Selasa, 10 Juni 2014

Kiat Agar Selamat dari Riba


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60

            Berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para ulama, kita tahu bahwa riba termasuk dosa besar. Saking dahsyatnya riba itu, sampai disebutkan bahwa dosa menjalankan riba itu setara dengan berzina ibu kandung sendiri.
            Berzina saja sudah berdosa, apalagi berzinanya dengan ibu kandung sendiri, tentu dosanya berlipat-lipat. Sebab ibu kandung adalah wanita mahram yang haram untuk dinikahi. Kalau pun tidak dengan jalan zina tetapi dengan pernikahan pun juga tetap berdosa.

            Hadits yang menegaskan hal itu berbunyi:
            Dari Abdullah bin Masud dari Nabi saw bersabda,"Riba itu terdiri dari 73 pintu. Pintu yang paling ringan seperti seorang laki-laki menikahi ibunya sendiri. (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim).
            Yang menarik dari hadits di atas adalah ketika disebutkan bahwa dari 73 pintu riba, yang paling ringan adalah seperti berzina dengan ibu kandung sendiri. Itu yang paling ringan, lalu bagaimana dengan yang paling berat? Tentu lebih parah lagi.
            Bahkan masih ada lagi hadits yang agak mirip, yaitu haramnya dosa riba lainnya adalah setara dengan 36 perempuan pezina, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini :
            Dari Abdullah bin Hanzhalah ghasilul malaikah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Satu dirham uang riba yang dimakan oleh seseorang dalam keadaan sadar, jauh lebih dahsyah dari pada 36 wanita pezina. (HR. Ahmad).
            Karena itu, riba termasuk satu dari tujuh dosa besar yang telah ditentukan Allah SWT. Pelakunya diperangi Allah di dalam Al-Quran, bahkan menjadi satu-satunya pelaku dosa yang dimaklumatkan perang di dalam Al-Quran adalah mereka yang menjalankan riba.
            Pelakunya juga dilaknat oleh Rasulullah SAW. Mereka yang menghalalkan riba terancam dengan kekafiran, tetapi yang meyakini keharamannya namun sengaja tanpa tekanan menjalankanya termasuk orang fasik.
            Nah, agar kita bisa selamat dari transaksi riba, ada dua langkah strategis.

A. Kenali Riba
            Langkah pertama dan paling penting adalah ilmu pengetahuan tentang riba dengan bentuk dan wujudnya. Sebab orang yang tidak tahu prinsip riba, sangat boleh jadi dia akan terperosok tanpa sadar ke dalam riba.
            Barangkali kita merasa aman-aman saja, seolah-olah akad transaksi muamalat yang digunakan sudah halal. Sayangnya, karena ilmu dan pemahaman kita tentang riba sangat terbatas, ternyata justru yang kita jalankan malah akad-akad ribawi yang diharamkan Allah SWT.
            Kenyataannya, alangkah banyaknya umat Islam yang terperosok ke jurang riba, semata-mata karena keawaman mereka.
            Betapa sakit hati kita nanti di akhirat, sudah merasa pede masuk surga, ternyata malah masuk neraka. Rupanya, selama di dunia kita lupa tidak pernah belajar ilmu syariah, khususnya fiqih muamalah. Sehingga tanpa sadar kita malah sudah menjadi aktifis akad ribawi yang paling depan dan paling rajin.

B. Pelajari Akad-akad Syar'i Pengganti Riba
            Kalau kita punya pemahaman dan ilmu yang luas tentang fiqih muamalah, sebenarnya ada banyak sekali akad yang halal yang bisa dijalankan tanpa harus terkena resiko riba.
            Sayangnya, karena agak jarang kita mendalami ilmu fiqih muamalat, akhirnya kita sering terburu-buru untuk berdalih dengan kedaruratan, yang pada akhirnya tetap jatuh ke riba juga.
            Jadi intinya kita harus mengganti akad-akad yang mengandung riba dengan akad-akad yang dibenarkan di dalam syariah Islam. Namun tetap punya tujuan yang sesuai dengan kebutuhan aslinya.
            Di antara beberapa alternatif itu adalah:

1. Mengubah Pinjam Uang Menjadi Akad Kredit
            Dalam bahasa Arab, jenis jual beli seperti ini sering juga disebut dengan istilah bai' bit taqshith atau bai' bits-tsaman 'ajil.
            Gambaran umumnya adalah penjual dan pembeli sepakat bertransaksi atas suatu barang dengan harga yang sudah dipastikan nilainya, dimana barang itu diserahkan kepada pembeli, namun uang pembayarannya dibayarkan dengan cara cicilan sampai masa waktu yang telah ditetapkan.
            Jual-beli secara kredit yang memenuhi segala ketentuan yang disyaratkan, hukumnya dibolehkan dalam syariat Islam.
            Contoh kredit yang halal misalnya dalam pembelian sepeda motor. Budi membutuhkan sepeda motor. Di showroom harganya dibanderol 12 juta rupiah. Karena Budi tidak punya uang tunai 12 juta rupiah, maka Budi meminta kepada pihak Bank untuk membelikan untuknya sepeda motor itu. Sepeda motor itu dibeli oleh Bank dengan harga 12 juta rupiah tunai dari showroom, kemudian Bank menjualnya kepada Budi dengan harga lebih tinggi, yaitu 18 juta rupiah.
            Kesepakatannya adalah bahwa Budi harus membayar uang muka sebesar 3 juta rupiah, dan sisanya yang 15 juta dibayar selama 15 kali tiap bulan sebesar 1 juta rupiah.
            Transaksi seperti ini dibolehkan dalam Islam, karena harganya tetap (fix), tidak ada bunga atas hutang.

2. Mengubah Pinjam Uang Menjadi Rahn
            Istilah Rahn sering diterjemahkan secara bebas menjadi gadai. Namun tentu saja tidak bisa disamakan 100% dengan istilah gadai yang kita kenal sekarang, mengingat gadai yang kita kenal hari ini justru masih merupakan akad yang diharamkan.
            Dasar hukumnyaadalah hadits Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :
إشـتـريمـنيـهـوديطـعـامـاإليأجـلورهـنـهدرعـه                                 

            Artinya, “Nabi saw membeli makanan dan menggadaikan baju besinya selama waktu tertentu.” (HR Bukhari).
            Di masa Rasulullah praktek gadai pernah dilakukan. Dahulu ada orang menggadaikan kambingnya. Rasul ditanya bolehkah kambingnya diperah. Nabi mengizinkan, sekadar untuk menutup biaya pemeliharaan. Artinya, Rasullulah mengizinkan kita boleh mengambil keuntungan dari barang yang digadaikan untuk menutup biaya pemeliharaan.
           
            Nah, biaya pemeliharaan inilah yang kemudian dijadikan ladang ijtihad para pengkaji keuangan syariah, sehingga gadai atau rahn ini menjadi produk keuangan syariah yang cukup menjanjikan.
            Secara teknis gadai syariah dapat dilakukan oleh suatu lembaga tersendiri seperi Perum Pegadaian, perusahaan swasta maupun pemerintah, atau merupakan bagian dari produk-produk finansial yang ditawarkan bank.
            Praktik gadai syariah ini sangat strategis mengingat citra pegadaian memang telah berubah sejak enam-tujuh tahun terakhir ini. Pegadaian, kini bukan lagi dipandang tempatnya masyarakat kalangan bawah mencari dana di kala anaknya sakit atau butuh biaya sekolah. Pegadaian kini juga tempat para pengusaha mencari dana segar untuk kelancaran bisnisnya.
            Misalnya seorang produse film butuh biaya untuk memproduksi filmnya, maka bisa saja ia menggadaikan mobil untuk memperoleh dana segar beberapa puluh juta rupiah.
            Setelah hasil panennya terjual dan bayaran telah ditangan, selekas itu pula ia menebus mobil yang digadaikannya. Bisnis tetap jalan, likuiditas lancar, dan yang penting produksi bisa tetap berjalan.

3. Mengubah Pinjam Uang Menjadi Kerjasama Bagi Hasil
            Sebenarnya beda antara sistem bagi hasil yang halal dengan pembungaan uang yang diharamkan agak tipis bedanya. Tapi di mata Allah SWT, perbedaan itu sangat besar. Sebab yang satu melahirkan rahmat dan perlindungan dari-Nya, sedangkan yang satunya lagi melahirkan laknat dan murka-Nya.
            Setipis apakah perbedaan di antara keduanya?
            Bedanya hanya pada uang yang dijadikan sandaran dalam bagi hasil. Kalau yang dijanjikan adalah memberikan 2,5% per bulan dari jumlah uang yang diinvestasikan, itu namanya pembungaan uang, alias riba. Hukumnya haram dan menurunkan murka.
            Karena pada hakikatnya yang terjadi memang sistem pembungaan uang. Baik bersifat merugikan atau tidak merugikan. Buat kita, yang penting bukan merugikan atau menguntungkan, tetapi yang penting apakah prinsip riba terlaksana di dalam perjanjian itu.
            Tapi kalau janjinya memberi 2,5% perbulan dari hasil/keuntungan, bukan dari jumlah uang yang diinvestasikan, maka itu adalah bagi hasil yang halal. Bahkan akan mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat.
            Beda tipis memang, bahkan banyak kalangan awam yang entah karena jahil atau pura-pura jahil, menganggap bahwa itu hanya akal-akalan semata, tapi keduanya akan berujung kepada dua muara yang berbeda.
            Yang satu akan membawa pelakunya ke surga, yaitu yang dengan sistem bagi hasil sesuai syariah. Sedangkan yang satunya lagi, akan membaca pelakunya ke neraka.
            Meski terkadang disebut sebagai bagi hasil, sayangnya secara prinsip tidak sesuai dengan cara syariah. Lebih tetap dikatakan sebagai riba, karena memang riba. Tidak mungkin hukumnya berubah, meski disebut dengan istilah-istilah yang menipu.
            Kita harus teliti dan paham betul sistem bagi hasil yang sesuai syariah. Jangan asal menamakan bagi hasil, padahal prinsipnya justru riba yang haram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar