Rabu, 27 Januari 2016

Pelayan Rakyat


Oleh : Hepi Andi Bastoni 
IG : @HepiAndiBastoni

Penduduk Madinah kaget. Terutama orang-orang miskin. Hampir setiap malam, ada saja yang mendapat rezeki besar! Nyaris setiap pagi, para penduduk miskin itu menemukan satu karung besar gandum di depan pintu rumah mereka.

Berita itu terus menyebar dari mulut ke mulut. Tapi sampai berlangsung lama, tak ada yang mengetahui siapa yang selalu berbuat baik, mengantarkan bahan makanan ke pintu rumah mereka itu. Bebera­pa orang mencoba menye­lidik, tapi tetap tak berhasil melacak si pelaku.


Sampai akhirnya mere­ka kehilangan Ali Zainal Abidin, seorang ulama zu­hud kala itu. Ulama yang ma­sih terbilang cucu Ali bin Abi Thalib itu me­ninggal du­nia. Madinah kehi­langan se­orang ulama. Tapi yang me­rasa sangat kehi­lang­an ada­lah para pendu­duk yang biasa mendapatkan “rezeki” di depan pintu me­reka setiap pagi. Sejak meninggalnya Ali Zainal Abidin, mereka tak menemukan karung ba­han makanan di depan pintu rumah mereka lagi.

Semula mereka tak menyadari hal itu. Na­mun ketika jenazah Ali Zainal Abidin diletakkan di atas tempat pemandian, mereka melihat ada bekas-bekas hitam di punggungnya. Mereka baru yakin, orang yang selama ini memanggul karung makanan dan mengantarkannya ke ru­mah-rumah penduduk miskin di hampir setiap malam adalah Ali Zainal Abidin. Tanda hitam di punggungnya itu adalah bekas memanggul karung bahan makanan.

Banyak cerita menarik tentang perilaku cucu Ali bin Abi Thalib ini. Selain kisah di atas, ia juga dikenal sering memerdekakan saha­yanya. Bahkan riwayat menyebutkan, Ali Zai­nal Abidin sempat memerdekakan sampai seribu orang budak. Ia tak pernah menjadi­kan salah seorang dari sahayanya yang meng­abdi lebih dari satu tahun.

Paling tidak ada dua hal menarik yang bisa kita ambil sebagai pelajaran dari sosok Ali Zainal Abidin ini. Pertama, tentang perhatian Ali Zainal Abidin terhadap rakyat. Ken­dati tidak menjabat apa-apa, tapi kepeduliannya terha­dap masyarakat miskin sa­ngat be­sar. Ini dibuktikan dengan tin­dakannya me­manggul ba­han makanan dan mengan­tar­kan­­nya ke rumah-rumah rak­yat mis­kin. Padahal ia tak pu­nya kepentingan apa-apa. Bah­kan, untuk dikenal pun tidak.

Bandingkan dengan para penguasa dan orang-orang kaya saat ini. Kekuasaan dan kekayaan tidak digunakan untuk menolong mereka yang lemah, tapi justru dipakai untuk mewujudkan kepentingan sendiri. Kekuasaan digunakan untuk memperkaya diri. Dan, keka­yaan digunakan untuk melanggengkan kekua­sa­an. Dua hal yang saling mendukung.

Padahal, seharusnya para pemimpin ada­lah pelayan rakyat. Karenanya, dalam haditsnya Rasulullah saw menyebut pemimpin itu de­ngan kata ra’iin (penggembala). Sebuah perum­pamaan yang sangat tepat. Sebab, tugas se­orang penggembala, tak hanya mencarikan lahan makanan untuk hewan ternaknya, tapi juga menjaga agar gembalaannya tetap aman dari ancaman binatang buas. 

Penggembala adalah seorang pengayom dan pelayan gem­balaanya.

Begitulah hendaknya seorang pemimpin. Seharusnya ia menjadi pengayom rakyat dan pe­­lindung bagi orang-orang lemah. Bukan se­ba­liknya, menindas dan memeras kekaya­an rak­yat.

Kedua, sirriyatul ‘amal (merahasiakan per­buatan). Tak banyak yang bisa melakukan hal ini. Tapi justru di sinilah letak kemuliaan itu. Mes­kipun menginfakkan harta secara terang-terang itu baik, tapi orang yang meng­infakkan hartanya secara sembunyi-sem­bunyi jauh lebih baik. Allah berfirman, “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah lebih baik sekali. Dan jika kamu me­nyembunyikannya dan ka­mu berikan ke­pa­da orang-orang fakir, maka me­nyem­bu­nyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalah­­an-kesalahanmu, dan Allah menge­ta­­hui apa yang kamu kerjakan,” (QS al-Baqarah: 271).

Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw menggolongkan orang yang menginfakkan hartanya secara sembunyi-sembunyi dalam tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan di hari tidak ada naungan kecuali naungan Allah.

Hal ini tak hanya berlaku dalam hal mengin­fakkan harta, tapi juga dalam melakukan kebaik­an. Berbuat baik dengan cara sembunyi-sem­bunyi mampu memelihara kualitas amal dan menghindarkannya dari sikap riya’. Kaidah Ini­lah yang menjelaskan mengapa shalat malam, di saat orang-orang sedang tidur, itu sangat baik. Suasana di dua pertiga malam, tak hanya me­nambah kekhusyu’an, tapi juga memelihara hati dari sikap riya’.

Tak heran kalau para mujahid dulu, ketika beristirahat di tengah letihnya perang di kege­lapan malam, sedikit di antara mereka yang berada dalam tenda. Mereka berpencar mencari tempat-tempat terpencil, di balik batu atau pohon besar. Bukan mencari tempat yang aman untuk istirahat, tapi mencari lokasi yang baik dan jauh dari pandangan manusia untuk beribadah. Karenanya, di antara doa yang gampang diijabah oleh Allah adalah doa seorang Muslim kepada saudaranya tanpa sepengetahuan yang didoakan.

Begitulah seharusnya seorang Mukmin. Sungguh berbeda dengan perilaku para pejabat dan orang-orang kaya saat ini. Mereka tak mau menginfakkan hartanya jika tak ada kepentingan. Sebaliknya, jika ada kepentingan, mereka jor-joran mengeluarkan dana. Misal­nya, menjelang Pemilu. Untuk memastikan dirinya terpilih sebagai anggota legeslatif atau presiden, mereka mau mengeluarkan dana besar. Akibatnya, ketika dirinya terpilih, yang ada dalam benaknya adalah bagaimana mengem­balikan uang tersebut secepat mungkin ber­sama labanya.

Memelihara diri dari sikap riya’ ini begitu penting. Jika tidak, ia bisa menjadi virus penyebab hilangnya pahala ibadah. Lantaran riya’, ibadah bisa tak berarti apa-apa. Bahkan, riya’ tak hanya bisa menggerogoti pahala ibadah, tapi juga menyebabkan si pelaku menjadi musyrik. Pelaku riya’, cenderung ber­buat bukan atas dasar ridha Allah, tapi karena ingin dipuji atau disenangi manusia. Ini sama saja dengan berbuat bukan karena Allah, tapi karena manusia. Orang yang beribadah bukan karena Allah, bisa digolongkan musyrik. Kare­nanya, Rasulullah saw menyebut riya’ dengan syirik kecil.

Di tengah penderitaan yang terus mendera bangsa ini, diperlukan sosok seperti Ali Zainal Abidin. Sosok yang tak hanya mau berbuat, tapi juga tak ingin perbuatannya diketahui orang banyak. Ikhlas, semata karena Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar