Selasa, 29 Maret 2016

Menyikapi Tawaran Penguasa



Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @hepiandibastoni

Suatu hari, Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah Ketujuh Bani Umayyah, datang ke Makkah untuk melaksa­nakan ibadah haji. Ketika memulai thawaf, ia melihat Salim bin Abdullah, seorang tabiin ternama kala itu, sedang duduk khusyu di depan  Ka’bah. Kedua bibirnya tak henti bergerak, 
berdzikir memuji keagungan Allah. Air matanya berurai meng­anak sungai membasahi kedua pipinya.

Para jamaah mela­pang­kan jalan, mem­be­rikan kesempatan ke­pada  khalifah untuk duduk di samping Sa­lim. Namun, Salim bin Abdullah tetap asyik de­ngan kekhusyu’annya. Ia tak me­noleh sedikit pun dan tak menghiraukan keha­diran penguasa Bani Umayyah di sam­ping­nya.


Khalifah Sulaiman duduk menunggu sam­bil memperhatikan sang ulama di sam­ping­nya dengan pandangan lembut. Ia menanti kesempatan Salim menghentikan dzikirnya.
Ketika melihat Salim menghentikan dzikirnya, Sulaiman segera menegur, “As­sala­mu­­’ailaika, hai Abu Umar.”

“Waalaikassalam wa rahmatullahi wa barakatuh,” jawab Salim.
Khalifah berkata dengan suara yang sangat rendah, “Sebutkanlah kebutuhanmu, nis­caya aku akan memenuhinya, wahai Abu Umar!”

Salim tak menjawab. Khalifah menyang­ka Salim tak mendengar ucapannya.  Ia  menoleh ke arah Salim dan berkata lebih keras sedikit dari sebelumnya, “Aku sangat senang jika eng­kau meminta kebutuhanmu kepadaku. Aku akan memenuhinya.”

“Demi Allah, aku sangat malu bila di depan baitullah ini aku meminta pertolongan kepada seseorang selain Allah,” jawab Salim.

Mendengar jawaban itu khalifah sangat malu sehingga ia membisu seribu bahasa.  Teta­pi ia  tetap duduk di tempatnya.

Ketika selesai sha­lat, Salim bangkit hendak pulang. Sebe­lum niatnya terlaksana, Salim ditemui beberapa orang. Di antara mereka ada yang bertanya ten­tang hadits. Kelompok lain meminta fatwanya dalam masalah yang sangat sulit. Ada juga yang minta didoakan.

Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera menemui Salim di an­tara kerumunan orang-orang. Sambil berbisik-bisik, sang Khalifah berkata, “Sekarang kita sudah berada di luar masjid. Sebutkanlah kebutuhanmu, niscaya akan aku penuhi.”

“Kebutuhan duniawi atau kebutuhan akhirat?” tanya Salim.
Sang Khalifah kaget dan menjawab, “Tentu saja kebutuhan duniawi.”
Salim berkata kepada, “Aku tak pernah meminta kebutuhan duniawi kepada Yang me­mili­kinya (Allah). Bagaimana mungkin aku me­min­tanya kepada orang yang bukan pe­milik­nya?”

Khalifah merasa sangat malu, dan se­gera mengucapkan salam, lalu pergi sambil berkata, “Tak ada yang lebih tinggi darimu di antara keluarga al-Khaththab  dalam hal kezuhudan dan ketakwaan. Tak seorang pun yang lebih kaya daripada keluarga al-Khaththab  di hadapan Allah Yang Maha Agung. Semoga Allah memberikan berkah kepadamu.”

Tindakan Salim bin Abdullah terhadap Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dalam kisah di atas merupakan salah satu cara menjaga keshalihan moral. Sikap seperti ini begitu penting bagi para ulama yang seharus­nya menjadi panutan umat.

Sikap hidup seorang ulama sejatinya bukan untuk dirinya sendiri. Tindakannya menjadi cermin bagi masyarakat. Karenanya, seharus­nya ulama menjaga jarak terhadap kekuasaan meskipun ditawari pangkat dan jabatan yang strategis. Hal itu dilakukan untuk menjaga agar keshalihan moralnya sebagai panutan dan tela­dan masyarakat tetap terjaga. Fatwa-fatwanya tetap membumi, bersih dari berbagai kepen­tingan kekuasaan.

Namun demikian, banyak juga ulama yang merapat, tunduk dan menjilat kepada pengua­sa. Akibatnya, ketika masuk dalam struktur pemerintahan, mereka kehilangan identitasnya sebagai ulama. Hukum mereka buat menjadi samar-samar, hanyut dengan kepentingan-kepentingan penguasa.

Predikat ulama diberikan kepada sese­o­rang, karena masyarakat menilai bahwa ibadah­nya bagus, sesuai dengan tingkah laku kehidup­an sehari-hari, bisa dijadikan figur dan teladan. Ilmunya luas dan fatwa-fatwanya bisa dijadikan pedoman. Moralnya bisa dijadikan panutan. Itulah yang menye­babkan masyarakat membe­rikan legitimasi sebagai ulama.

Di tengah-tengah bangsa yang sedang mengalami perubahan dalam segala bidang ini, seharusnya ulama tetap menjadi pelurus kebijakan. Jangan sampai perubahan men­jadi awal kehancuran. Ulama seharus­nya tampil di level terdepan untuk mengawal setiap perubahan yang terjadi. Dengan pendekatan religius dan penanaman nilai-nilai Islam yang dilakukan ulama, masyara­kat pun mampu menerjemahkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, se­hingga perubahan yang terjadi dapat difilter.

Melihat betapa pentingnya aktualisasi ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari, dalam meng­atasi dekadensi moral dan kere­sahan spritual di tengah-tengah masya­rakat, ulama seharusnya tampil sebagai kekuatan moral dan penyejuk hati, sekaligus mengge­rakkan emosi manusia yang paling hakiki, sehingga timbul rasa takwa kepada Allah.

Sebaliknya, para penguasa juga harus mengetahui kapasitas dirinya. Seperti sosok Sulaiman bin Abdul Malik. Meski kebijakan khalifah ketujuh Bani Umayyah ini dikenal kontroversi, tapi ia termasuk salah seorang penguasa yang mau mendengarkan pendapat ulama. Ia juga dikenal dekat dengan para ulama.

Namun, demikian sosok ulama mandiri, tegar dan mempunyai sikap kokoh, tak lahir begitu saja. Ibarat tanaman, supaya tumbuh dan menghasilkan buah, ia harus dirawat dan dipupuk. Itulah yang terjadi dengan Salim bin Abdullah. Ia adalah adalah cucu Umar bin Khaththab. Ayahnya, Abdullah bin Umar bin Khath­thab. Sedangkan ibunya adalah putri Yazdajird, Kaisar Persia terakhir. Ia lahir di Madinah al-Munawwarah.


Dia besar dan berkembang di kota yang semerbak dengan harum kenabian, dan suasana terang yang disinari cahaya wahyu. Dia dididik ayahnya yang ahli ibadah, zuhud, selalu puasa siang hari dan bangun di malam hari untuk melakukan shalat. Akhlaknya sama dengan pribadi Umar bin Khaththab. Kokoh dalam kesederhanaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar