Senin, 08 Juni 2015

Sumber Hukum Islam

Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60


     Sumber hukum     ------------------>   Kaidah Ushul Fiqih     ------------->         Hukum Fiqih


Sumber Hukum Islam
Sumber hukum dalam Islam, dapat dibagi dua:
1.      Disepakati (muttafaq) para ulama
2.      Dipersilisihkan (mukhtalaf)

Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah:
1.      Al-Qur’an
2.      Hadits (shahih, hasan dan dhaif)
3.      Ijma’ (kesepakatan ulama atas hukum suatu masalah)
4.      Qiyas (menganalogikan sesuatu yang tidak ada hukumnya dengan yang sudah ada hukumnya karena persamaan illat.


Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat adalah:
1.      Istihsan (mengambil hukum karena ada kebaikan meskipun berlawanan dengan dalil yang ada). Membaca Qur’an bagi wanita nifas menurut Mazhab Maliki.
2.      Maslahah mursalah (mengambil hukum karena ada maslahatnya. Mengumpulkan Qur’an, mencatat pernikahan dll)
3.      Istishab (menentukan hukum atas kondisi sebelumnya). Status menikahnya seseorang hingga ada kepastian dia cerai.
4.      Urf (adat)
5.      Madzhab ash-Shahabi (perilaku para shahabat nabi), shalat Tarawih berjamaah, adzan dua kali pada hari Jumat.
6.      Syar’u man qablana (syariat para nabi sebelumnya).

Dengan demikian, sumber hukum Islam berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum yang diperselisihkan.[1]
Wahbah al-Zuhaili menyebutkan  tujuh sumber hukum yang diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh  adalah: Sad ad-dzara’i.[2] (Meninggalkan sesuatu karena ada bahayanya).
Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih diperselisihkan itu sebagai  dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya menyebutkan sebagai metode ijtihad.[3]

Landasan Sumber Hukum Islam
Keempat sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Shahabat Nabi Saw Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.
Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman, Nabi bertanya, “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum?” Ia berkata, “Saya berhukum dengan kitab Allah. Nabi saw berkata, “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah?”  Ia berkata, “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah saw.”
Nabi berkata, “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw? Ia berkata, “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad).” Rasulullah saw menepuk dada Muadz dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah saw.” (HR ath-Thabrani). [4]

Tujuan Hukum Islam menurut Abu Ishaq asy-Syathibi
            Menurut asy-Syatibi, pada dasarnya syariat ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba (mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat. Kemaslahatan inilah  yang menjadi tujuan syariat. Dengan kata lain, penetapan syariat—baik secara keseluruhan maupun secara rinci—didasarkan pada suatu ‘illat (motif penetapan hukum), yaitu mewujudkan kemaslahatan hamba.[5]
Asy-Syatibi membagi tujuan penerapan syariah (maqashid) menjadi tiga bagian:
  • Dharuriyat artinya sesuatu yang harus ada demi kemaslahatan hamba, yang jika tidak ada, akan menimbulkan kerusakan, misalnya rukun Islam.
  • Hajiyat maksudnya sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan, seperti rukhsah (keringanan) tidak berpuasa bagi orang sakit, atau shalat dengan cara duduk bagi yang sakit.
  • Tahsinat artinya sesuatu yang diambil untuk kebaikan kehidupan dan menghindarkan keburukan, seperti berpakaian indah.
           
Menurut Abu Ishaq Asy-Syathibi, ada lima hal yang termasuk dharuriyat  atau yang lebih dikenal dengan khamsu dharuriyat.  Kelima hal itu adalah:
  • Menjaga agama (hifzh ad-din), melaksanakan shalat
  • Menjaga jiwa (hifzh an-nafs), larangan membunuh
  • Menjaga akal (hifzh al-‘aql), larangan minuman keras
  • Menjaga keturunan (hifzh an-nasl), larangan berzina
  • Menjaga harta (hizh al-mal), larangan mencuri atau merampok
Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Bermasyarakat
Ruang lingkup hukum Islam itu sangat luas. Yang diatur dalam hukum Islam bukan hanya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, manusia dengan benda, dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya.
Dalam al-Qur’an cukup banyak ayat yang terkait dengan masalah pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta larangan bagi seorang muslim untuk melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Bagi tiap orang ada kewajiban untuk mentaati hukum yang terdapat dalam Qur’an dan Hadits.
Peranan hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat cukup banyak, tetapi dalam pembahasan ini hanya akan dikemukakan peranan utamanya saja, yaitu :
  1. Fungsi Ibadah
Fungsi utama hukum Islam adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Hukum Islam adalah ajaran Allah yang harus dipatuhi umat manusia, dan kepatuhannya merupakan ibadah yang sekaligus juga merupakan indikasi keimanan seseorang.

  1. Fungsi Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Hukum Islam sebagai hukum yang ditunjukkan untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia, jelas dalam praktik akan selalu bersentuhan dengan masyarakat. Sebagai contoh, proses pengharaman riba dan khamar, jelas menunjukkan adanya keterkaitan penetapan hukum  (Allah) dengan subyek dan obyek hukum (perbuatan mukallaf). Penetap hukum tidak pernah mengubah atau memberikan toleransi dalam hal proses pengharamannya. Riba atau khamar tidak diharamkan sekaligus, tetapi secara bertahap.
Ketika suatu hukum lahir, yang terpenting adalah bagaimana agar hukum tersebut dipatuhi dan dilaksanakan dengan kesadaran penuh. Allah mengetahui bahwa cukup riskan kalau riba dan khamar diharamkan sekaligus bagi masyarakat pecandu riba dan khamar kala itu. Berkaca dari episode dari pengharaman riba dan khamar, akan tampak bahwa hukum Islam berfungsi sebagai salah satu sarana pengendali sosial.
Hukum Islam juga memperhatikan kondisi masyarakat agar hukum tidak dilecehkan dan tali kendali terlepas. Secara langsung, akibat buruk riba dan khamar memang hanya menimpa pelakunya. Namun secara tidak langsung, lingkungannya ikut terancam bahaya tersebut. Karena itu, kita dapat memahami, fungsi kontrol yang dilakukan lewat tahapan pengharaman riba dan khamar. Fungsi ini dapat disebut amar ma’ruf nahi munkar. Dari fungsi inilah dapat dicapai tujuan hukum Islam, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

3.        Fungsi Zawajir (Pemaksa)
Fungsi ini terlihat dalam pengharaman membunuh dan berzina, yang disertai dengan ancaman hukum atau sanksi hukum. Qishash dan diyat ditetapkan untuk tindak pidana terhadap jiwa atau badan, hudud untuk tindak pidana tertentu (pencurian , perzinaan, qadhaf, hirabah, dan riddah), dan ta’zir untuk tindak pidana selain kedua macam tindak pidana tersebut. Adanya sanksi hukum mencerminkan fungsi hukum Islam sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari segala bentuk ancaman serta perbuatan yang membahayakan. Fungsi hukum Islam ini dapat dinamakan dengan Zawajir.

4.        Fungsi Tanzhim wa Ishlah al-Ummah (Mengatur dan Memperbaiki Umat)
Fungsi hukum Islam selanjutnya adalah sebagai sarana untuk mengatur sebaik mungkin dan memperlancar proses interaksi sosial, sehingga terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, dan sejahtera. Dalam hal-hal tertentu, hukum Islam menetapkan aturan yang cukup rinci dan detil, seperti tata cara berutang yang dijelaskan dalam QS al-Baqarah ayat 282. Namun ada juga yang bersifat umum yakni masalah muamalah, yang hanya menetapkan aturan pokok dan nilai-nilai dasarnya. Perinciannya diserahkan kepada para ahli dan pihak-pihak yang berkompeten pada bidang masing-masing, dengan tetap memperhatikan aturan pokok dan nilai dasar tersebut. Fungsi ini disebut dengan Tanzim wa ishlah al-ummah.
Keempat fungsi hukum Islam tersebut tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu dengan yang lain saling terkait.

Tahapan Penerapan Hukum Islam
Mengingat ada beberapa hukum Islam yang tidak bisa dilaksanakan kecuali turut campur pemerintah, maka keberadaan umat Islam di lembaga pemerintah diperlukan. Agar bisa berjalan baik, tiga tahapan layak diperhatikan:
1.      Tahapan Sosialisasi. Dalam hal ini hukum-hukum Islam harus disosialisasikan kepada masyarakat. Bisa melalui lembaga pendidikan formal, buku, media massa, seminar atau diskusi.
2.      Tahapan legislasi dan pengesahan secara hukum positif. Bagi Negara yang 100 persen penduduknya Muslim, akan lebih mudah membuat legalitas hukum dalam sebuah Negara. Namun bagi yang masyarakatnya bercampur dengan non Muslim atau mungkin bahkan minoritas, tahapan ini perlu perjuangan. Umat Islam harus berjuang agar hukum Islam menjadi legal dalam sebuah pemerintahan sehingga bisa dilaksanakan dan dilindungi Negara.
3.      Tahapan eksekusi. Setelah masyarakat paham dan hukum Islam sudah legal dalam sebuah pemerintahan, maka ia harus segera dilaksanakan. Dalam tahap ini, umat Islam harus mengisi ruang-ruang penting dalam jabatan pemerintahan, seperti kementrian, sebagai walikota, bupati atau gubernur. Dengan demikian, hukum Islam bisa dilaksanakan dengan efektif.
Tahapan ini tidak menafikan pendapat yang ingin memperjuangkan syariat Islam dari luar pemerintahan. Masing-masing bisa menjalankan misinya tanpa harus menyalahkan satu dengan yang lain. Sebab, jika ruang-ruang legislatif diisi oleh mereka yang tidak suka dengan ajaran Islam, akan makin sulit menerapkannya dalam kehidupan masyarakat. Demikian juga jika ruang-ruang pejabat publik dikendalikan oleh para Islamophibia, akan makin sukar menerapkan ajaran Islam. Umat Islam yang berada di dalam atau luar pemerintah, bisa bersinergi semestinya.



[1] Abdul Wahhab al-Khallaf, ‘ilmu Ushul Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978) hal 21-22
[2] Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, hal 401
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, jilid 2, hal 305
[4] Lihat: al-Mu’jam al-Kabir, Juz 15 hal 96.
[5] Asy-Syatibi, Al-Muwâfaqât, II/2-3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar