Kamis, 10 Oktober 2013

Akad Nikah dalam Islam


1.    Rukun Nikah
Adapun rukun nikah ada 5, yaitu :
1. Wali
2. Pengantin laki-laki
3. Pengantin perempuan
4. Dua saksi laki-laki
5. Akad nikah
Akad nikah merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan menurut Islam akad nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru nikah.

Syarat (akad) yaitu adanya akad itu jelas keluar dari lafadz نكاح atau تزويج (aku nikahi) walaupun akad tersebut tanpa menggunakan bahasa arab sekitarnya kedua lafadz itu dipahami oleh dua orang yang akad dan dua saksi.
Tidak sah akad nikah kecuali dengan wali yang adil, atau orang yang mendapatkan ijin wali. Syarat dalam wali itu disyaratkan tidak fasiq di sebagian nusakh itu harus wali laki-laki yang lebih diunggulkan dari pada wanita, karena sesungguhnya wanita itu tidak bisa menikahkan diri sendiri atau menikahkan orang lain.
ولا يصح عقد النكاح ايضا الا بحضور شاهدى عدل
Tidak sah juga akad nikah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.

2.        Syarat Ijab Qabul
-          Sudah tamyiz (bisa membedakan yang benar dan salah)
-          Berlangsung dalam satu majelis, tidak diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan qabul. Ini pendapat Imam Syafii. Imam Malik membolehkan waktu senggang yang sebentar antara ijab dan qabul.
-          Ucapan qabul tidak boleh menyalahi ucapan ijab kecuali dengan yang lebih baik.
-          Pihak yang melakukan akad harus dapat mendengar dan mengerti maksud masing-masing.
-          Karena itu, para ulama tidak menganggap sah akad nikah via telepon. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’), dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused atau syak), apakah telah dipenuhi atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik.
-          Namun sebagian ulama menganggap sah jika dipastikan suara yang terdengar adalah suara yang bersangkutan.
-          Sebagai jalan keluar dari nikah jarak jauh ini, Islam jauh hari sudah memberikan ruang yakni dengan perwakilan. Hal ini tidak perlu kecanggihan teknologi tapi sudah disiapkan ruangnya oleh Islam.

3.        Kata-kata dalam Ijab Qabul
-          Harus dapat dimengerti maksudnya oleh kedua belah pihak
-          Ibnu Taimiyah membolehkan akad dengan bahasa selain Bahasa Arab.
-          Para ulama sepakat bolehnya menggunakan kata-kata tazwij atau pecahan atau makna dari kata itu, seperti nikah.
-          Para ulama berbeda pendapat jika kata-katanya diganti dengan selain makna tazwij, misalnya: saya serahkan, jual, milik kamu dst. Kalangan Hanafi membolehkan lafazh akad dengan kata-kata apa saja asalkan diniatkan untuk nikah. Imam Syafii mengharuskan lafazh akad nikah dengan kata-kata tazwij atau nikah atau pecahan kedua kata itu.

4.      Ijab Qabul Bukan dengan Bahasa Arab
-          Para ulama sepakat tentang bolehnya akad dengan selain Bahasa Arab bagi mereka yang tidak bisa berbahasa Arab. Mereka berbeda pendapat jika yang berakad itu bisa berbahasa Arab.
-          Imam Syafii  berpendapat, bagi yang mampu berbahasa Arab dalam ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa Arab.
-          Imam Abu Hanifah membolehkan dengan bahasa apa saja, baik yang mampu berbahasa Arab atau tidak.
-          Ijab qabul orang yang bisu sah dengan isyarat yang dimengerti. Sebagia ulama menganggap tidak sah, ijab qabul bagi orang bisu dengan isyarat jika ia sanggup menulis. Ia harus menuliskan ijab atau qabulnya.
-          Jika salah seorang pasangan pengantin tidak ada, nikah tetap bisa dilangsungkan. Caranya, sang pengantin menulis surat yang dipersaksikan oleh minimal dua orang atau ia  mengutus wakilnya. Jika diterima, maka nikahnya sah. Hal ini pernah terjadi di masa Nabi saw, bahwa beliau menikah dengan Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan. Nabi saw  kala itu berada di Madinah, sedangkan Ramlah di Habasyah. Sebagai wakil Nabi saw adalah Raja Habasyah an-Najasyi.
-          Ijab qabul harus mutlak, tidak boleh bersyarat. Misalnya, “Kunikahkan putriku denganmu kalau kamu sudah mendapat pekerjaan.” Ini tidak sah. Tapi kalau syaratnya itu sudah terjadi, maka  nikahnya sah. Misalnya, “Saya nikahkan putriku denganmu kalau usianya sudah 20 tahun.” Ternyata benar, usianya benar sudah 20 tahun.
-          Ijab qabul yang ditentukan dengan waktu juga tidak sah. Misalnya, “Aku nikahi putri Bapak besok atau bulan depan.” Lalu ayahnya menjawab,  “Ya, aku terima.” Akad ini tidak sah meskipun waktunya terjadi karena berarti telah meniadakan ijab qabul.
-          Ijab qabul yang menyertakan waktu tertentu juga tidak sah. Misalnya, “Saya nikahkan putri saya denganmu selama sebulan.” Ini yang disebut nikah Mut’ah atau nikah kontrak dilarang dalam Islam.

5.        Sekilas Tentang Nikah Mut’ah
-          Seluruh Imam Madzhab mengharamkan jenis pernikahan ini kecuali kalangan Syiah
-          Nikah Mut’ah sekaligus menghapus beberapa konsekuensi dari nikah itu sendiri, antara lain: talak, iddah dan warisan. Dengan adanya nikah Mut’ah, tiga  hal ini terhapus.
-          Banyak hadits yang menegaskan tentang larangan nikah Mut’ah ini. Antara lain:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya, “Wahai manusia, dulu aku pernah mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah telah mengharamkannya hingga Hari Kiamat.” (HR Muslim 7/192).
-          Di masa Umar bin Khaththab, ia pernah mengumumkan kepastian haramnya nikah Mut’ah. Saat itu tak ada sahabat Nabi saw  yang mengingkari.
-          Nikah Mut’ah menghilangkan tujuan utama dari pernikahan itu sendiri. Bahkan, berpotensi menzalimi pihak wanita.
-          Adapun nikah tapi berniat menceraikannya suatu saat nanti, sebagian ulama membolehkannya. Namun hal ini harus dihindari karena mengandung unsur penipuan. Ulama yang  membolehkan jenis nikah ini mensyaratkan jika dalam kondisi darurat dan khawatir terjerumus pada perzinaan. Misalnya, seseorang yang bertugas jauh dari keluarganya, ditempatkan di negara Barat yang rawan perzinaan, maka  selama ia berada tempat tugasnya ia boleh menikah dengan wanita setempat padahal ia tahu tidak akan selamanya berada di sana dan tidak mungkin membawa istrinya ke negara asalnya.

6.    Tentang Nikah Cina Buta
-          Maksudnya: seorang laki-laki menikahi wanita yang sudah ditalak tiga oleh suaminya lalu menceraikannya lagi dengan tujuan agar suami pertamanya bisa menikahinya lagi.
-          Para ulama sepakat jenis pernikahan ini termasuk dosa besar. Nabi saw bersabda, “
لَعَنَ اللهُ اْلمُحَلِّلَ وَ الْمُحَلَّلَ لَهُ
Artinya, “Allah melaknat orang yang menikah (cina buta) dan orang yang menyuruh (orang lain) melaksanakan pernikahan ini.” (HR Ahmad).
-          Namun menurut Imam Syafii, jika tidak dinyatakan bahwa ia akan menceraikan istrinya dan tidak ada kesepakatan dengan suami pertamanya, maka nikahnya sah.
-          Ulama mensyaratkan, pernikahan dengan laki-laki kedua itu harus diwujudkan dengan berlangsungnya hubungan badan dengan wanita yang dinikahi (HR Bukhari Muslim). Jika tidak, ketika ia diceraikan lagi, maka suami pertamanya tidak boleh menikahinya.
Hikmah adanya syariat ini, agar suami tidak mudah begitu saja men-talak lalu menikahi istrinya kembali.

Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA / @andibastoni
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)

0817-1945-60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar