Suatu
kali Abdul Wahid bin Zaid berlayar bersama beberapa sahabatnya. Angin membawa
kapal mereka menuju sebuah pulau kecil. Di sana , mereka menjumpai seorang laki-laki
sedang menyembah berhala. Kisah ini dikutip dalam Kitab al-Tawwabin (Dar
al-Manar, halaman 193-194).
Abdul Wahid bertanya pada orang itu,
"Hai fulan, siapa yang kamu sembah itu?" Laki-laki itu menunjuk ke
arah berhalanya. "Ia tidak layak disembah," ujar Abdul Wahid.
Mendengar itu, sang penyembah berhala bertanya, "Lalu apa yang kalian
sembah?"
"Allah."
"Siapa Allah itu?"
"Dzat
yang arasy-Nya di langit, kekuasaan-Nya di muka bumi, ketentuan-Nya meliputi
segala kehidupan dan kematian."
"Bagaimana
kalian tahu tentang hal itu?" Abdul Wahid menjawab, "Dia mengutus
kepada kita seorang Rasul yang mulia, dan Rasul tersebut mengabari hal
itu."
"Apakah
dia meninggalkan untuk kalian suatu bukti sebagai petunjuk?"
"Tentu
saja, dia mewariskan Kitabullah," jawab Abdul Wahid. "Tunjukkan
padaku kitab itu," pinta sang penyembah berhala.
Abdul
Wahid lalu menunjukkan mushaf al-Qur'an. “Aku tidak tahu tentang kitab
ini," komentar laki-laki tersebut. Abdul Wahid membacakan sebuah surat . Sejenak kemudian
penyembah berhala itu menangis. "Pemilik wahyu ini tidak layak
dimaksiati," katanya. Ia pun kemudian menyatakan untuk memeluk Islam.
“Kami
membawanya dalam perjalanan,” kisah Abdul Hamid tentang muallaf itu, “kami
ajarkan syariat Islam dan beberapa surat
al-Qur'an. Ketika malam tiba, kami pun shalat Isya’, dan ketika kami hendak
tidur, laki-laki itu berkata, ‘Saudaraku, Tuhan yang kamu tunjukan padaku itu,
apakah jika malam hari tidur?"
"Tentu
saja tidak, wahai hamba Allah," jawab Abdul Hamid. "Dia abadi dan
tidak pernah tidur," imbuhnya. "Betapa buruk hamba macam kalian ini,
kalian tidur pulas sementara Tuhan kalian terjaga?"
Abdul
Wahid dan para sahabatnya teramat takjub dengan kata-katanya. Ketika mereka
sampai di Abadan ,
sebuah wilayah kekhalifahan Islam, Abdul Wahid dan kawan-kawannya bersepakat
membiarkan laki-laki itu hidup mandiri. Mereka mengumpulkan uang dan
memberikannya pada muallaf itu.
"Untuk
apa uang ini?" tanya pria itu. "Untuk mencukupi kebutuhanmu."
Muallaf
itu menolak dan berkata, "Tiada Tuhan selain Allah. Aku tidak butuh uang.
Kalian telah menunjukkan padaku jalan yang kalian tempuh. Aku pernah tinggal di
pulau di tengah laut, menyembah pada selain Allah. Tetapi meski begitu Allah
masih menghiraukanku. Sekarang, ketika aku sudah tahu tentang Allah, mana
mungkin Dia akan mengabaikanku? Aku tidak akan khawatir tentang hidupku
ini."
Sabrur R Soenardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar