Selasa, 02 Juli 2013

Cerdas dalam Berdakwah


Tekanan terhadap kaum Muslimin semakin meningkat. Untuk menyelamatkan dakwah, Rasulullah saw mengizinkan para sahabatnya hijrah ke Habasyah. Abu Bakar ash-Shiddiq segera mempersiapkan diri. Dengan perbekalan seadanya, ia tinggalkan Makkah. Ketika tiba di Barkul Ghimad, ia berpapasan dengan Ibnu Daghnah, seorang kepala suku Qarah. “Hendak ke mana wahai Abu Bakar?” tanya Ibnu Daghnah.
            “Kaumku telah mengusirku. Aku ingin mencari muka bumi (yang aman) untuk menyembah Tuhanku,” jawab Abu Bakar.
            “Orang sepertimu tak pantas diusir. Anda suka menolong orang yang tidak punya, membantu orang sengsara, menghormati tamu, dan membela mereka yang berada dalam kebenaran. Karena itu, aku memberikan pelindungan kepadamu. Kembalilah dan sembahlah Tuhanmu di negerimu (Makkah),” ujar Ibnu Daghnah.

            Bersama Ibnu Daghnah, Abu Bakar kembali ke Makkah. Di hadapan pemuka kafir Quraisy, Ibnu Daghnah menyatakan bahwa Abu Bakar berada dalam jaminannya. Ia diperbolehkan beribadah di rumahnya saja. Peraturan ini memang menjadi salah satu undang-undang pada masa itu. Siapa pun boleh memberikan perlindungan kepada orang lain. Hal ini juga yang dilakukan Abu Thalib terhadap Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw tetap bisa berdakwah walaupun dalam tekanan.  
Dengan perlindungan itu, Abu Bakar bebas melakukan shalat, membaca al-Qur’an dan melakukan ibadah apa pun di rumahnya. Untuk menyebarkan dakwahnya tanpa harus menyalahi aturan, Abu Bakar memperluas bangunan rumahnya. Dia sengaja membuat dinding rumahnya tidak terlalu tinggi agar bisa dilihat orang lain. Kadang kala ia membaca al-Qur’an di pekarangan rumahnya dengan suara keras.
Para wanita dan anak-anak banyak yang berdatangan ingin mendengarkan bacaan al-Qur’an Abu Bakar. Apalagi, ketika membaca al-Qur’an  Abu Bakar sering menangis membuat orang-orang semakin banyak berdatangan. Tak sedikit dari wanita dan anak-anak itu yang hafal ayat-ayat al-Qur’an. Mereka membacanya di jalan-jalan dan di tempat-tempat umum. Tidak sedikit juga yang justru tertarik dengan Islam.
Apa yang dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq itu, merupakan tindakan kreatif yang patut diteladani. Dalam keadaan tertekan sekalipun, ia bisa memanfaatkan peluang. Pengembangan metode dakwahnya dengan cara memperluas bangunan rumah merupakan tindakan cerdik. Abu Bakar bisa menarik simpati orang lain, tanpa harus menyalahi aturan yang ditetapkan kala itu. Abu Bakar dengan cerdik memanfaatkan undang-undang jahiliyah, dimana seseorang dibolehkan memberikan perlindungan kepada orang lain, untuk kepentingan dakwah.
Kecerdasan strategi dakwah Abu Bakar itu, seharusnya dicontoh kaum Muslimin. Khususnya di saat umat Islam dalam keadaan tidak berkuasa, terkungkungan dalam aturan dan sistem yang tidak islami. Dari sinilah kita ketahui bahwa demi kemaslahatan dakwah kaum Muslimin diperkenankan memanfaatkan undang-undang yang ada.
Di Indonesia misalnya, saat ini sistem pemerintahan yang dipakai tidak berlandaskan Islam. Sebagian besar undang-undang peradilan masih mengadopsi hukum Belanda. Untuk memilih pemimpin dipakai sistem demokrasi—yang bukan bersumber dari Islam. Namun, ini lebih baik bagi pergerakan Islam daripada sistem diktator atau tirani. Umat Islam justru bisa memanfaatkan sisi-sisi positif dari sistem ini. Iklim demokrasi memungkinkan berseminya gerakan dakwah. Jaminan kebebasan berpendapat, memilih dengan suara terbanyak dan beberapa sisi positif lainnya bisa dimanfaatkan.
Namun demikian, jangan sampai kita terbuai dengan sistem kufur ini. Harus ada target untuk mengubahnya. Memanfaatkan aturan yang ada bukan berarti rela dengan peraturan itu sendiri.
Tugas kita adalah memanfaatkan sisi positif dari sistem yang ada. Inilah yang dilakukan Abu Bakar. Inilah yang dilakukan Rasulullah saw pada periode dakwah Makkiyah. Mereka bukan berarti menyetujui undang-undang perlindungan yang dipakai orang-orang kafir kala itu. Mereka hanya memanfaatkan satu sisi positif dari undang-undang tersebut, yaitu sisi kebebasan berdakwah dalam rumahnya.
Karenanya, harus dibedakan antara memperjuangkan sistem pemerintahan kafir dengan memanfaatkan sistem pemerintahan kafir untuk melindungi dakwah. Dengan kaidah ini juga para dai diperkenankan memanfaatkan seorang jenderal berpengaruh dalam militer atau seorang pejabat yang disegani dalam pemerintahan untuk kepentingan dakwah. Tidak salah juga kalau para dai memanfaatkan para pengusaha atau penguasa untuk menjaga kelangsungan dakwah.
Tentu pemanfaatan tersebut tak boleh mempengaruhi substansi dakwah itu sendiri. Tak boleh ada sesuatu yang hilang dari misi dakwah. Ini yang dilakukan Rasulullah saw dan Abu Bakar. Jaminan keselamatan dari Abu Thalib tidak sampai mengorbankan lajunya perjuangan. Dakwah tetap berjalan. Perlindungan Ibnu Daghnah tidak mempengaruhi keimanan dan dakwah Abu Bakar.
Amat bertolak belakang dengan apa yang dilakukan sebagian mereka yang mengaku aktivis Islam saat ini. Segelintir uang dan sedikit kekuasaan cukup membuat mereka menutup mulut terhadap kezaliman yang mereka ketahui. Mobil mewah dan rumah megah cukup membungkam mulut mereka. Kata “ishlah” menjadi tameng pelindung dalang kezaliman. Akibatnya, kasus Tanjung Priok, Talangsari dan berbagai tragedi pembantaian umat Islam lainnya, tetap akan tersimpan dalam “loker” kalau umat Islam tetap berdiam diri. Dalang pembantaian tetap bebas berkeliaran bahkan siap melangkahkan kakinya menuju kursi kekuasaan yang lebih tinggi.
Karenanya, reprensentasi umat Islam di parlemen sangat diperlukan. Bukan untuk turut menikmati kekuasan, tapi mewarnai kebijakan yang ditelurkan. Jika tidak, teriakan penegakan syariat Islam hanya akan hilang begitu saja. Roda dakwah pun akan semakin lambat berputar.

Saat ini mereka yang menduduki posisi-posisi strategis dalam pemerintahan adalah orang-orang yang tidak baik, sementara yang baik tak dipercaya. Ya, saat ini orang yang baik tak dipercaya, sedangkan yang dipercaya tidak baik. Realitas inilah yang memperlengkap keterpurukan negeri ini. Karenanya, di antara tugas kita adalah mendorong sebanyak mungkin orang-orang baik untuk memegang kekuasaan. Caranya, mengambil hak untuk memilih dan menyumbangkannya untuk umat Islam.

By HEPI ANDI BASTONI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar