Jumat, 13 Juni 2014

Hukum Seputar Puasa Sya’ban


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA

HP: 0817-1945-60

Definisi Sya’ban
Imam Ibnu Manzhur Rahimahullah menjelaskan dalam Lisanul ‘Arab:
إِنما سُمِّيَ شَعبانُ شَعبانَ لأَنه شَعَبَ أَي ظَهَرَ بين شَهْرَيْ رمضانَ ورَجَبٍ والجمع شَعْباناتٌ وشَعابِينُ
            Dinamakan Sya’ban, karena saat itu dia menampakkan (menonjol) di antara dua bulan, Ramadhan dan Rajab. Jamaknya adalah Sya’banat dan Sya’abin. (Lisanul ‘Arab, 1/501)
Dia juga bermakna bercabang (asy-Sya’bu) atau berpencar (At-Tafriq), karena banyaknya kebaikan pada bulan itu. Kebiasaan pada zaman dahulu, ketika bulan Sya’ban mereka berpencar mencari sumber-sumber air.

Layaknya tamu agung yang membawa beragam kebaikan, begitu seharusnya kita menyambut Ramadhan. Di antara bentuk penyambutan itu adalah membiasakan diri melaksanakan ibadah utama di bulan Ramadhan. Yaitu, puasa. 
Puasa merupakan ibadah paling penting bagi Ramadhan. Karenanya, ketika berada di gerbangnya, ibadah ini menjadi paling utama dan sering dilakukan oleh Rasulullah saw.
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

“Rasulullah saw berpuasa sampai kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Beliau berbuka sampai kami katakan beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Saya tidak pernah melihat beliau berpuasa lebih banyak daripada bulan Sya’ban,” kenang Aisyah sebagaimana diriwayatkan Bukhari (No 1833) dan Muslim (No 1956).
Bahkan, dalam riwayat Muslim disebutkan, beliau saw berpuasa pada bulan Sya’ban semuanya. Sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Sya’ban. Maksudnya, Rasulullah saw amat sering berpuasa di hari-hari Sya’ban, tapi tidak berpuasa seluruhnya sebagaimana di bulan Ramadhan.
Ibnul Mubarak menegaskan, Nabi saw tidak pernah menyempurnakan puasa Sya’ban tapi banyak berpuasa. Pendapat ini didukung oleh riwayat Muslim dari Aisyah, “Saya tidak mengetahui beliau saw puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan.”
Dalam riwayat Muslim yang lain, Aisyah menceritakan, “Saya tidak pernah melihat beliau puasa sebulan penuh sejak menetap di Madinah, kecuali bulan Ramadhan.” Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan,” (HR Bukhari No. 1971 dan Muslim No.1157).
Ibnu Hajar menambahkan, “Puasa beliau saw pada bulan Sya’ban sebagai puasa sunnah lebih banyak daripada puasanya di selain bulan Sya’ban. Beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya’ban.”

Hikmah Berpuasa di Bulan Sya’ban
Tentu bukan tanpa alasan mengapa Nabi saw memperbanyak puasanya di bulan Sya’ban. Usamah bin Zaid pernah bertanya, “Ya Rasulullah, saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Beliau bersabda,
ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Ia merupakan bulan yang di dalamnya diangkat amalan-amalan kepada rabbul ‘alamin. Saya suka untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan berpuasa,” (HR Nasa’i. Lihat: Shahih Targhib wat Tarhib, hlm 425).
Dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud (No. 2076), disebutkan, “Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa adalah Sya’ban kemudian beliau sambung dengan Ramadhan.” (Dishahihkan oleh Al-Albani. Lihat: Shahih Sunan Abi Dawud, II/461).
Begitu besar keagungan bulan Sya’ban, sampai-sampai Ibnu Rajab mengatakan, puasa Sya’ban lebih utama daripada puasa pada bulan haram (Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijah). Ibnu Rajab menambahkan, amal sunnah paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan. Kedudukan puasa Sya’ban di antara puasa lain sama dengan kedudukan shalat sunnah rawatib terhadap shalat fardhu. Karena sunnah rawatib lebih utama daripada sunnah muthlaq dalam shalat. Demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadhan lebih utama daripada puasa pada bulan lainnya yang jauh dari Ramadhan.
Rasulullah saw menjelaskan, orang-orang banyak yang lalai dengan kehadiran bulan Sya’ban. Banyak yang mengganggap, puasa Rajab lebih utama daripada puasa Sya’ban karena Rajab merupakan bulan haram. Padahal tidak demikian. Dalam hadits itu pula terdapat dalil disunnahkannya menghidupkan waktu-waktu yang sering dilalaikan manusia. Sebagaimana sebagian orang-orang shalih terdahulu banyak yang suka menghidupkan waktu antara Maghrib dan Isya dengan shalat. Mereka mengatakan saat itu adalah waktu lalainya manusia. Pada jeda dua waktu shalat itu, manusia suka lalai.
Menghidupkan waktu-waktu yang sering dilupakan, punya beberapa hikmah. Di antaranya, menjadikan amalan itu tersembunyi dan tidak diketahui orang banyak. Menyembunyikan dan merahasiakan amal sunnah lebih utama, terlebih puasa karena merupakan rahasia antara hamba dengan Rabbnya. 
Puasa mendidik kita untuk tidak riya’. Bahkan, sebagian ulama salaf puasa bertahun-tahun tapi tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal dua potong roti kemudian disedekahkan. Sementara dia sendiri tetap berpuasa. Keluarganya mengira, dia makan dan orang-orang di pasar menyangka ia makan di rumahnya.
Sebagian salafus shalih malah ada yang berusaha sengaja menyembunyikan puasanya. Ibnu Mas’ud menuturkan, “Jika kalian akan berpuasa maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan sedang berpuasa).” Qatadah menambahkan, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa untuk berminyak sampai hilang kesan bahwa ia sedang berpuasa.”
Para ulama berbeda pendapat tentang sebab Rasulullah saw sering berpuasa di bulan Sya’ban. Ada yang mengatakan, Rasulullah saw biasa melakukan puasa pada ayyamul bidh (puasa tiga hari setiap bulan). Karena bepergian atau hal lainnya, sebagian  terlewatkan. Maka beliau mengumpulkannya dan mengqadhanya pada bulan Sya’ban.
Ada juga yang mengatakan, karena beberapa istri beliau mengqadha puasa Ramadhannya di bulan Sya’ban, beliau pun ikut berpuasa. Namun ini bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Aisyah bahwa dia mengakhirkan membayar utang puasa sampai bulan Sya’ban karena sibuk bersama Rasulullah saw.
Ada juga yang mengatakan, beliau saw berpuasa di bulan Sya’ban karena pada bulan itu manusia sering lalai. Pendapat ini lebih kuat karena adanya hadits Usamah menyebutkan, “Itulah bulan yang manusia lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan,” (HR Nasa’i. Lihat: Shahihut Targhib wat Tarhib hlm. 425).
Bulan Sya’ban juga menjadi warning (pengingat) bagi kaum Muslimin yang masih punya utang puasa. Jika masuk bulan Sya’ban sementara masih tersisa puasa yang belum dilakukan, bisa diqadha di bulan Sya’ban. Dengan demikian, ketika gerbang Ramadhan terbuka, tak ada lagi utang tersisa. Kita pun bisa dengan nyaman menikmati berkah Ramadhan.

 

Adakah Keutamaan Malam Nishfu Sya’ban?
            Sebagaimana diriwayatkan dari banyak sahabat nabi, bahwa beliau bersabda:
يطلع الله تبارك و تعالى إلى خلقه ليلة النصف من شعبان ، فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن
“Allah Taala menampakkan diri-Nya kepada hamba-Nya pada malam nishfu Sya’ban, maka Dia mengampuni bagi seluruh hamba-Nya, kecuali orang yang musyrik atau pendengki.” (Hadits ini Diriwayatkan oleh banyak sahabat nabi, satu sama lain saling menguatkan, yakni oleh Muadz bin Jabal, Abu Tsa’labah Al-Khusyani, Abdullah bin Amr, ‘Auf bin Malik, dan ‘Aisyah. Lihat Syaikh Al-Albani, As-Silsilah Ash Shahihah, 3/135, No. 1144. Darul Ma’arif. Juga kitab beliau Shahih Al-Jami’ Ash Shaghir wa Ziyadatuhu, 2/785. Al-Maktab Al-Islami. Namun, dalam kitab Tahqiq Misykah Al-Mashabih, justru Syaikh Al-Albani mendhaifkan hadits ini, Lihat No. 1306, tetapi yang lebih kuat adalah shahih karena banyaknya jalur periwayatan yang saling menguatkan).
Hadits ini menunjukkan keutamaan malam nishfu Sya’ban (malam ke 15 di bulan Sya’ban), yakni saat itu Allah mengampuni semua makhluk kecuali yang menyekutukan-Nya dan para pendengki. Maka wajar banyak kaum muslimin mengadakan ritual khusus pada malam tersebut baik shalat atau membaca Al-Quran, dan ini pernah dilakukan oleh sebagian tabi’in dan generasi setelahnya, seperti Makhul, Ishaq bin Rahawaih, dan lain-lain, di mana mereka mengatakan ini bukanlah bid’ah.
Pendapat ini berdasarkan hadis shahih dari Abu Musa al-Asy’ari, dimana Nabi saw bersabda, “Sesungguhnya Allah melihat pada malam pertengahan Sya’ban. Maka Dia mengampuni semua makhluknya, kecuali orang musyrik dan orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Majah, At Thabrani, dan dishahihkan al-Albani).
Setelah menyebutkan beberapa waktu yang utama, Syaikhul Islam mengatakan, “…pendapat yang dipegangi mayoritas ulama dan kebanyakan ulama dalam Madzhab Hambali adalah meyakini adanya keutamaan malam Nisfu Sya’ban. Ini juga sesuai keterangan Imam Ahmad. Mengingat adanya banyak hadis yang terkait masalah ini, serta dibenarkan oleh berbagai riwayat dari para sahabat dan tabi’in…” (Majmu’ Fatawa, 23:123)
Ibn Rajab mengatakan, “Terkait malam Nisfu Sya’ban, dulu para tabi’in penduduk Syam, seperti Khalid bin Ma’dan, Mak-hul, Luqman bin Amir, dan beberapa tabi’in lainnya, mereka memuliakannya dan bersungguh-sungguh dalam beribadah di malam itu…” (Lathaiful Ma’arif, Hal. 247).
Tetapi, dalam hadits ini–juga hadits lainnya–sama sekali tidak disebut adanya ibadah khusus tersebut pada malam itu, baik shalat, membaca Al-Quran, atau lainnya. Karena itu, wajar pula sebagian kaum muslimin menganggap itu bid’ah (mengada-ngada dalam agama), seperti yang dikakatakan Atha’ bin Abi Rabbah, para ulama Madinah, dan lainnya.
Kalangan ini mengatakan, statusnya malam Nishfu Sya’ban sama dengan malam-malam biasa lainnya. Mereka menyatakan, semua dalil yang menyebutkan keutamaan malam Nisfu Sya’ban adalah hadits lemah. Al-Hafidz Abu Syamah mengatakan: Al Hafidz Abul Khithab bin Dihyah –dalam kitabnya tentang bulan Sya’ban– mengatakan, “Para ulama ahli hadis dan kritik perawi mengatakan, ‘Tidak terdapat satupun hadis shahih yang menyebutkan keutamaan malam Nisfu Sya’ban’.” (Al Ba’its ‘ala Inkaril Bida’, Hal. 33).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga mengingkari adanya keutamaan bulan Sya’ban dan Nisfu Sya’ban. Beliau mengatakan, “Terdapat beberapa hadis dhaif tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban, yang tidak boleh dijadikan landasan. Adapun hadis yang menyebutkan keutamaan shalat di malam Nisfu Sya’ban, semuanya statusnya palsu, sebagaimana keterangan para ulama (pakar hadis).” (At Tahdzir min Al Bida’, Hal. 11).
Maka, menghidupkan malam nishfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid dan surau untuk melakukan ibadah tertentu adalah perkara yang diperselisihkan para ulama sejak masa tabi’in. Namun yang pasti Rasulullah dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Hendaknya setiap muslim berlapang dada dan toleran terhadap perbedaan ini, dan mengikuti sunah adalah lebih baik bagi siapa pun.

Hukum Berpuasa Setelah Pertengahan dan Akhir Sya’ban
Terdapat hadis dari Abu Hurairah bersabda:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ، فَلَا تَصُومُوا
“Jika sudah masuk pertengahan Sya’ban, janganlah berpuasa.” (HR. Abu Daud 2337)

Dalam hadis yang lain, yang juga dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda,

لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian berpuasa satu atau dua hari sebelum Ramadhan, kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.” (HR. Bukhari 1914 dan Muslim 1082).
Para ulama menjelaskan, bagaimana mengompromikan beberapa hadis di atas, sehingga semuanya tetap berlaku. Salah satu penjelasan itu, disampaikan oleh Imam al-Qurthubi. Ia menjelaskan tentang cara mengompromikan hadits di atas. Ia juga mengatakan,
 “Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah memasuki pertangahan Sya’ban, serta hadis yang melarang mendahului ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, dengan hadis yang menceritakan bahwa Nabi saw menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan.
Kompromi memungkinkan untuk dilakukan, dengan memahami bahwa hadis larangan puasa berlaku untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah. Sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” (Aunul Ma’bud, 6/330).
Pendapat ini dikuatkan juga oleh Imam Asy Syafi’i dan ulama Syafi’iyah. Mereka mengatakan, larangan berpuasa setelah separuh bulan Sya’ban adalah bagi orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa ketika itu. Jadi bagi yang memiliki kebiasaan berpuasa (seperti puasa Senin-Kamis), boleh berpuasa ketika itu. (Lihat Lathaif al-Ma’arif, 244-245)
Adapun hukum berpuasa di akhir Sya’ban, sebagian besar ulama dan pensyarah hadits menyebutkan:
Pertama, berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini hukumnya haram.
Kedua, berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha Ramadhan yang lalu, membayar kaffarah atau yang lainnya. Mayoritas ulama membolehkan yang demikian.
Ketiga, berpuasa dengan niat puasa sunnah biasa. Kelompok yang mengharuskan adanya pemisah antara Sya’ban dan Ramadhan dengan berbuka tidak menyukai hal itu. Di antaranya Hasan Bashri, meskipun sudah terbiasa berpuasa, tapi Malik memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa. Asy-Syafi’i, al-Auzai’ dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa dengan yang tidak.
Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tersebut yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni, tidak disukai mendahului Ramadhan dengan puasa sunnah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak biasa berpuasa, dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya’ban yang terus-menerus bersambung sampai akhir bulan.
Kenapa puasa sebelum Ramadhan secara langsung ini dibenci?
Pertama, agar tidak menambah puasa Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa pada hari raya karena alasan ini, sebagai bentuk kehati-hatian. Atas dasar ini maka dilarang puasa pada yaum asy-syak (hari yang diragukan). “Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim saw (Rasulullah),” ujar Umar bin Khaththab. Hari syak adalah hari yang diragukan apakah termasuk Ramadhan atau bukan.
Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum), maka di antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang berpuasa. Ini perkataan kebanyakan ulama.
Kedua, untuk membedakan antara puasa sunnah dan wajib. Membedakan antara fardhu dan sunnah itu disyariatkan. Karenanya diharamkan puasa pada hari raya (untuk membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal yang sunnah).
Rasulullah juga melarang untuk menyambung shalat wajib dengan dengan sunnah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan. Terlebih-lebih shalat sunnah qabliyah fajr (Subuh). Bahkan, disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat. Ketika melihat ada yang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, Nabi saw berkata, “Apakah shalat Shubuh itu empat rakaat?” (HR Bukhari No.663).
Dengan demikian, dilarangnya berpuasa sehari menjelang Ramadhan bukan untuk dijadikan momen untuk memuaskan nafsu. Tapi, sebagai garis pembatas antara Sya’ban dan Ramadhan.

Latihan Menghadapi Ramadhan
Ibarat pasukan perang yang tengah bersiap menghadapi musuh, begitulah perumpamaan kaum Muslimin menjelang Ramadhan. Memperbanyak puasa di bulan Sya’ban merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak mengalami kesulitan. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam keadaan kuat dan bersemangat.

Karena Sya’ban merupakan gerbang bagi Ramadhan, maka berlaku juga amalan yang biasa dilaksanakan di bulan Ramadhan, seperti puasa, membaca al-Qur’an dan sedekah. Salamah bin Suhail mengatakan, “Bulan Sya’ban merupakan bulan para qurra’ (pembaca al-Qur’an).” Jika masuk bulan Sya’ban, Habib bin Abi Tsabit berkata, “Inilah bulan para qurra’.” Jika bulan Sya’ban datang, Amr bin Qais al-Mula’i menutup tokonya dan meluangkan waktu (khusus) untuk membaca al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar