Jumat, 15 Januari 2016

Lahirkan Ulama Sejati


Oleh: Hepi Andi Bastoni

Instagram: @hepiandibastoni


         Hisyam bin Abdul Malik, Khalifah Kesepuluh Daulat Umayyah, ingin menguji seberapa kuat hapalan Imam az-Zuhri, seorang ahli hadits di masa­nya. Sang Khalifah ingin az-Zuhri mendik­te­kan hadits kepada anaknya dengan dibantu seorang jurutulis tanpa melihat catatan. Dengan lancarnya Imam az-Zuhri mendikte­kan empat ratus hadits Rasulullah saw. Be­berapa bulan kemudian, Khalifah Hisyam kem­bali memanggil Imam az-Zuhri. Kepada­nya Khalifah berpura-pura menya­takan keke­cewaannya lantaran hilangnya catatan em­pat ratus hadits beberapa waktu lalu yang di­diktekan sang Imam. Menanggapi keluhan itu, Imam az-Zuhri menjawab, “Anda tidak usah khawatir, saya masih cukup segar meng­hapalnya. Yang penting siapkan saja jurutulis untuk saya diktekan lagi!”


Setelah segalanya siap, Imam az-Zuhri mulai mendiktekan empat ratus hadits Rasu­lullah yang kata sang Khalifah hilang. Si Jurutulis mencatatnya dengan cermat setiap kata yang keluar dari lisan sang Imam. Se­telah selesai, diserahkanlah catatan itu ke­pada Khalifah Hisyam. Kha­lifah mencek dan meng­kon­frontasikan dokumen ba­ru itu dengan catatan lamanya. Ternyata hasil­nya luar biasa. Tak ada satu kata pun yang berbeda antara catatan lama dengan catatan baru. Kedua catatan yang berisi empat ratus hadits itu persis sama! Atas dasar itulah Khalifah Hisyam menyuruh sang Imam mengajarkan hadits pada anaknya.

Imam az-Zuhri adalah orang pertama yang membukukan hadits. Langkahnya di­ikuti pakar-pakar hadits sesudahnya sehing­ga lahirlah kitab-kitab hadits mu’tabar. Di antaranya, al-Muwaththa’ susunan Imam Ma­lik; Shahih Bukhari oleh Imam Bukhari, Sha­hih Muslim oleh Imam Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya yang tak terhitung jumlahnya.

Sebagian besar hadits yang diriwayat­kannya jarang diriwayatkan orang lain. De­ngan demikian, haditsnya akan melengkapi dan memperkaya hadits lain. Imam az-Zuhri amat cermat menilai sanad hadits. Dialah yang mendorong agar perawi menyebutkan sanad ketika meriwayatkan hadits. Sebab, tanpa sanad siapa pun bisa berbicara apa saja yang dimaui tanpa diketahui apakah itu hadits shahih atau bukan.

Banyak hal yang bisa kita teladani dari sosok perawi hadits ini. Di antaranya, keta­jaman otaknya dan kekuatan hapalannya yang tak tertandingi. Dengan kekuatan hapal­an yang luar biasa itu, Imam az-Zuhri berhasil menghapal al-Qur’an hanya dalam waktu yang amat pendek: delapan puluh hari! Sung­guh luar biasa!

Selain itu, Imam az-Zuhri merupakan sosok pengab­di hadits sejati. Ia mempunyai kumpulan hadits yang jumlah­nya mencapai dua ribu lebih. Ia juga mengkader murid-murid­nya dengan jalan mengajar, mem­biayai dan memfasilitasi segala keperluan yang mereka butuhkan. Dalam hal ini Imam Malik menuturkan, Imam az-Zuhri mengumpulkan orang-orang yang belajar hadits dan memberikan makanan dan perlengkapan lainnya dalam musim dingin atau musim panas.

Imam Malik sendiri pernah memberikan kesaksian akan kewibawaan Imam az-Zuhri, gurunya ini. “Jika Imam az-Zuhri memasuki Madinah, tak seorang pun ahli hadits yang berani menyampaikan hadits di depannya sampai ia beranjak keluar dari kota itu,” papar Imam Malik.

Masih menurut Imam Malik, jika sejumlah ulama senior datang ke Madinah, orang-o­rang tidak begitu antusias menyambut me­reka dibandingkan dengan kedatangan Imam az-Zuhri. Jika Imam besar ini datang, maka penduduk pun beramai-ramai berdesak-de­sak­an memohon fatwanya.

Pakar hadits yang bernama asli Muham­mad bin Syihab az-Zuhri ini lahir pada 50 H pada periode akhir masa sahabat. Meskipun demikian ia masih sempat bertemu dengan beberapa sahabat ternama. Di antara mere­ka adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah dan Sahal bin Saad. Mere­ka adalah ahli di bidang hadits. Di samping itu, ia juga masih mendapatkan rujukan lain dari para tabi’in senior, seperti Abu Idris al-Khaulani, Salim bin Abdullah bin Umar, Said bin Musayyab dan tokoh-tokoh tabi’in senior lainnya. Imam az-Zuhri wafat pada 124 H.

Sangat disayangkan, buah koleksi ha­ditsnya hilang tak tentu rimba. Kita kehilangan perbendaharaan ilmu yang berharga mele­bihi nilai emas dan perak.

Dalam keadaan situasi seperti sekarang, mengharap lahirnya Imam az-Zuhri baru, tentu bagai bermimpi. Apalagi, di tengah carut marutnya bangsa, kita juga sedang meng­alami kelangkaan ulama sejati. Merekalah para ulama yang tak hanya mampu mengua­sai ilmu, tapi juga bisa menjaganya. Tentu, menjadi penjaga ilmu jauh lebih sulit ketim­bang menjadi pencarinya. Menjaga hapalan al-Qur’an, tentu jauh lebih sulit ketimbang menghapalnya.

Karenanya, tak heran kalau kita saat ini menemukan banyak orang yang pernah meng­hapal al-Qur’an, tapi berapa banyak yang mampu menjaga hapalannya. Apalagi hadits yang jika dibandingkan dengan al-Qur’an menempati urutan kedua. Tentu ke­pedulian para ulama akan lebih berkurang.

Hal ini terkait langsung dengan watak dan moral para ulama. Bagaimana mungkin mereka yang mengaku ulama akan mampu menjaga ilmunya, kalau watak mereka jauh dari nilai-nilai Islam. Seperti dinasihatkan Imam Waqi’ pada muridnya, Imam Syafii, ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah takkan diberi­kan pada ahli maksiat.

Sepertinya, dalam keadaan negeri yang carut-marut ini berharap lahirnya sosok se­perti Imam az-Zuhri dan empat imam madz­hab lainnya, benar-benar seperti mimpi. Mustahil akan terwujud.
Kita dapat bayangkan bagaimana nasib sebuah bangsa yang kekeringan ulama. Ulama ibarat suluh. Mereka bagai lampu. Penduduk negeri yang kekurangan ulama laksana mereka yang berjalan di tengah ke­gelapan. Tak tahu arah ke mana yang harus dituju. Beginilah nasih negeri ini. Pendu­duknya gamang, bingung,dan linglung. Jika demikian keadaan penduduknya, begitu juga keadaan pemimpinnya.

 Untuk bangkit dari keterpurukan, para wanita di negeri ini harus rajin melahirkan sosok ulama sejati seperti Imam az-Zuhri. Merekalah yang akan membimbing para pe­mimpin bangsa untuk mengakhiri pen­de­ritaan. Itu, tak bisa terwujud dalam hi­tungan hari. Tapi, melalui tarbiyah (pendi­dikan) pan­jang dan berketerusan yang ka­dang dipe­nuhi beragam rintangan. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar