Kamis, 29 Agustus 2013

Pelajaran dari Khalid bin Walid


Pengujung Ramadhan 8 Hijriyah. Khalid bin Walid  baru saja kembali dari Nakhlah. Setelah berhasil menghancurkan berhala Uzza, ia kembali diutus Rasulullah saw ke Bani Jadzimah. Kali ini bukan untuk berperang, tapi menyeru mereka masuk Islam.

Khalid bin Walid berangkat bersama 350 orang dari kaum Anshar, Muhajirin dan Bani Sulaim. Setiba di lokasi, Khalid mengajak Bani Jadzimah untuk memeluk Islam. Mereka menerima, tapi enggan mengucapkannya terus terang. “Kami telah berpindah agama. Kami telah berpindah agama!” Hanya itu kalimat yang keluar dari mulut mereka.

Menghadapi kasus tersebut, Khalid bin Walid membunuh dan menawan sebagian dari mereka. Kepada setiap orang yang menyertainya, Khalid menyerahkan seorang tawanan. Namun beberapa hari kemudian, Khalid pun memerintahkan agar setiap orang membunuh tawanannya.


Umar bin Khaththab dan beberapa sahabat Nabi lainnya tidak menyetujui tindakan itu. Mereka pun menghadap dan memberi tahu Rasulullah saw. “Ya Allah, aku berlepas diri dari apa yang dilakukan Khalid,” ujar Rasulullah saw seperti diriwayatkan Bukhari dalam Shahih-nya (I/450 dan II/622). Bahkan, beliau mengulang ucapannya itu sampai dua kali.

Tak hanya itu, Rasulullah saw segera mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membayar diyat (tebusan) kepada keluarga korban pembunuhan. Belakangan diketahui, ternyata kaum Anshar dan Muhajirin tidak terlibat dalam kasus tersebut. Bani Sulaimlah yang melaksanakan instruksi Khalid bin Walid.
Dalam peristiwa itu sempat terjadi perdebatan cukup sengit antara Abdurahman bin Auf dengan Khalid bin Walid. Mendengar hal itu, Rasulullah saw segera menegur Khalid bin Walid. Ucapan beliau cukup tegas. “Pelan-pelan wahai Khalid, biarkanlah para sahabatku. Demi Allah, seandainya Gunung Uhud itu berupa emas, lalu engkau infaqkan di jalan Allah, engkau tidak dapat menyamai (pahala) kepergian salah seorang dari sahabatku di waktu pagi atau petang,” ujar Rasulullah saw.
Kisah yang terdapat dalam Sirah Ibnu Hisyam (II/389-437), Zaad al-Ma’ad oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah (II/160-168) dan beberapa buku sirah lainnya itu memberikan banyak pelajaran bagi kita. Utamanya para pelaksana kebijakan di negeri ini.

Fathu Makkah merupakan salah satu babak sejarah dalam kehidupan Rasulullah saw yang menunjukkan kearifan beliau dalam menghadapi masalah. Pada peristiwa ini, yang nampak bukan hanya sikap pemaaf beliau tapi juga hikmah politik Rasulullah saw dalam memelihara Sumber Daya bagi dakwah.

Bagi para tokoh Quraisy yang semula menolak Islam, kemenangan kaum Muslimin pada Fathu Makkah, menjadi pilihan satu-satunya untuk mengakui keunggulan Rasulullah saw. Tak ada pilihan lain. Seandainya Rasulullah saw “menghabisi” mereka satu persatu, menurut kaca mata politik, tak ada yang salah. Itu hak Rasulullah saw. Dulu, merekalah yang mengusir, menganiaya bahkan berupaya membunuh beliau. Tapi tidak. Rasulullah saw malah  membiarkan mereka hidup sembari berharap, kelak para muallaf itu menjadi pembela Islam.

Benar, sebagian besar dari tokoh itu, belakangan menjadi tentara Allah yang andilnya tidak kecil dalam menyebarkan Islam. Sebut misalnya Abu Sufyan bin Harb. Ia membuktikan kesungguhan taubatnya dengan merelakan sebelah matanya menjadi korban senjata lawan pada Perang Yarmuk. Ikrimah bin Abu Jahal juga termasuk muallaf Fathu Makkah yang belakangan menjadi pembela Islam. Ia pun gugur sebagai syahid di medan Yarmuk.

Karena itu, ketika mendengar berita pembunuhan Bani Jadzimah yang dilakukan Khalid bin Walid, Rasulullah saw marah. Ketika terjadi “pertengkaran” antara Khalid dan Abdurahman bin Auf tentang masalah tersebut, Rasulullah saw langsung mengeluarkan kata-kata tegas kepada Khalid, “Demi Allah, seandainya Gunung Uhud itu berupa emas, lalu engkau infaqkan di jalan Allah, engkau tidak akan dapat menyamai (pahala) kepergian salah seorang dari sahabatku di waktu pagi atau petang.”
Kata-kata itu begitu tajam. Rasulullah saw memilih diksi kalimat dengan menyinggung Gunung Uhud, bukan tanpa sengaja. Beliau tahu, Khalid bin Walid mempunyai kenangan tersendiri dengan lokasi itu. Rasulullah saw pun ingat betul dengan peristiwa itu. Ya, Perang Uhud. Pada peristiwa tersebut, Khalid bin Walid yang kala itu masih kafir, berhasil mengalahkan kaum Muslimin.

Meninggalnya 70 sahabat—termasuk paman beliau, Hamzah bin Abdul Muththalib—dalam Perang Uhud menyisakan kenangan tersendiri bagi Rasulullah saw. Peristiwa itu begitu membekas dalam benak beliau. “Saya belum pernah melihat Rasulullah saw menangis keras melebihi tangisnya terhadap Hamzah bin Abdul Muththalib,” kenang Abdullah bin Mas’ud, salah seorang saksi mata peristiwa itu.

Mungkin bagi Khalid bin Walid, Perang Uhud adalah “prestasi utama” saat dirinya belum mengenal Islam sekaligus menjadi “kesalahan terbesar” dalam hidupnya setelah ia memeluk Islam. Rasulullah saw tahu, kata “Uhud” begitu lengket di benak Khalid. Kata itu tak mungkin dihapus dalam memori kehidupannya.

Karenanya, teguran Rasulullah saw—yang menyinggung-nyinggung Perang Uhud—begitu membekas. Teguran itu begitu tegas. Namun Khalid bin Walid bukanlah panglima cengeng yang begitu mendapat teguran keras langsung ngambek. Justru teguran itu menjadi bahan bakar baginya untuk lebih banyak berbuat bagi kemuliaan Islam.

Ini pelajaran amat berharga bagi kita. Kita harus memahami bahwa orang yang shalih bukan berarti tak pernah melakukan kesalahan. Bahkan para nabi adalah orang-orang shalih dan mereka pun tak luput dari kesalahan. Tentu saja kesalahan yang dilakukan para utusan Allah itu tidak besar.

Para sahabat Nabi saw pun adalah orang-orang shalih. Mereka pun tak luput dari salah. Umar bin Khaththab pernah mau “melabrak” Amr bin Ash yang kala itu menjadi panglima. Amr bin Ash melarang pasukan menyalakan obor. Padahal keadaan sangat gelap. Umar marah. Antara dua jagoan itu hampir terjadi percekcokan. Abu Bakar yang juga ikut menjadi prajurit segera melerai, “Tahan wahai Umar! Sesungguhnya dia tidak diangkat sebagai panglima kecuali karena keahliannya dalam berperang.” Umar pun tenang.

Kisah Kaab bin Malik dan dua temannya yang tak ikut Perang Tabuk juga merupakan contoh nyata bahwa orang-orang shalih bisa juga salah. Mereka dihukum tidak diajak bicara selama 50 hari. Ia pun bertaubat dari kesalahannya. Di masa pemerintahan Utsman bin Affan, Anas bin Malik pernah melirik dan memperhatikan kecantikan seorang wanita. Ia pun ditegur Utsman, “Telah masuk salah seorang di antara kalian yang di matanya ada bekas zina. Tidakkah engkau tahu zina mata adalah pandangan? Segeralah bertaubat. Kalau tidak, aku akan melakukan hukum ta’zir (pengasingan) padamu,” ujar Utsman. Anas pun mengaku salah dan bertaubat.

Hathib bin Abi Balth’ah, seorang veteran Perang Badar, pernah membocorkan rahasia rencana Nabi saw untuk membebaskan Makkah kepada keluarganya di kota itu. Ia pun dimaafkan oleh Nabi saw, dan Hathib pun bertaubat.

Karena itu menyikapi kesalahan yang dilakukan oleh seseorang, kita harus bijak. Apalagi orang tersebut adalah tokoh yang selama ini telah berbuat banyak buat umat dalam hal kebaikan. Jangan karena ‘nilai setitik rusak susu sebelanga’.

Bagaimana mungkin kita menghujat seorang tokoh yang telah memberikan kontribusi besar bagi umat, lantaran ia berpoligami, misalnya, kita hujat habis-habisan, kita maki, kita jatuhkan martabatnya. Padahal apa salahnya? Salahkan dia?

Selanjutnya, kesalahan yang dilakukan seseorang tidak membuat kita harus menyalahkan banyak orang. Persis seperti pepatah ‘karena nilai setitik rusak susu sebelanga’. Karena perbuatan satu orang, satu lembaga kena getahnya. Padahal, kesalahan itu bisa jadi kasuistis, tak disengaja, siapa pun bisa tergelincir.

Namun kesalahan tak mungkin dibiarkan. Kesalahan harus dihentikan. Jadikan pelajaran bagi yang lain.

Bagi para pemimpin, teguran Nabi saw untuk Khalid dalam kisah di atas, menarik direnungkan. Hal yang sering terjadi, teguran atas kesalahan sering dianggap sebagai pematah semangat. Akibatnya, tidak sedikit dari mereka yang semula begitu semangat bergeliat, menjadi surut seketika saat mendapat teguran.

Sungguh amat berbeda dengan Khalid bin Walid. Setelah peristiwa itu, Khalid bin Walid bukannya surut dari medan perang. Ia tetap berada di front terdepan sebagai panglima. Dan ia pun selalu keluar sebagai pemenang. Dalam bentangan sejarah, ia tercatat sebagai panglima yang tak pernah kalah, baik ketika ia masih kafir maupun setelah memeluk Islam.


Puncak prestasi Khalid bin Walid ia ukir dalam Perang Yarmuk. Meski hari itu dirinya telah diberhentikan oleh Umar bin Khaththab sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Kaum Muslimin, tapi ia tetap memimpin peperangan. Ia pun kembali menorehkan prestasi dan menggondol piala kemenangan. Tak salah kalau Rasulullah saw menjulukinya dengan Saifun min Suyufillah al-Maslul. Si Pedang Allah yang Terhunus.

Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar