Selasa, 03 Mei 2016

Bahaya Figuritas



Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiAndiBastoni

Purnama Jumadil Akhir 13 H menggantung di antara gemintang. Lembah Yarmuk diselimuti dingin yang mencucuk tulang. Dalam sebuah tenda di antara ratusan tenda-tenda yang ada, dua panglima besar Islam, Khalid bin Walid dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah sedang ditemani seorang utusan Khalifah Umar bin Khaththab yang baru tiba dari Madinah. Ketiganya duduk saling berhadapan. Di luar sana, terdapat sekitar 39.000 prajurit. Sebagian berjaga dan yang lainnya beristirahat di tenda masing-masing.


Tak ada seorang pun di antara mereka yang tahu bahwa utusan dari Madinah itu membawa beberapa berita penting. Pertama, Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq wafat. Kedua, kaum Muslimin sepakat mengangkat Umar bin Khaththab sebagai penerusnya. Ketiga, Pang­lima Besar Khalid bin Walid diberhentikan dari al-qiyadah al-‘aamah (pimpinan umum) pasukan. Khalifah Umar menetapkan Abu Ubaidah bin al-Jarrah sebagai penggantinya. Untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesalahpahaman di antara para prajurit, Khalid bin Walid mengusulkan agar berita itu dirahasiakan. Abu Ubaidah setuju. Untuk sementara, pasukan Islam tetap berada di bawah kendali Khalid bin Walid hingga peperangan berakhir.
            Keesokan harinya perang Yarmuk berkecamuk. Pasukan Romawi yang dipimpin oleh Panglima Theodore berkekuatan 240.000 personil, jauh lebih banyak dibandingkan tentara Islam yang hanya berjumlah 39.000 orang. Karena jumlahnya jauh lebih besar, maka pasukan Romawi menjadikan inti kekuatannya di barisan infanteri terdepan. Dengan demikian, mereka berharap serangan yang dilancarkan mampu seketika meluluhlantakkan kaum Muslimin yang jumlahnya jauh lebih kecil.
            Berbeda dengan strategi musuh, Khalid bin Walid membagi pasukannya menjadi empat bagian. Dua bagian pasukan terdepan bertugas mengacaukan pertahanan musuh. Sedangkan dua bagian lainnya yang ditempatkan di belakang adalah pasukan inti yang akan susul-menyusul menyerbu lawan. Pasukan inti ini, selain memiliki tenaga tempur yang masih segar, mereka juga menunggangi kuda yang mampu bergerak cepat dan lincah. Untuk menghindari kemungkinan munculnya serangan dari arah yang tak terduga, kaum Muslimin menempatkan pasukan pertahanan di belakang. Pasukan ini berada tak jauh dari barisan wanita yang bertugas memberikan semangat kepada pasukan dan mengobati mereka yang terluka.
            Dengan strategi jitu tersebut, atas izin Allah, perang Yarmuk berakhir dengan kemenangan di tangan kaum Muslimin. Di detik-detik akhir jabatannya, Khalid bin Walid kembali menorehkan tinta emas dalam sejarah Islam. Tentu, ini bukanlah kesuksesan awal bagi Khalid. Jauh sebelum masuk Islam, ia berhasil memenangkan berbagai pertempuran.
            Pada perang Uhud, ketika kaum Muslimin hampir memenangkan peperangan, Khalid bin Walid yang saat itu belum mendapatkan hidayah Allah, berhasil "mempecundangi" pasukan panah pimpinan Abdullah bin Jubair. Sehingga, kaum Muslimin yang hampir merampungkan kemenangan, menjadi kalang kabut. Bahkan, Rasulullah saw sendiri sempat terluka.
            Ketika kaum Muslimin terdesak hebat dalam perang Muktah dengan gugurnya tiga pimpinan mereka—Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah dan Ja'far bin Abi Thalibdengan kepiawaiannya Khalid bin Walid berhasil menyelamatkan pasukannya yang hanya berjumlah sekitar 3000 orang dari ancaman pasukan Romawi yang jumlahnya mencapai 200.000 prajurit. Beliau menggunakan taktik mundur teratur. Sebuah taktik yang hanya mampu dilakukan oleh jenderal-jenderal besar dalam sejarah.
            Umat Islam seharusnya mengambil ibrah dari prestasi gemilang Khalid bin Walid. Hampir seumur hidupnya, ia tak pernah kalah. Tentunya, sebagai Muslim sejati yang dalam berbuat apapun semata-mata mengharapkan ridha Allah, Khalid tak menghiraukan pemecatan itu. Karenanya, meski tak menjadi pimpinan umum, baik dalam perang Yarmuk maupun dalam pertempuran membebaskan wilayah Syiria dan Palestina, ia tetap berada di barisan terdepan. Semangatnya tak pernah luntur. "Saya berjihad bukan karena Umar, tapi karena Allah," ujarnya mantap.
            Pada masa Rasulullah saw, sosok seperti Khalid ini tidak sedikit. Sahabat semisal Khalid bin Walid, Umar bin Khaththab atau Saad bin Abi Waqqash hanya segelintir contoh figur orang-orang yang mau bekerja untuk dan demi Allah.
            Hal menarik dari sosok-sosok luar biasa di atas adalah bahwa mereka hidup di masa Rasulullah saw. Beliau adalah sosok sentral yang menjadi teladan dalam segala sikapnya. Ia benar-benar al-Matsal al-A’la (teladan ideal) yang sempurna dengan segala kelebihannya.
            Namun demikian, segala kelebihannya itu tak menutupi lahirnya sosok-sosok luar biasa lainnya. Ia memang tokoh sentral, tapi tetap menyisakan ruang bagi para sahabatnya untuk muncul. Buktinya, puluhan bahkan ratusan orang hebat lahir di masanya. Nama mereka pun tak kalah harum dibanding Rasulullah saw. Mereka tetap bisa muncul di tengah besarnya sosok Rasulullah saw.
            Hal ini sungguh berbeda dengan fenomena yang kini kita lihat. Umumnya, sebuah jamaah, kelompok atau partai sangat tergantung pada tokohnya. Sebut misalnya, PAN dengan Amin Raisnya, PKB dengan Gus Durnya, PBB dengan Yusril Ihza Mahendranya, dan PDI P dengan Megawatinya. Rahim sebuah kelompok yang mengultuskan tokohnya takkan bisa melahirkan sosok-sosok baru. Tak ada regenerasi. Akibatnya, perkembangan kelompok itu pun akan terhambat, bahkan terancam bubar.
Fanatisme sebuah kelompok terhadap tokohnya, tak hanya akan menyumbat kelahiran tokoh baru, tapi juga bisa berakibat fatal: munculnya pengultusan. Dalam ajaran Islam, kultus individu sangat berbahaya. Bahkan, bisa menjurus pada dosa paling besar: syirik. Inilah yang menyebabkan Umar bin Khaththab memberhentikan Khalid bin Walid dari pimpinan umum tentara Islam menjelang perang Yarmuk.
Ketika menerima penyerahan kota Yerusalim dari Uskup Agung Sophornius, Umar mengklarifikasi tindakannya. Kepada Khalid ia berkata, "Saya memecat Anda bukan karena sangsi dengan kemampuan Anda, tetapi khawatir orang terpesona sehingga mengultuskan Anda."
Karenanya, dalam jenjang apa pun, tak boleh ada fanatisme buta, kultus individu dan figuritas kepemimpinan. Siapa pun—baik sang tokoh maupun pendukungnya—mesti menyadari hal ini. Jika tidak, tunggulah akhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar