Selasa, 22 April 2014

Wali Nikah bagi Anak Zina


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60

Para ulama fiqih menyepakati bahwa umur bayi yang berada di dalam kandungan ibunya minimal enam bulan, batasan ini disandarkan kepada sebuah atsar (perkataan sahabat) bahwa dulunya ada seorang laki-laki yang menikah, lalu dalam kurun waktu enam bulan dari pernikahannya mereka sudah memperoleh anak. Melihat kenyataan seperti ini, Utsman bin Affan kaget, dan terdetik di dalam hatinya untuk menghukum mereka dengan sangkaan zina, lalu datanglah Ibnu Abbas, kemudian memberikan penjelasan.
Mula-mula, Ibnu Abbas membacakan potongan sebuah sebuah ayat berikut:
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُونَ شَهْرًا
“...mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”(QS. Al-Ahqaf: 15)
Lalu Ibnu Abbas melanjutkan penjelasannya dengan membaca ayat lainnya:
وَالْوَالِدَاتُ يَرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ  
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh” (QS. Al-Baqarah: 233).
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat yang pertama memberikan penjelasan kepada kita tentang rentang  waktu kehamilan hingga menyapih anak dari susuan ibunya selama tiga puluh bulan, sedang ayat kedua menjelaskan kepada kita tentang waktu menyusui yaitu selama dua tahun (atau sama dengan dua puluh empat bulan).

Jika waktu hamil sampai menyapih dikurangi waktu menyusui maka hasilnya adalah enam bulan, dan itulah sekurang-kurangnya umur kehamilan.
Waktu tersebut dihitung dari aqad nikah dan kemungkinan berkumpulnya suami dan istri, begitu menurut mayoritas ulama. Sedangkan dalam madzhab Hanafi waktu tersebut terhitung dari mulai adanya aqad.
Sedangkan untuk umur kehamilan paling lama, para ulama fiqih berbeda pendapat, ada yang berpendapat umurnya sembilan bulan, ada juga yang berpendapat umurnya dua tahun, pendapat lainnya menyebutkan empat tahun, dan ada lagi yang berpendapat bahwa usia kehamilan paling lama itu adalah lima tahun. Semua pendapat itu berdasarkan data-data riwayat kehamilan yang didapat, baik melalui riwayat atau juga lewat data usia kehamilan yang ada pada masyarakat dimana mereka hidup.[1]

Usia Kehamilan Versi Kedokteran
Dalam dunia kedokteran, normalnya usia kandungan itu berkisar antara 32 sampai 42 minggu. Jika kurang dari umur 32 minggu itu disebut dengan prematur, dan jika lebih dari 42 minggu disebut dengan posmatur.
Biasanya bayi prematur itu umurnya tidak kurang dari 28 minggu. Memang ada bayi yang terlahir di bawah usia 28 minggu, akan tetapi kelahiran seperti ini sangat memprihatinkan, berat bayi biasanya kurang dari 1000 gr (1 kg), untuk itu kemungkinan hidup sangat sulit.
Dunia kedokteran juga mengenal istilah abortus, untuk kelahiran dalam usia kandungan kurang dari 20 minggu, dan biasanya berat cabang bayi juga kurang dari 500 gr (0,5 kg). Kelahiran dalam katagori ini lebih sangat tidak mungkin, karena yang seperti ini dianggap keguguran, dan memang istilah abortus itu sendiri artinya adalah keguguran.
Hanya bayi prematur sajalah yang kemungkinan bisa diselamatkan, dan pastinya bayi prematur itu terlahir dari usia kandungan diatas 20 minggu dan dibawah 32 minggu.
Jadi, dari penjelasan ini setidaknya kita akan mendapat titik temu antara pendapat fiqih dan pendapat kedokteran, dimana hanya bayi yang lahir prematur sajalah yang memungkinkan untuk hidup, rentang waktunya berkisar antara usia di atas 20 minggu (di atas 5 bulan) hingga usia 32 minggu (8 bulan).
Jika kurang dari itu, dalam fiqih maupun kedokteran yang seperti ini sangat sulit terjadi (mustahil), karena kelahiran abortus dengan usia kehamilan di bawah 20 minggu, dan biasanya juga dengan berat badan kurang dari 500gr sulit untuk selamat.

Status Anak yang Lahir
Rasulullah saw bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
Artinya: “Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah  batu (dihukum)“ (HR. Bukhari dan Muslim).
Kata al-Firasy pada hadits di atas difahami dengan makna hubungan pernikahan (az-zaujiyyah), artinya anak itu bisa dinasabkan jika orang tuanya memiliki hubungan pernikahan dengan ibunya. Namun di sini ada sedikit perbedaan antara mayoritas ulama dengan mazdhab Hanafi:

a. Mayoritas Ulama
Jumhur ulama berpendapat bahwa hubungan pernikahan yang dimaksud dalam kata al-firasy pada hadits di atas, harus memenuhi dua unsur sekaligus. Yakni: adanya aqad yang sah dan memungkin dari aqad yang sah itu terjadinya kehamilan.
            Jika sang suami dari aqad yang sah tadi ternyata mempunyai penyakit impoten, maka anak yang dihasilkan dari pernikahan tersebut dipertanyakan. Atau jika ternyata istri melahirkan dalam usia kehamilan kurang dari enam bulan setelah aqad, maka yang demikian juga dipertanyakan. Atau jika seandainya terjadi aqad nikah jarak jauh, dimana tidak memungkinakna bagi suami istri ini bertemu dalam rentang enam bulan setelah aqad, maka jika dalam keadaan seperti ini ternyata istrinya melahirkan, maka anak ini dipertanyakan.
Lebih tegasnya tidak hanya dipertanyakan, namun menurut jumhur (mayoritas) ulama kasus seperti ini tidak bisa dinasabkan kepada ayah yang menikahi ibu tersebut. Mungkin secara biologis kita bisa menasabkan anak tersebut dengan ayahnya, namun secara syariat itu tidak boleh dilakukan.

b. Mazdhab Hanafi
Berbeda dengan pendapat mazdhab Hanafi. Imam Al-Kasani dalam kitabnya Bada’i’ Ash-Shana’i', juga Ibnu Abdin dalam kitabnya menyebutkan bahwa sebatas adanya aqad nikah yang sah, maka cukup sudah alasan kita untuk menasabkan anak yang terlahir setelah aqad tersebut walaupun mungkin dalam anggapan kita mereka tidak bertemu, dengan syarat bahwa kelahiran tersebut minimal setelah enam bulan usia kehamilan setelah aqad.
Jadi akhirnya semua ulama tetap berpatokan kepada usia minimal kehamilan, dan sejauh yang penulis ketahui tidak ada pendapat yang berbeda perihal batasan minimal usia kehamilan. Enam bulan itu adalah satu-satunya angka yang disepakati oleh para ulama fiqih.
Jadi jika ada anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan usia pernikahan, maka indikasi kuatnya bahwa sudah terjadi pembuahan sebelum aqad, yang semestinya itu tidak boleh terjadi, karena yang demikian adalah perbuatan yang sangat keji dalam Islam, walaupun dalam hal ini hakim yang berwenang juga harus hati-hati dalam memutuskan perkara ini.

Perwalian Nikah
Mayoritas ulama menjadikan wali itu sebagai rukun nikah, artinya tidak sah suatu pernikahan jika tidak ada walinya. Keharusan adanya wali menurut jumhur ulama didasarkan pada banyak dalil, baik dari Al-Quran maupun dari Sunnah, antara lain firman Allah SWT :
 وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُواَ
 “Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik hingga mereka beriman”.. (QS. Al-Baqarah : 221)
Ayat ini mengisyaratkan bahwa dalam sebuah pernikahan itu harus ada wali yang tugasnya menikahkan seorang wanita dan bukan wanita itu yang menikahkan dirinya sendiri.
Di samping itu Rasulullah saw  yang menegaskan bahwa menikah tanpa izin dari wali adalah perbuatan mungkar dan pelakunya bisa dianggap berzina.
 أَيُّمَا اِمْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا اَلْمَهْرُ بِمَا اِسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ
Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya maka nikahnya itu batil, nikahnya itu batil dan nikahnya itu batil. Jika (si laki-laki itu) menggaulinya maka harus membayar mahar buat kehormatan yang telah dihalalkannya. Dan bila mereka bertengkar, maka Sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)
            Dari Abi Buraidah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,
لاَ نِكَاحَ إِلا بِوَلِيٍّ
"Tidak ada nikah kecuali dengan wali". (HR Ahmad dan Empat)

 Di dalam hadits yang lain juga disebutkan :
 لاَ تُزَوِّجُ المَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِي تَزَوِّجُ نَفْسَهَا
Dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda,"Janganlah seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Wanita pezina itu adalah wanita yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR. Ad-Daruquthny) 
Abdullah bin Abbas juga memberikan fatwanya terkait masalah perwalian ini, dimana beliau mengatakan :
 كُلُّ نِكاَحٍ لَمْ يَحْضُرْهُ أَرْبَعَةٌ فَهُوَ سِفَاحٌ: الزَّوْجُ وَوَلِيُّ وَشَاهِدَا عَدْلٍ
 Semua pernikahan yang tidak dihadiri empat pihak maka termasuk zina : suami, wali dan dua saksi yang adil.

Urutan Wali dan Wali Hakim
Ulama-ulama mazhab yang empat sedikit berbeda pendapat terkait masalah tertib wali, namun di negri kita pendapat mazdhab Syafi’i lebih masyur dipakai. Imam Nawawi dalam kitabnya Raudhah At-Thalibin menuliskan bahwa tertib wali dalam madzhab Syafi’i itu adalah sebagai berikut:
Ayah kandung, ayahnya ayah (kakek), saudara kandung, saudara seayah, anak laki-laki dari saudara kandung, anak lak-laki dari saudara seayah, paman kandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung, dan anak laki-laki dari paman seayah, kemudian hakim.
Kaidah perwalian itu adalah mereka yang masuk dalam katagori ashabah, yaitu keluarga laki-laki dari pihak ayah, bukan dari pihak ibunya.
            Sedang wali hakim itu berguna untuk menikahkan siapa saja yang tidak mendapati wali yang akan menikahkannya. Rasulullah SAW bersabda:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لا وَلِيَّ لَهُ
Sulthan (hakim) adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmizi dan Ibnu Majah.)

Fatwa MUI
Dalam fatwa MUI nomor:  11 Tahun 2012 tentang kedudukan anak hasil zina dan perlakuan terhadapnya berisikan penjelasan berikut:
1.      Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah,  waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya.
2.      Anak hasil zina  hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqah dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3.      Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
4.      Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang, untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al-nasl).
5.      Pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya untuk: mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut; memberikan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah.
6.      Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

Kompilasi Hukum Islam
Dalam pasal 99 KHI berbunyi bahwa anak yang sah adalah:
·         Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah
·         Hasil pembuahan suami istri yang diluar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut
Pasal 100 KHI berbunyi: “ Anak yang lahir diluar perkawin hanya mempunyai hubungn nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Hal yang senada juga ada dalam pasal 42 UU Perkawinan, bab IX no 1 Tahun 1974. Dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah, yang masuk dalam katagori ini adalah:
·         Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu perkawinan yang sah.
·         Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
·         Anak yang dilahirkan oleh wanita didalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.

Kesimpulan:
Ada tiga tipe anak hasil zina atau yang lahir dari hubungan seks di luar nikah.
1. Kedua orang tua biologis anak tidak menikah selama anak hamil. Maka anak ini statusnya disebut anak zina. Kalau perempuan, yang jadi wali nikahnya adalah wali hakim (KUA untuk Indonesia).
2. Kedua orang tua biologis si anak menikah saat anak dalam kandungan. Maka, ayah biologisnya sah menjadi ayah si anak dan berhak menjadi wali nikah. Meskipun dalam hal ini terdapat banyak perbedaan, termasuk hukum menikahi wanita yang sedang hamil.[2]
Jika kita mengambil pendapat ulama yang membolehkan menikahkan wanita hamil dengan laki-laki yang berzina dengannya, maka ada dua ketentuan:
- Jika sang anak lahir enam bulan setelah akad nikah, maka si anak secara otomatis sah dinasabkan pada ayahnya tanpa harus ada ikrar tersendiri.
- Jika si jabang bayi lahir sebelum bulan keenam setelah pernikahan, maka ayahnya dipandang perlu melakukan ikrar, yaitu menyatakan secara tegas bahwa si anak memang benar-benar dari darah dagingnya.
3. Ibu biologis anak menikah dengan pria lain (bukan dengan ayah biologis anak). Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.[3] Status anak yang dilahirkan tetap sebagai anak zina. Karena itu dinasabkan pada ibunya. Bukan pada pria yang menikahi ibunya karena faktanya ia bukan ayah biologisnya. Apabila anak tadi terlahir perempuan, maka yang menjadi walinya adalah wali hakim atau pejabat KUA (Kantor Urusan Agama).


[1] Penjelasan tentang umur kehamiln ini bisa kita temukan dibanyak kitab-kitab fiqih, seperti pada kitab Bidayah Al-Mujtahid, Juz 2, hal. 352, Al-Bada’i' wa As-Shana’i', juz 3, hal 211, Mughni Al-Muhtaj¸ juz 3, hal. 373, dan kitab Al-Mughni¸ juz 7, hal. 477-480, serta kitab-kitab lainnya.
[2] Madzhab Syafi'i dan Hanafi menganggap sah pernikahan ini tanpa harus menunggu anak zina lahir. Dengan alasan tidak ada keharaman pada anak zina karena tidak ada nasab (keturunan).
Kompilasi Hukum Islam(KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga(3) ayat , yaitu :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
 2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat(1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
 3. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Kalangan sahabat Nabi saw yang membolehkan nikah dalam kasus ini antara lain: Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas.
Namun, beberapa sahabat Nabi saw seperti Aisyah, Ali bin Abi Thalib, al-Barra' dan Ibnu Mas'ud termasuk yang mengharamkan pria menikahi wanita yang dizinainya. Karena itu, mereka tidak menganggap sah pernikahan semacam ini. Ulama madzhab Maliki dan Hanbali juga mengharamkan.
[3] Menurut Madzhab Hanafi, boleh menikah tapi tidak boleh ada hubungan badan sampai anak zina tadi lahir. لا توطأ حامل حتى تضع (HR Abu Daud dan al-Hakim). Sedangkan menurut madzhab Syafi'i boleh menikah dan boleh berhubungan suami-istri.  يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره ووطؤها حينئذ مع الكراهة. (Bughiyatul Mustarsyidin 1/419 karya Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alwi, seorang ulama madzhab Syafi’i).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar