Senin, 07 Juli 2014

Adab Berutang


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-0-1945-60

Kita tidak mungkin terlepas dari utang piutang. Nah, bagaimana Islam mengatur adab berutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Berikut beberapa adab dalam berutang atau memberi utang.


1.      DITULIS DAN DIPERSAKSIKAN

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلا تَرْتَابُوا إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282).

2.      TIDAK BOLEH MENGAMBIL KEUNTUNGAN ATAU MANFAAT DARI UTANG
Kaidah fiqih berbunyi:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
“Setiap utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”.  
Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan.
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah.
Syaikh Shalih Al-Fauzan–hafizhahullah-berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam utang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan, “Saya beri Anda utang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”.
Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan.

3.      MELUNASI UTANG DENGAN CARA YANG BAIK
Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – قَالَ كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – سِنٌّ مِنَ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ – صلى الله عليه وسلم – « أَعْطُوهُ » . فَطَلَبُوا سِنَّهُ ، فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلاَّ سِنًّا فَوْقَهَا . فَقَالَ « أَعْطُوهُ » . فَقَالَ أَوْفَيْتَنِى ، وَفَّى اللَّهُ بِكَ . قَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

Dari Abu Hurairah, Nabi saw mempunyai utang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itu pun datang menagihnya. (Maka) beliau pun berkata, “Berikan kepadanya!” Kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya!” Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya membalas dengan setimpal. Semoga Allah memberimu dengannya.” Maka Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (utang)”. (HR. Bukhari, II/843, bab Husnul Qadha’ no. 2263.).

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – وَهُوَ فِى الْمَسْجِدِ – وَكَانَ لِى عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِى وَزَادَنِى

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Aku mendatangi Nabi saw di masjid sedangkan beliau mempunyai utang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya.” (HR. Bukhari, II/843, bab husnul Qadha’, no. 2264).
Tambahan ini tidak termasuk riba karena Nabi saw tidak pernah berjanji di awal peminjaman bahwa beliau akan menambahkannya.
Termasuk cara yang baik dalam melunasi utang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima utang), melunasi utang di rumah atau tempat tinggal pemberi utang, dan semisalnya.

4.      BERUTANG DENGAN NIAT BAIK DAN AKAN MELUNASINYA
Jika seseorang berutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Di antara tujuan buruk tersebut seperti:
·         Berutang untuk menutupi utang yang tidak terbayar
·         Berutang untuk sekedar bersenang-senang
·         Berutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau memberi.
·         Berutang dengan niat tidak akan melunasinya.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

Dari Abu Hurairah, Nabi saw bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berutang) dengan tujuan untuk membayarnya  akan tunaikan untuknya. Barangsiapa (mengembalikannya), maka Allah  mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka  akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, II/841 bab man akhodza amwala an-naasi yuridu ada’aha, no. 2257).

5.      BERUTANG DARI ORANG SHALIH YANG MEMILIKI PROFESI DAN PENGHASILAN HALAL
Dengan meminjam harta atau uang dari orang sholih dapat menenangkan jiwa dan menjauhkannnya dari hal-hal yang kotor dan haram. Sehingga harta pinjaman tersebut ketika kita gunakan untuk suatu hajat menjadi berkah dan mendatangkan ridha Allah.
Sedangkan orang yang jahat atau buruk tidak dapat menjamin penghasilannya bersih dan bebas dari hal-hal yang haram.

6.      TIDAK BERUTANG KECUALI DARURAT
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya. Tidak sepantasnya berutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.

7.      TIDAK BOLEH JUAL BELI DISERTAI UTANG ATAU PEMINJAMAN
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang : mengutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi saw:
لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ

“Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli.” (HR. Abu Daud no. 3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan. Misalnya, seseorang hanya mau memberikan pinjaman kalau yang dipinjami menjual hartanya. Jadi, terjadi dua akad, memberi utang dan membeli.

8.      JIKA TERLAMBAT KARENA KESULITAN, HENDAKLAH MEMBERITAHUKAN YANG MEMBERIKAN PINJAMAN
Hal ini termasuk menunaikan hak yang mengutangkan. Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan mengubah utang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

9.      MENGGUNAKAN UANG PINJAMAN DENGAN SEBAIK MUNGKIN.

عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّىَ

Dari Samurah dari Nabi saw bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab Al-Buyu’, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu’, dan selainnya.)

10.  BERSEGERA MELUNASI UTANG
Orang yang berutang hendaknya berusaha melunasi utangnya sesegera mungkin tatkala mampu mengembalikan utangnya. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan utang padahal mampu, tergolong zalim. Sebagaimana hadits berikut:

عنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – رضى الله عنه – أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ « مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, “Memperlambat pembayaran utang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zhalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar utang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut)” (HR. Bukhari dalam Shahihnya IV/585 no.2287, dan Muslim dalam Shahihnya V/471 no.3978).

11.  MENANGGUHKAN PEMBAYARAN BAGI YANG KESULITAN MELUNASI UTANGNYA

Allah berfirman:
وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

 Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:

مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ فِى ظِلِّهِ – فَلْيُنْظِرْ مُعْسِرًا أَوْ لِيَضَعْ لَهُ
“Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pen), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan utang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan utangnya.” (HR Ibnu Majah II/808 no. 2419. Dan di-shahih-kan oleh syaikh Al-Albani).

قَالَ حُذَيْفَةُ وَسَمِعْتُهُ يَقُولُ « إِنَّ رَجُلاً كَانَ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ أَتَاهُ الْمَلَكُ لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَقِيلَ لَهُ هَلْ عَمِلْتَ مِنْ خَيْرٍ قَالَ مَا أَعْلَمُ ، قِيلَ لَهُ انْظُرْ . قَالَ مَا أَعْلَمُ شَيْئًا غَيْرَ أَنِّى كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا وَأُجَازِيهِمْ ، فَأُنْظِرُ الْمُوسِرَ ، وَأَتَجَاوَزُ عَنِ الْمُعْسِرِ . فَأَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ

Dari sahabat Hudzaifah, ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
“Ada seorang laki-laki yang hidup di zaman sebelum kalian. Lalu datanglah seorang malaikat maut yang akan mencabut rohnya. Dikatakan kepadanya (oleh malaikat maut): “Apakah engkau telah berbuat kebaikan?”
Laki-laki itu menjawab: “Aku tidak mengetahuinya.”
Malaikat maut berkata: “ Telitilah kembali apakah engkau telah berbuat kebaikan.”
Dia menjawab: “Aku tidak mengetahui sesuatu pun amalan baik yang telah aku lakukan selain bahwa dahulu aku suka berjual beli barang dengan manusia ketika di dunia dan aku selalu mencukupi kebutuhan mereka. Aku memberi keluasan dalam pembayaran utang bagi orang yang memiliki kemampuan dan aku membebaskan tanggungan orang yang kesulitan.” Maka Allah (dengan sebab itu) memasukkannya ke dalam surga.” (HR. Bukhari III/1272 no.3266)

Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam utang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan utang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar