. Ia meriwayatkan dari Salim bin Abdullah bahwa Abdullah bin Umar berkendara menuju Dzatin Nushub. Lalu ia mengqashar shalat dalam perjalanan tersebut." Malik berkata, "Jarak Dzatin Nushub dan Madinah sekitar empat Burud."
Tak adanya kepastian ini karena dalam al-Qur'an hanya disebutkan, "Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat(mu),” (QS an-Nisaa: 101).
Ketentuan ini diberlakukan sama, baik di zaman Nabi saw atau sekarang. Perbedaan sarana transportasi, tidak mempengaruhi hukum tersebut. Sebab, yang disebutkan dalam riwayat bukan masalah sarana transportasi tapi jarak.

2. Shalat-shalat yang di-Qashar
Adapun shalat yang di-qashar adalah yang berjumlah empat rakaat saja sehingga menjadi 2 rakaat, sedangkan yang 2 atau 3 rakaat tidak boleh. Jadi, yang bisa di-ashar adalah Zhuhur, Ashar dan Isya'.

3. Batas Waktu Shalat Musafir yang Boleh Di-qashar
Seorang musafir boleh terus meng-qashar shalatnya selagi ia bepergian. Ketika ia berhenti di suatu tempat untuk suatu keperluan, ia tetap boleh meng-qashar shalatnya. Sebab, ia masih terhitung musafir meskipun bertahun-tahun.
·         Ibnu Qayyim al-Jauziyah sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya menjelaskan, Nabi saw bermukim di Tabuk selama 20 hari dan terus meng-qashar shalatnya. Dalam Shahih Buhkari dari Ibnu Abbas dijelaskan bahwa Nabi saw bermukim dalam suatu perjalanan selama 20 hari dan selalu meringkas shalatnya. Kami pun melakukan hal itu. Jika lebih dari 20 hari, kami menyempurnakannya.
·         Miswar bin Makhramah mengatakan, "Kami bermukim bersama Saad bin Abi Waqqash di salah satu wilayah Syam selama 40 hari. Selama itu Saad tetap meng-qashar shalat tapi kami shalat seperti biasa."
·         Nafi' mengatakan, Abdullah bin Umar bermukim di Azerbeijan selama 6 bulan dan tetap meng-qashar shalat selagi turun salju."
·         Hafash bin Ubaidillah mengatakan, "Anas bin Malik bermukim di Syam selama 2 tahun dan terus melaksanakan shalat sebagaimana musafir.
·         Menurut Anas, para sahabat Nabi saw bermukim di Ramahurmuz selama 7 bulan dan tetap meng-qashar shalat.
·         Menurut Hasan, ia bermukim bersama Abdurahman bin Samurah selama 2 tahun di Kabul dan terus meng-qashar shalatnya dan tidak menjama'.
·         Ibrahin mengatakan, para sahabat Nabi saw bermukim di Ray selama 1 tahun atau lebih dan di Sajistan selama 2 tahun, mereka meng-qashar shalat.

Berdasarkan banyak riwayat itu, para ulama berijithad. Menurut Malik dan Syafii, jika seseorang berniat muqim selama lebih dari empat hari, maka ia menyempurnakan shalatnya. Kalau kurang dari itu, ia boleh meng-qashar shalatnya. Menurut Imam Abu Hanifah, kalau lebih dari 15 hari, harus menyempurnakan shalat. Jika tidak, boleh diqashar. Namun menurut Ibnu Mundzir, para ulama sepakat, seorang musafir boleh meng-qashar shalat selagi ia tidak berniat mukim meskipun sudah bertahun-tahun.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya selama dirinya tidak berniat menetap secara mutlak karena Nabi saw dan para sahabatnya menetap di Makkah kurang lebih 20 hari dan selama itu mereka mengqashar shalat. Mereka juga menetap di Makkah selama 10 hari dan selama itu mereka tidak berpuasa Ramadhan.

4. Tentang Menyempurnakan Shalat bagi Musafir
Meng-qashar shalat dalam perjalanan memang rukhshah (keringan) bukan wajib. Namun, sebagian ulama lebih mengutamaan mengambil keringanan ini meskipun saat dalam perjalanan kita sanggup menyempurnakan shalat.
Berkenaan dengan hal ini, para ulama sependapat bahwa musafir dianjurkan untuk meng-qashar shalatnya. Mereka berbeda pendapat tentang hukum meng-qashar shalat ketika musafir. Mazhab Hanafi berpendapat, musafir yang tidak meringkas shalatnya yang empat rekaat, jika duduk tasyahud awal, maka sah shalatnya tapi makruh karena ia mengundur salam. Sedangkan dua rekaat selanjutnya dianggap sunnah. Namun bila ia tidak duduk pada tasyahud awal, maka shalatnya tidak sah.
Menurut Mazhab Maliki, meringkas shalat ketika safar, hukumnnya sunnah muakkadah, bahkan melebih shalat berjamaah. Jika seorang musafir tidak menemukan teman untuk berjamaah, maka lebih baik dia shalat sendirian dengan meng-qashar shalat. Ia makruh menyempurnakan empat rekaat atau bermakmum kepada jamaah yang shalat empat rekaat.
Menurut Mazhab Hanbali dan Syafii, meringkas shalat hukumnya boleh, hanya saja meringkas lebih utama jika memang sudah mencapai jarak yang dibolehkan. (Lihat Fiqhus Sunnah Jili I/307).
Dalam sebuah hadits, dari Ibnu Umar berkata, "Saya menyertai Rasulullah saw (dalam bepergian), dan Rasulullah saw TIDAK PERNAH lebih dari 2 rakaat (shalatnya) hingga nyawa Rasulullah saw dicabut Allah. Saya menyertai Abu Bakar, Abu Bakar TIDAK PERNAH lebih 2 rakaat hingga nyawa Abu Bakar  dicabut oleh Allah. Aku menyertai Umar, ia TIDAK PERNAH lebih 2 rakaat (menambah) hingga nyawa Umar dicabut oleh Allah. Saya menyertai Utsman, TIDAK PERNAH lebih 2 rakaat hingga nyawa Utsman dicabut oleh Allah."
Hadits ini diperkuat dengan hadits lainnya. Mislanya,  lbnu Abbas berkata, "Allah memfardhukan shalat pada lisan Nabimu atas orang bepergian 2 rakaat, atas orang muqim 4 rakaat dan Khauf 1 rakaat," (HR Muslim.

5. Shalat Sunnah dalam Perjalanan
            Hal ini boleh dilakukan boleh juga ditinggalkan. Para sahabat Nabi saw pernah melaksanakannya tapi Ibnu Umar juga pernah menuturkan bahwa tidak pernah menjumpai Nabi saw serta khulafaur rasyidin, shalat lebih dari 2 rakaat saat dalam perjalanan.

6. Bepergian di Hari Jumat
            Tak ada larang bepergian di hari Jumat. Umar pernah mengatakan, "Hari Jumat tidak menghalangi seseorang untuk bepergian." Abu Ubaidah juga bepergian di Hari Jumat. Imam az-Zuhri juga menegaskan bahwa Nabi saw juga pernah bermusafir di hari Jumat.

Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)

0817-1945-60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar