Senin, 15 Juni 2015

Mahar dengan Hafalan Qur’an


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60                                       

            Akhir-akhir ini pemberitaan dihiasi oleh pernikahan salah seorang anak tokoh negeri ini yang maharnya adalah hafalan Qur’an. Memang mahar seperti ini tidak sebagaimana lazimnya yaitu emas, uang, harta atau perabotan rumah tangga lainnya.
Tak bisa dipungkiri bahwa teks hadits itu secara ekplisit memang menyebutkan bahwa mahar itu bisa berupa hafalan al-Qur’an, sehingga wajar kalau tidak sedikit orang yang memahami bahwa mahar itu boleh berupa hafalan al-Qur’an.

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: ياَرَسُولَ اللهِ إِنّيِ وَهَبْتُ نَفْسِي لَكَ. فَقَامَتْ قِيَامًا طَوِيْلاً. فَقَامَ رَجُلٌ فَقَالَ: يَارَسُولَ اللهِ زَوِّجْنِيْهَا إِنْ لَـمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَة. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ : هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ تُصْدِقُهَا اِيَّاهُ؟ فَقَالَ: مَا عِنْدِيْ اِلاَّ اِزَارِيْ هذَا. فَقَالَ النَّبِيُّ اِنْ اَعْطَيْتَهَا اِزَارَكَ جَلَسْتَ لاَ اِزَارَ لَكَ فَالْتَمِسْ شَيْئًا. فَقَالَ: مَا اَجِدُ شَيْئًا. فَقَالَ: اِلْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ. فَالْتَمَسَ فَلَمْ يَجِدْ شَيْئًا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : هَلْ مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ شَيْئٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَةُ كَذَا لِسُوَرٍ يُسَمِّيْهَا. فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ : قَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ اْلقُرْآنِ

Dari Sahal bin Sa'ad bahwa Nabi saw didatangi seorang wanita yang berkata,"Ya Rasulullah kuserahkan diriku untukmu", Wanita itu berdiri lama lalu berdirilah seorang laki-laki yang berkata," Ya Rasulullah kawinkan dengan aku saja jika engkau tidak ingin menikahinya." Rasulullah berkata," Punyakah kamu sesuatu untuk dijadikan mahar?” Dia berkata, "Tidak kecuali hanya sarungku ini."
Nabi menjawab, "Bila kau berikan sarungmu itu maka kau tidak akan punya sarung lagi, carilah sesuatu." Dia berkata, "Aku tidak mendapatkan sesuatupun."
Rasulullah berkata, "Carilah walau cincin dari besi." Dia mencarinya lagi dan tidak juga mendapatkan apa-apa. Lalu Nabi berkata lagi," Apakah kamu menghafal qur'an?"
Dia menjawab, "Ya surat ini dan itu," sambil menyebutkan surat yang dihafalnya. Berkatalah Nabi,"Aku telah menikahkan kalian berdua dengan mahar hafalan qur'anmu," (HR Bukhari Muslim).
Secara zahir kalau ada orang berpendapat bolehnya mahar berupa hafalan Al-Qur’an, memang tidak bisa dipungkiri dan wajar. Hadits tersebut jelas menyatakan bahwa Nabi saw menikahkan mereka dengan hafalan Qur’an.
Namun bukan dalam menarik kesimpulan hukum kita menemukan pendapat-pendapat yang berbeda, meski tetap mengacu kepada dalil yang sama. Sebagian ulama memandang bahwa hakikat mahar itu adalah pemberian berupa harta, berapa pun nilainya. Sedangkan kalau hanya berupa hafalan ayat al-Qur’an, meski zahir nashnya demikian, namun tetap harus dipahami dengan benar sebagaimana maksudnya.

a. Mahar Adalah Pemberian
Seorang calon suami boleh saja merasa dirinya sudah menjadi hafizh (penghafal) Al-Qur’an. Tetapi hafalan yang ada di kepalanya bukanlah sesuatu yang bisa diberikan kepada orang lain. Bila mahar berupa hafalan Al-Qur’an, justru melanggar pengertian mahar itu sendiri. Karena mahar itu pemberian dan hafalan Al-Qur’an tidak bisa diberikan. Sebab otak kita tidak bisa dicopykan hafalan Al-Qur’an seperti komputer.

b. Hafalan Qur’an Pilihan Terakhir
Kalau harus berupa harta, lantas bagaimana dengan hadits di atas yang tegas menyebutkan mahar dengan hafalan Al-Qur’an?
Jawabnya bahwa hadits di atas harus dibaca dengan utuh dan tidak boleh dipakai sepotong-sepotong. Hadits di atas memang menceritakan bagaimana Rasulullah saw menyarankan atau membolehkan laki-laki itu memberi mahar berupa hafalan Al-Qur’an. Tetapi kalau dilihat secara seksama, sebenarnya ada proses sebelumnya. Tidak ujug-ujug beliau bilang begitu.
Awalnya Rasulullah saw meminta agar mahar berupa harta, tetapi karena laki-laki itu terlalu miskin, beliau saw membolehkan harta dengan nilai yang amat kecil, hanya berupa cincin dari besi. Namun sudah dicari dan diupayakan, ternyata tetap tidak didapat juga, akhirnya apaboleh buat, Rasulullah saw pun mempersilahkan maharnya berupa hafalan ayat Al-Qur’an.
Kesimpulannya, kalaupun mau bayar mahar dengan hafalan Al-Qur’an, maka posisinya harus diletakkan pada pilihan terakhir, setelah mengupayakan memberi harta meski cuma sedikit pun tidak punya. Jangan ujug-ujung langsung mahar berupa hafalan Al-Qur’an.

c. Memahami Hadits dengan Mengaitkan Kepada Hadits Lain
Menarik kesimpulan hukum secara terburu-buru dengan menggunakan sepotong dalil adalah sebuah keteledoran. Seorang faqih dan mujtahid wajib menggunakan semua hadits dan tidak boleh hanya berdalil dengan sepotong hadits.
Sebab bila kita hanya menggunakan hadits ini saja, tanpa melihat dan membandingkan dengan sekian banyak hadits dan dalil-dalil syar'i lainnya, kita jadi orang yang memakai dalil sepotong-sepotong. Memakai dalil sepotong-sepotong itu bukan perbuatan terpuji. Bahkan para ahli kitab di masa lalu dilaknat Allah karena salah satunya karena mereka menggunakan kitab secara sepotong-sepotong. Al-Qur’an sendiri mempertanyakan tindakan ini sebagai tindakan yang keliru.
Maka selain hadits di atas, kita juga harus melihat hadits lainnya tentang mahar dan nilainya di masa Rasulullah saw. Rasululah saw sendiri tidak pernah bayar mahar pakai bacaan atau hafalan Al-Qur’an. Padahal beliau adalah orang yang paling tinggi derajatnya dalam hafalan Al-Qur’an.
Tetapi mahar beliau kepada para istrinya tetap berupa harta. Kepada Khadijah diriwayatkan maharnya berupa 20 ekor unta. Kepada Aisyah dan lainnya berupa uang sebanyak 500 dirham perak.
Kalau saja 1 ekor unta disamakan dengan harga seeokor sapi yaitu berkisar Rp 15 juta, maka mahar Nabi saw tidak kurang dari Rp 300 juta.
كَانَ صِدَاقُهُ لأَزْوَاجِهِ ثِنْتَى عَشْرَةَ أوْقِيَةً وَنَشًّا قَالَ: قَالَتْ: أتَدْرِى مَا النَّشُّ ؟. قَالَ: قُلْتُ: لاَ! قَالَتْ: نِصْفُ أوْقِيَةٍ ؛ فَتِلْكَ خَمْسُمِائَةِ دِرْهَمٍ. فَهَذَا صِدَاقُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لأَزْوَاجِهِ.
Aisyah berkata,"Mahar Rasulullah kepada para istri beliau adalah 12 uqiyah dan satu nasy." Aisyah berkata,"Tahukah engkau apakah nasy itu?" Abdur Rahman berkata,"Tidak." Aisyah berkata,"Setengah uqiyah". Jadi semuanya 500 dirham. Inilah mahar Rasulullah saw kepada para istri beliau.” (HR. Muslim).
Di masa Rasulullah SAW, uang 1 dinar emas bisa untuk membeli seekor kambing sebagaimana hadits Urwah al-Bariqi. Perbandingan nilai dirham dengan dinar berkisar antara 1 : 10 hingga 1 : 12. Maksudnya, satu dinar di masa itu setara dengan 10 hingga 12 dirham.
Jadi kalau mahar Rasululah saw itu 500 dirham, berarti dengan uang itu kira-kira bisa untuk membeli kurang lebih 50 ekor kambing. Tinggal kita hitung saja berapa harga kambing saat ini. Anggaplah misalnya sejuta rupiah per-ekor, maka kurang lebih nilai 500 dirham itu 50 juta rupiah.

d. Bukan Memamerkan Hafalan Tetapi Mengajarkan
Hadits di atas juga harus disesuaikan dengan hadits lainnya yang menjelaskan. Dalam beberapa riwayat yang shahih disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
اِنْطَلِقْ لَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا فَعَلِّمْهَا مِنَ اْلقُرْآنِ

Dalam riwayat lain oleh Muslim: Nabi saw bersabda, “Pergilah, sungguh aku telah menikahkan kamu dengannya, maka ajarilah dia dengan Al-Qur’an”.
Maka yang dijadikan mahar bukan pameran hafalan Al-Qur’an di majelis akad nikah, melainkan berupa 'jasa' untuk mengajarkan Al-Qur’an berikut dengan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya. Kita dapati dalam riwayat Abu Hurairah disebutkan bahwa jumlah ayat yang diajarkannya itu adalah 20 ayat.

e. Mahar Berupa Sesuatu yang Bermanfaat
Kalau yang dimaksud bahwa mahar hafalan Al-Qur’an itu sekadar memamerkan hafalan Al-Qur’an, nampaknya masih agak jauh dari makna dan maksud mahar yang sesungguhnya. Namun kalau yang dimaksud adalah dengan hafalannya itu seorang suami mengajarkan Al-Qur’an, maka jasa mengajar itu adalah salah satu wujud harta juga.
Logika ini agak lebih masuk akal dan nalar kita. Bukankah mahar Nabi Musa kepada istrinya juga berupa jasa juga. Jasa yang dimaksud adalah jasa menggembala kambing selama 10 tahun lamanya.
“Berkatalah dia (Syu'aib),  “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu.Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (QS al-Qashash: 27).
Dari Anas bahwa Abu Thalhah meminang Ummu Sulaim, lalu Ummu Sulaim berkata, “Demi Allah, laki-laki seperti anda tidak mungkin ditolak pinangannya, namun anda masih kafir sedangkan saya wanita muslimah,tidak halal bagi saya menikah dengan anda. Namun bila anda masuk Islam, maka ke-Islaman anda itu menjadi mahar dan saya tidak minta selain itu.
Bila menilik hadits di atas, maka dibolehkan mahar itu berbentuk sesuatu yang memiliki manfaat dan faedah. Seperti ilmu yang diajarkan, keislaman (proses masuk Islamnya suami), bacaan Al-Qur'an dan sejenisnya. Karena mahar itu hak istri, bila dia rela menerima hal itu, maka cukuplah hal itu menjadi mahar
Adapun mengenai batas-batasnya (maksimal atau minimal), mahar tidak mempunyai batasan. Suami boleh memberikan mas kawin kepada istrinya berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan suami.
Pernah suatu kali Umar bin Khaththab ketika menjabat sebagai khalifah membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400 dirham, tindakan ini ditentang oleh seorang wanita yang mengatakan bahwa Allah telah berfirman :
“Dan jika kamu ingin menggantikan istrimu dengan istri yang lain (karena perceraian), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (qinthaar), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun," (QS al-Nisa' : 20) Kalimat "qinthaar" dalam ayat ini bermakna : jumlah yang banyak tanpa batas. Maka ketika itu Umar mengakui kekhilafannya atau kesalahannya seraya berkata: "Wanita itu benar, Umarlah yang salah".
Walaupun demikian, agama tetap menganjurkan untuk mempermudah hal-hal yang berhubungan dengan mas kawin seperti yang tertera dalam sabda Rasulullah:
أعظم النساء بركة أيسرهن مئونة
“Wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang paling mudah mas kawinnya,” (HR Ahmad).
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kadar minimal mas kawin:
1.      Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka mengqiaskan (menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau lebih.
2.      Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para istrinya tidak pernah kurang dari 10 dirham.

3.      Ulama Syafi’yah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal, yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah (layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat shalat). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar