Kamis, 26 Juni 2014

Utang dalam Islam


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor) 0817-0-1945-60

Dalam kajian buku-buku fiqih, istilah utang biasanya menggunakan kata: al-qardh, ad-dain, atau al-gharm. Ulama sepakat bahwa utang dilihat dari sisi si piutang atau yang memberikan utang itu hukumnya sunnah. Dengan kata lain bahwa piutang itu merupakan sebuah qurbah (ibadah) yang pengerjaannya diganjar pahala.
                Kenapa dinilai ibadah? Karena memberikan utang itu bagian dari membebaskan orang lain dari kesulitan. Karena bagaimanapun, orang yang datang meminta utang itu–biasanya–memang orang yang sedang kesulitan finansial yang tidak punya jalan keluar lagi kecuali dengan berutang.
                Dalam syariah, muslim yang mampu membuat kesulitan orang lain hilang atau minimal meringankan beban orang lain, pastilah orang seperti ini mendapat pahala. Nabi saw menengaskan dalam haditsnya yang artinya:


“Siapa yang membebaskan kesusahan seorang muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, Allah akan membebaskannya dari kesusahan di akhirat. Siapa yang memudahkan orang lain yang sedang dalam kesulitan, Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Siapa yang menutupi (aib) muslim lainnya, Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah bersama hamba-Nya selagi hamban-Nya menolong hambaNya yang lain,” (HR Muslim).
                Dari hadits ini, dan juga hadits-hadits lain yang mengandung makna serupa, para ulama menyimpulkan bahwa piutang, atau memberikan utang dengan maksud menolong orang lain yang sedang kesulitan tergolong dalam ibadah yang mustahabb (dicintai).

Antara Sedekah dan Utang
                Bahkan sebagian besar ulama mengategorikan piutang sebagai ibadah yang statusnya lebih baik daripada sedekah. Dikatakan lebih baik, Karena memang konteks dan dampak yang muncul dari keduanya berbeda.
                Piutang itu selalu muncul dalam konteks menolong orang yang kesulitan. Simpelnya bahwa utang itu memang diperuntukkan bagi mereka yang sedang dalam kesulitan. Jadi memberikan utang seperti memberikan air kepada orang yang dalam kehausan. Itu tentu jauh lebih berkesan dan berdampak bagi si pengutang.
                Berbeda dengan sedekah yang pemberiannya kadang tidak melihat apakah yang diberi itu dalam kesulitan atau tidak. Karena memang sedang tidak butuh dan tidak dalam situasi sulit, ketika diberikan, orang yang mendapatkannya itu biasa saja. Karena memang tidak dalam keadaan yang sulit.
                Ibaratnya, seperti orang yang sudah kenyang dan orang yang sedang kelaparan. Orang lapar akan sangat senang sekali jika tiba-tiba ada yang membantu memberikannya makan. Akan tetapi orang yang sudah kenyang, sudah tidak punya nafsu lagi untuk makan, jadi kalau diberi makanan, cenderung menolak. Kalaupun menerima, itu disimpan untuk waktu kemudian. Senangnya pun antara kedua orang ini berbeda.

Bisa Berubah Jadi Wajib dan Haram
                Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (13/113), ulama menerangkan bahwa hukum utang itu bisa berubah tergantung situasi dan kondisi. Ia bisa menjadi wajib dari sisi piutang jika memang pengutang itu dalam keadaan yang sangat mendesak dan butuh pertolongan, yang sekiranya jika tidak diberi akan menyebabkan kebahayaan yang besar. Ketika itu si piutang dalam keadaan yang lapang dan berlebih uang, maka yang seperti ini menjadi wajib.
                Akan tetapi jika memang pengutang tidak dalam keadaan yang sangat sulit, seperti orang yang berutang bukan karena sulit, tapi kerana memang ingin memajukan usaha atau sejenisnya, tentu golongan ini tidak sama seperti orang yang kesulitan.
                Kalau dilihat dari sisi si pengutang, memang berutang itu hukumnya mubah, boleh-boleh saja. Tapi hukum mubahnya bisa berubah haram. Itu jika dalam diri si pengutang, tidak ada niatan yang kuat untuk mengembalikan apa yang telah ia pinjam.
                Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul-Muhtaj, mengatakan: “Seorang pengutang, kalau ia mengetahu bahwa ia berutang itu tujuannya untuk kebaikannya (menutupi kesulitan) namun dalam hati niatnya berbeda, maka dalam hal ini diharamkan berutang.”[1]
                Bagi si piutang juga, jika memang ia mengetahui kalau si pengutang ini tidak akan mampu mengembalikan, maka ulama juga melarangnya untuk memberikan utang kepada orang ini. Bahkan beberapa ulama mengatakan, kalau pun itu hanya dugaan dan kira-kira (menduga bahwa si pengutang tidak mampu untuk mengembalikan), maka itu juga menajdi haram untuk memberikannya utang.[2]
                Jadi, di satu sisi ulama sangat memuji prilaku baik orang untuk memberikan utang dalam rangka menolong sesama. Tapi itu tidak secara mutlak, harus dilihat dulu siapa yang diberikan. Karena memang utang itu juga aslinya kesulitan, maksudnya jangan sampai kita memberikan kesulitan kepada orang lain yang akhirnya ia terus kesulitan karena tidak mampu mengembalikan.

Nabi saw Memohon Perlindungan Dari Utang
                Seperti disinggung sebelumnya, bahwa di satu sisi, memberikan utang adalah sesuatu yang mulia karena memang menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan. Tapi di sisi lain, ulama sangat mewanti-wanti sekali agar kita tidak terjerumus dalam utang ini.
                Ulama sangat menjaga sekali agar berutang itu tidak menjadi kebiasaan yang selalu ditempuh. Akan tetapi agama ini menggiring umatnya untuk selalu menjauhi berutang. Karena bagaimanapun utang adalah sebuah kesulitan tersendiri.
                Dikatakan oleh salah seorang penyair bahwa utang itu adalah: “Mimpi buruk di malam hari, dan kegundahan di siang hari yang terus menghantui.”
                Karena itu sejak jauh-jauh hari, Nabi saw mengajarkan kita untuk selalu menghindari utang, sebagaimana doa yang beliau saw ajarkan:

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesedihan dan kegundahan, dan aku berlindung kepadaMu dari kelemahan dan kemalasan, dan aku berlindung kepadaMu dari pelit dan sifat pecundang, dan aku berlindung kepadaMu dari utang dan kedzaliman orang lain” (HR Al-Bukhori)
                Selain doa di atas, banyak sekali dalil-dalil syariah yang memang menunjukkan bahwa agama ini sangat mewanti-wanti sekali agar umatnya tidak gampang untuk berutang. Saking besarnya perkara utang ini, Rasul saw ketika ada sahabat yang bertanya tentang jihadnya, apakah itu menjadi media untuk pengampunan segala dosanya. Nabi dengan tegas menjawab iya, tapi jika kau bukanlah seorang yang punya utang.
                Dalam haditsnya yang lain, beliau saw mengatakan:

“Seorang Syahid, apapun dosanya akan diampuni, kecuali utang” (HR Muslim)

Segera Lunasi dan Berprilaku Sederhana
                Jika memang sudah berutang, yang harus dilakuka ialah segera melunasinya. Kalau memang belum punya uang untuk menggantinya, minimal berazam yang kuat sekali untuk tidak menunda-nunda pelunasan utang tersebut.
                Khawatir nantinya kita meninggal dan masing punya sangkutan utang kepada orang lain. Kita lihat hadits di atas, kalau syahid saja tidak diampuni dosa utangnya, apalagi kita yang bukan syahid?
                Khawatir juga akhirnya malah makan harta haram dan terbawa sampai mati jika si piutang tidak meridhainya:
“dan janganlah kalian memakan harta dengan bathil” (Al-Baqarah 188)
                Maka, ketika memang sudah berutang, tanamkan dalam diri untuk mengembalikannya segera, tidak menunda-nunda. Dan jangan sekali terbesit dalam diri untuk tidak melunasinya apalagi berdoa agar si pemberi utang lupa kalau ia telah memberi pinjaman sehingga tidak lagi ditagih.

                “tidaklah seseorang berutang dan Allah mengetahui bahwa ia ingin melunasinya, Allah akan melunasinya untuknya (menolongnya dalam pelunasan) di dunia” (HR An-Nasa’i)
                “siapa yang mengambil (meminjam) harta orang lain untuk dikembalikannya (melunasinya), Allah akan mengembalikannya untuknya (menolongnya dalam melunasi). Dan siapa yang mengambil harta orang lain untuk dirusaknya, niscaya Allah akan merusak orang tersebut” (HR Al-BUkhori)
                Maka, solusi yang paling tepat ialah hidup sesederhana mungkin tidak terlalu berlebihan dalam segala hal, karena sesuatu yang berlebihan dan dipaksakan pasti buruk dampaknya. Kalau memang masih bisa berusaha tanpa harus berutang tentu itu jauh lebih baik.
                Jadi bedakan antara kebutuhan hidup dan gaya hidup. Jangan sampai gaya hidup melebihi kebutuhan hidup dalam pembiayaannya.

Bersabar Jika Jadi Piutang
                Bagi pihak piutang yang sudah memberikan pinjaman, syariah ini mengajarkan untuk ia bersabar jika memang si pengutang belum punya sesuatu untuk melunasi utangnya. Tapi tetap ia punya kewajiban untuk mengingat pengutang tersebut agar segera melunasi, bukan hanya diam saja.
                Tapi jika memang di pengutang itu benar-benar telah berusaha namun masih juga belum mendapatkan hasil untuk melunasi, baiknya pihak piutang bersabar. Toh sejak awal juga, ia memeberi pinjaman karena memang ingin membantu, sangat layak niat yang baik itu juga dibarengi dengan perangai yang baik dalam implementasinya.
                “dan jika mereka (pengutang) dalam keadaan sulit, maka tunggulah sampai mereka keluar dari keadaan sulit itu. Dan jika kalian menyedekahkannya tentu ia lebih baik untuk kalian” (Al-Baqarah 280)
                Perlu diketahui juga bahwa orang yang memberi utangm, lalu bersabar menunggu orang yang diberi utang itu untuk melunasinya walaupun lama, asalnya dengan ikhlas dan niatan membantu, pastinya itu tidak akan sia-sia di mata Allah swt. Sabarnya ia dalammenunggu itu punya ganjaran khusus dari Allah swt:
                “Siapa yang menangguhkan (utang) orang yang sedang kesusahan, maka baginya setiap satu hari penangguhan itu terhitung sedekah” (HR Imam Ahmad)
                “Siapa yang menangguhkan (utang) orang yang kesulitan, atau bahkan menggugurkannya, Allah saw akan menaunginya nanti di bawah naungannNya” (HR Muslim)
                “siapa yang meringankan kesulitan pengutangnya (dengan tangguhan) atau menghapusnya, ia akan berada di bawah naungan ‘arsy di hari kiamat nanti” (HR Imam Ahmad)
                Ulama mengatakan terkait hadist ini, bahwa Allah swt akan menjaga orang yang memberikan kemudahan kepada pengutang, dari panasnya dan sulitnya keadaan hari kiamat sebagai imbalan karena mereka telah menjaga para pengutang dari panas dan susahnya keadaan yang menimpanya dalam melunasi utang tersebut.


[1] Tuhfatul-Muhtaj 5/37
[2] Fathul-Mu’in 340

Tidak ada komentar:

Posting Komentar