Rabu, 03 Juli 2013

Yahudi di Masa Nabi

Meski mengetahui kebenaran yang dibawa Rasulullah saw, bangsa Yahudi tetap tak bisa dipisahkan dari ciri khasnya. Menjadi pengkhianat sepanjang sejarah.

Begitu menjadi bangsa jajahan dari satu kerajaan ke kerajaan lain, orang-orang Yahudi hidup tak bertanah. Mereka terlantar menjadi bangsa pengung

si yang hidupnya terlunta-lunta. Di antara bangsa Yahudi yang paling beruntung, ada tiga kelompok yang melarikan diri ke Semenanjung Arab dan menetap di Yatsrib (Madinah). Ketiga kelompok itu adalah Bani Nadhir, Bani Quraizhah dan Bani Qainuqa’. Mereka berhasil menguasai Yatsrib terutama di bidang ekonomi.
Agar tetap eksis, mereka selalu mengadu domba antara Aus dan Khazraj, dua kelompok penduduk asli Yatsrib. Bertahun-tahun terjadi peperangan antara dua suku besar itu. Karenanya, di antara agenda Rasulullah saw ketika menjejakkan kakinya di bumi Madinah adalah menyatukan Aus dan Khazraj dalam ikatan ukhuwah Islamiyah. Sedangkan untuk “menjinakkan” orang-orang Yahudi, Rasulullah saw membuat perjanjian yang dalam sejarah dikenal dengan Mitsaqul Madinah, Piagam Madinah.

Melalui perjanjian ini, Rasulullah saw mendapatkan kebebasan untuk berdakwah. Piagam Madinah bukan semata wujud toleransi Rasulullah saw terhadap keberadaan non-Muslim di negeri Islam. Namun, merupakan bentuk kepiawaian berpolitik Rasulullah saw. Dengan adanya perjanjian ini, Rasulullah saw bebas melakukan dakwah tanpa dihalangi oleh orang-orang Yahudi. Perjanjian ini adalah bentuk dominasi Rasulullah saw atas orang-orang Yahudi, bukan sebaliknya.
Piagam Madinah adalah wujud politik Rasulullah saw untuk menundukkan Madinah dan mempertahankan diri dari serbuan luar. Di antara poin terpenting dalam Piagam Madinah itu adalah “Orang-orang Yahudi wajib mengeluarkan belanja bersama orang-orang mukmin ketika  mereka memerangi musuh.”
Dengan adanya perjanjian itu, Madinah dan wilayah di sekitarnya menjadi negara kompromistis: ibu kotanya Madinah, pemimpinnya Rasulullah saw, dan kekuasaan yang berpengaruh dipegang kaum Muslimin. Dengan demikian, Madinah benar-benar menjadi ibu kota bagi umat Islam.
Namun, agaknya Yahudi tak bisa dipisahkan dengan ciri khasnya sebagai bangsa pengkhianat. Pengkhianatan Yahudi di masa Rasulullah saw diawali oleh seorang Yahudi bernama Syas bin Qais. Ia tokoh Yahudi yang sangat membenci kaum Muslimin. Suatu ketika ia melewati beberapa sahabat Nabi saw dari kabilah Aus dan Khazraj yang sedang berbincang-bincang dalam sebuah majelis. Nampak keceriaan di wajah mereka.
Pemandangan indah penuh ceria itu menimbulkan iri hati sang Yahudi. Dengan segala  tipu dayanya, ia melakukan tindakan  politik adu domba dengan mengisahkan kembali peperangan-peperangan yang  sering terjadi antara dua kelompok kaum Muslimin  itu. Ia menyebut-nyebut kejantanan dan keperwiraan serta  kemuliaan masing-masing suku sehingga hati kedua belah pihak menjadi panas. Bahkan, mereka mulai mengambil senjata dan siap berperang.
          Sebelum terjadi perkelahian, peristiwa itu sampai ke telinga Rasullah saw. Beliau bersama para sahabat mendatangi mereka seraya bersabda, “Wahai kaum kaum Muslimin, Allah, Allah! Apakah kalian menyerukan seruan jahiliyah sementara aku masih berada di tengah-tengah kalian, setelah Allah menunjukkan kalian kepada Islam dan memuliakan kalian dengannya, memutuskan kalian dari perkara jahiliyah, menyelamatkan kalian dari kekufuran, dan menyatukan hati kalian?”
Kaum Muslimin  pun sadar bahwa apa yang terjadi itu merupakan tipu daya syaitan dan musuh. Mereka kemudian menangis dan saling berangkulan. Mereka pergi dari tempat itu meninggalkan Syas bin Qais, musuh Allah.
          Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan yang lain dari jalur Ibnu Abbas, ia berkata, ”Setelah Rasulullah saw berhasil menundukkan orang-orang Quraisy dalam perang Badar, beliau mengumpulkan orang-orang Yahudi di pasar Bani Qainuqa’. Beliau  berkata, “Masuklah  ke dalam Islam sebelum kalian ditimpa oleh apa yang telah menimpa kaum Quraisy.”
Mendengar seruan itu, mereka menjawab dengan congkak, “Wahai Muhammad, janganlah Anda membanggakan kemenangan terhadap kaum Quraisy. Mereka itu tidak mengerti ilmu peperangan. Seandainya kami yang Anda hadapi dalam peperangan, niscaya Anda akan mengetahui siapa sebenarnya kami ini.”
          Jawaban Bani Qainuqa’ itu merupakan pernyataan terbuka untuk berperang. Tetapi Nabi saw menahan amarahnya dan bersabar. Demikian pula kaum  Muslimin. Mereka menunggu sampai orang-orang Yahudi berbuat kejahatan yang bisa disebut melanggar perjanjian.
          Kenyataannya memang demikian. Yahudi Bani Qainuqa’ bertambah berani. Tak lama kemudian, mereka berbuat kerusuhan di Madinah. Di antara tindakan Yahudi Bani Qainuqa’ yang benar-benar melampaui batas adalah apa yang diriwayatkan Ibnu Hisyam dari Abu ‘Aun. Seorang wanita Arab datang ke pasar Bani Qainuqa’ untuk menjual barang dagangannya. Dia mendatangi tukang sepuh dan duduk di sana. Tiba-tiba beberapa orang Yahudi  meminta wanita itu untuk membuka penutup mukanya, tetapi wanita itu menolak. Tanpa diketahui, secara diam-diam tukang sepuh itu menyangkutkan ujung pakaian yang menutup seluruh tubuhnya pada bagian punggungnya. Ketika wanita itu berdiri, terbukalah aurat bagian belakangnya. Orang-orang Yahudi yang melihatnya tertawa terbahak-bahak.
Wanita itu  kemudian berteriak meminta pertolongan. Mendengar teriakan itu, salah seorang dari kaum Muslimin  menyerang Yahudi tukang sepuh itu dan membunuhnya.
          Orang-orang Yahudi yang berada di tempat itu kemudian mengeroyoknya. Peristiwa itulah yang menyebabkan terjadinya peperangan antara kaum Muslimin  dan orang-orang Yahudi dari Bani Qainuqa’.
Bersama pasukannya, Rasulullah saw berangkat menuju Bani Qainuqa’. Ketika melihat kedatangan kaum Muslimin, orang Yahudi segera berlindung dalam benteng-benteng mereka. Kaum Muslimin  mengepung mereka secara ketat. Pengepungan itu berlangsung selama lima belas hari.
Allah menimpakan rasa takut dalam hati orang Yahudi. Akhirnya mereka menyerahkan dan bersedia menerima hukuman yang akan diputuskan oleh Rasulullah saw menyangkut budak, harta istri dan anak keturunan mereka.
          Untuk mengusir mereka ini, Rasulullah saw menyuruh Ubadah bin Shamit yang segera memberikan waktu tiga hari untuk berkemas. Orang-orang Yahudi itu hanya diperkenankan membawa anak dan istri serta pakaian yang melekat di tubuh mereka. Rasulullah saw menerima harta kekayaaan mereka. Dari harta tersebut, beliau mengambil tiga keping uang, dua baju besi, tiga pedang, tiga tombak, dan seperlima ghanimah. Berkenaan dengan peristiwa Ubadah bin Shamit dan Abdullah bin Ubay, Allah menurunkan firman-Nya pada surah al-Maidah ayat 51-56.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar