Kamis, 22 Agustus 2013

Membedah Syi’ah


Oleh:  Farid Ahmad Ukbah

Mengkaji suatu aliran atau sekte diperlukan keluasan wawasan. Apalagi seperti aliran Syi’ah yang mempunyai sejarah panjang dan referensi cukup banyak. Setuju atau tidak, jika membahas Syi’ah akan tampak perbedaan bahkan permusuhan terhadap Ahlus Sunnah yang dianggap antitesa Syi’ah. Berbagai pihak berusaha mengkompromikan antara dua aliran besar ini dengan istilah Taqrib dan Forum Ukhuwah. Tapi kebanyakannya gagal, karena dianggap tidak fair. Sebab yang terjadi adalah Syiahnisasi Ahlus Sunnah. Perlu diketahui, dalam masalah ini bila disebutkan Syi’ah yang dimaksud adalah Syi’ah Imamiyah Itsna Asyariyah, Ja’fariyah yang dipegangi  oleh Iran.
Syi’ah dari segi bahasa berarti pengikut, kelompok atau golongan. Secara terminologi berarti satu aliran dalam Islam yang meyakini Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad saw. (Ensiklopedi Islam, PT. Ikhtiar Baru Van Hoekl, Jakarta, Th 1997, Cet. 4, Juz 5 ).

Para penulis sejarah tak ada yang sepakat mengenai awal lahirnya sekte Syi’ah. Hanya bisa disimpulkan ada tiga pendapat yang menonjol menurut ulama Syi’ah. Pertama, Syi’ah lahir sebelum datangnya risalah Muhammad saw seperti diriwayatkan al-Kulaini dari Abil Hasan berkata,  “Wilayah Ali tertulis di seluruh suhuf para Nabi. Allah tidak mengutus Rasul kecuali dengan (misi) kenabian Muhammad saw dan wasiat Ali as.” (Muhammad bin Ya’kub al-Kulaini, al-Ushul Minal Kafi, Juz I). Kedua, Syi’ah lahir pada masa Nabi masih hidup. Pendapat ini dilansir oleh al-Qumi, al-Nubakhti dan ar-Raji. (Dr. Nashir Al-Qufari, Ushul Madzhab Syi’ah Imamiyah, tanpa cetakan, th. 1415 H/1994 M, Cet.  2).
Pendapat ini sulit dibuktikan, karena pada masa Abu Bakar dan Umar saja tak dikenal adanya pengikut Syi’ah.  Ketiga, pendapat yang umumnya diketengahkan banyak para penulis Syi’ah bahwa Syi’ah lahir setelah terjadi fitnah pembunuhan Utsman dan yang paling menonjol Syi’ah baru muncul ke permukaan setelah dalam kemelut antara pasukan Ali dan Muawiyah. (Ensiklopedi Indonesia, Juz 6 Lihat: Abdullah bin Saba’, Dr Sulaiman al-Audah).
Syi’ah menurut penelitian Dr Abdul Aziz Wali dalam disertasinya, pada abad pertama Syi’ah masih sebatas pengutamaan Ali atas Utsman. Tak sampai mengutamakan Ali atas Abu Bakar dan Umar. Di antara tokoh Syi’ah yang menyatakan itu adalah Imam Sya’bi dan Ja’far ash-Shadiq. Hanya kemudian trend Syi’ah berkembang menjadi madzhab tersendiri yang umumnya golongan Syi’ah ini tak mengakui kekhalifaan Abu Bakar, Umar, Utsman, Muawiyyah dan seterusnya Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam mereka. (Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, Th. 1418 H/1998 M, Cet. I).
Menurut penelitian Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) bahwa sementara pihak dari kalangan Syi’ah hendak mengatakan bahwa Abdullah bin Saba’, sang Yahudi itu, bukan pendiri dan aktor intelektual Syi’ah. Bahkan, kata mereka, tokoh itu fiktif. Tetapi LPPI berhasil menemukan 7 riwayat dari sumber Syi’ah dan 6 riwayat dari sumber Ahlus Sunnah yang karenannya sulit dibantah kalau Abdullah bin Saba’ bukan pendiri Syi’ah. (Muhammad Shadiq Ash-Shadr. Asy-Syi’ah Al-Imamiyah, Cairo, Mathba’atun Najah, th. 1402 H/1982 M, Cet II).
Bahkan Ibnu Taimiyah pernah mengatakan, peranan Abdullah bin Saba’,  si Yahudi, yang berpura-pura masuk Islam dan berhasil memprovokasi sebagian umat Islam yang kemudian menjadi ajaran Syi’ah itu, berhasil merusak Islam dari dalam sebagaimana Paulus, si Yahudi itu, berhasil mengacak-acak agama Kristen.
Lebih dari itu, Syeikh Ahmad al-Jumali dalam bukunya Badzlul Majhud fi Musyabahatis-Syi’ah bil Yahud  (Usaha Mencari Persamaan Syi’ah dengan Yahudi), ditulis dalam dua jilid besar.
Inti ajaran Syi’ah sebenarnya terletak pada masalah Imam yang mereka pusatkan pada tokoh-tokoh Ahlul Bait. Imam itu tidak boleh di luar dari mereka. Karena itu mereka menentukan 12 Imam. Yaitu, Ali bin Abi Thalib (41 H / 661 M), Hasan bin Ali bin Abi Thalib (49 H / 669 M), Husain bin Ali bin Abi Thalib (61 H / 680 M), Ali bin Husein Zaenal Abidin (94 H / 712 M), Muhammad Al-Baqir (113 H / 713 M), Ja’far Ash-Shadiq (146 H / 765 M), Musa Al-Kadzim (183 H / 799 M), Ali Ar-Ridha (203 H / 818 M), Muhammad Al-Jawad (221 H / 835 M), Ali Al-Hadi (254 H / 868 M), Hasan Al-Askari (261 H / 874 M), Muhammad Al-Muntazhar, al-Mahdi, (265 H / 878 M).
Pihak Syi’ah meyakini imam-imam ini ma’shum (terjaga dari salah dan dosa) dan yang paling berhak melaksanakan imamah. Hanya dalam perkembangan Syi’ah terjadi perbedaan ketika menentukan siapa Imam setelah Ali Zainal Abidin, apakah Zaid bin Ali atau Muhammad Al-Baqir. Karena itu, Syi’ah terbagi dua. Pertama Syi’ah Imamiyah. Kedua, Syi’ah Zaidiyah. Keduanya bersaudara. Demikian pula ketika menentukan Imam ketujuh, karena Ja’far Ash-Shadiq mempunyai beberapa orang anak pria. Di sini Syi’ah Imamiyah menentukan Musa al-Kadzim, sedangkan Syi’ah Ismailiyah mengikuti Ismail bin Ja’far.(Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, Th. 1418 H/1998 M, Cet. I, hal 52).
Di luar tiga golongan Syi’ah tersebut, terdapat Syi’ah Ekstrim yang menyatakan , Ali bin Abi Thalib sebagai tuhan dan tak mati terbunuh (faham sesat dari Syi’ah Saba’iyah). Paham ini juga menyatakan al-Qur’an seharusnya turun pada Ali bin Abi Thalib. Karena kekeliruan malaikat Jibril, diberikan kepada Muhammad saw atau paham sesat dari Syi’ah Gusabiyah. (Ensiklopedi Juz 6 hal: 3406).
Ada empat rujukan utama Syi’ah untuk membangun madzhabnya. Pertama, Al-Kafi, karangan Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini, ulama Syi’ah terbesar di zamannya.  Dalam kitab itu terdapat 16199 hadits. Buku ini oleh kalangan Syi’ah paling terpercaya dari keempat rujukan itu.
Kedua, “Man Laa Yahdhuruhul Faqih” karangan Muhammad bin Babawaih al-Qumi. Di dalamnya ada 3913 hadits musnad dan 1050 hadits mursal. Ketiga, “At-Tahdzib” karangan Muhammad at-Tusi yang dijuluki Lautan Ilmu. Keempat, “Al-Istibshar” pengarang yang sama, mencakup 5001 hadits. (Muhammad Ridho Mudzaffar, Al-‘Aqaidul Imamiyyah). Muhammad Shadiq Ash-Shadr, Asy-Syi’ah Al-Imamiyah, Cairo, Mathba’atun Najah, th. 1402 H/1982 M, Cet II, hal 130-134 

sumber : http://mujtamaonline.com/membedah-syiah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar