Rabu, 22 Januari 2014

Seputar Shalat Jumat (2)


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
(Ketua Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60


A.    Syariat Shalat Jumat
Para ulama sepakat bahwa hukum melakasnakan shalat Jumat fardhu ain. Hal ini berdasarkan firman Allah, "Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui," (QS al-Jumuah: 9). Didukung beberapa hadits berikut:

  • "Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at atau kalau tidak, Allah akan menutup hati mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai." (HR. Muslim)
  • "Sungguh aku berniat menyuruh seseorang (menjadi imam) shalat bersama-sama yang lain, kemudian aku akan membakar rumah orang-orang yang meninggalkan shalat Jum’at.” (HR. Muslim)
  • "Shalat Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjama’ah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit." (HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
B.    Mereka yang Wajib dan Tidak Wajib Shalat Jumat
Imam al-Qurthubi ketika menjelaskan kalimat “Hai orang-orang beriman” dalam Surah al-Jumuah ayat 9, menyatakan bahwa ayat itu ditujukan kepada orang-orang yang mukallaf menurut ijma’ ulama, sehingga tidak termasuk orang sakit, musafir (sedang bepergian), budak, kaum wanita berdasarkan dalil beberapa hadits, orang yang buta dan tua renta yang tidak mampu berjalan kecuali dengan dituntun seseorang. Hal ini berdasarkan hadits yang  diriwayatkan dari Jabir bahwasanya Rasulullah saw bersabda,”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka wajib atasnya shalat Jum’at pada hari Jum’at kecuali orang sakit, musafir, wanita, anak kecil, atau budak. Barangsiapa yang sedang mencari kekayaan dengan berdagang cukuplah Allah baginya. Dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (HR. Ad Daru Quthni) –(al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz XVIII hal 346 – 347).
DR Wahbah az-Zuhaili menambahkan, shalat Jum’at diwajibkan kepada seorang yang mukallaf (baligh dan berakal), merdeka, laki-laki, orang yang mukim bukan musafir, tidak sedang sakit atau terkena uzur-uzur lainnya serta mendengar suara adzan. Shalat jum’at tidaklah wajib atas anak kecil, orang gila dan sejenisnya, budak, wanita, musafir, orang sakit, takut, buta walaupun ada orang yang menuntunnya menurut Abu Hanifah, tapi menurut para ulama Maliki dan Syafi’i wajib baginya jika ada orang yang menuntunnya.
Beliau juga mencantumkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Nabi saw yang bersabda,”Shalat jum’at adalah kewajiban seorang muslim yang dilakukan dengan berjama’ah kecuali terhadap empat golongan : budak, wanita, anak kecil atau orang yang sakit.” (al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz II hal 1285).

C.     Shalat Jumat bagi Wanita
Para ulama sepakat tentang tidak wajibnya wanita untuk shalat Jumat. Mereka berbeda pendapat tentang hukumnya.
Madzhab Hanafi berpendapat: lebih baik bagi wanita melaksanakan Zhuhur di rumahnya, baik tua maupun muda. Sebab shalat Jama'ah (termasuk Jumatan) tidak di syariatkan (wajibkan) kepada mereka.
Madzhab Maliki berpendapat: apabila seorang wanita yang sudah tua dan tidak menarik perhatian laki laki, dibolehkan melaksanakan shalat Jum'at. Kalau bukan demikian makruh hukumnya. Jika seorang wanita muda dan dikhawatirkan menimbulkan fitnah, baik di perjalanan menuju masjid atau kehadirannya di masjid, maka haram baginya demi menghindari hal hal yang tidak diingini.
Madzhab Syafi'i berpendapat: makruh hukumnya bagi wanita menghadiri jama'ah secara mutlak, baik Jum'at maupun yang lain. Khususnya jika ia seorang gadis yang sudah pantas menikah walaupun memakai pakaian usang (tidak menarik perhatian), begitu juga bagi selain mereka bila berhias dan memakai wangi wangian. Adapun bagi wanita yang sudah tua dan keluar dengan pakaian usang juga tidak memakai wangi wangian, (pendeknya sama sekali tidak menimbulkan perhatian laki laki), maka dibolehkan bagi mereka menghadiri shalat Jum'at tanpa paksaan. Itupun dengan dua syarat: mendapat izin dari walinya dan tidak dikhawatirkan fitnah.
Madzab Hambali berpendapat: dibolehkan bagi wanita melaksanakan shalat Jum'at, (hukumnya mubah), dengan syarat tidak berhias dan mempercantik diri. Namun jika berhias, hukumnya makruh secara mutlak.
Secara umum bisa dipahami, tak ada larangan bagi kaum wanita untuk menghadiri shalat Jumat jika mereka mau selama kehadirannya tidak menimbulkan fitnah bagi orang-orang di dalam masjid, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian dari mendatangi masjid, dan (sesungguhnya) rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.” (HR. Ahmad dan al Hakim).
Fatawa al-Lajnah ad-Da'imah Lil Ifta (Arab Saudi) menegaskan, shalat Jum'at tidak diwajibkan bagi kaum wanita, tapi jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum'at bersama imam, shalatnya sah. Jika ia melaksanakan shalat seorang diri di rumah, ia harus melaksanakan shalat Zhuhur sampai empat rakaat, shalat Zhuhur itu dilaksanakan setelah masuknya waktu shalat atau setelah matahari condong ke barat, dan tidak boleh bagi seorang wanita untuk melaksanakan shalat Jum'at seorang diri. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4148].
Jika seorang wanita melaksanakan shalat Jum’at bersama imam Jum’at, maka telah cukup shalat Jum’at itu untuk menggantikan pelaksanaan shalat Zhuhur, dan tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur pada hari itu. Adapun jika melaksanakannya seorang diri, maka tidak boleh baginya untuk melaksanakan shalat kecuali shalat Zhuhur dan tidak boleh baginya melaksanakan shalat Jum’at. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da'imah Lil Ifta VII/212, fatwa nomor 4147]. Pendapat ini disebutkan juga oleh Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syahrul Muhadzdzab (4/495) .
Pada zaman Rasulullah saw sebagian sahabat wanita mampu menghafalkan surat Qaff dari lisan Rasulullah saw saat shalat Jum’at. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa itu kaum wanita ikut serta menghadiri shalat Jum’at bersama kaum pria dan tidak ada larangan terhadap mereka dari beliau saw, sebagaimana diriwayatkan dari putri Haritsah bin an Nu’man berkata,”Tidaklah aku menghafal surat Qaff kecuali dari bibir Rasulullah saw saat beliau saw berceramah dengannya setiap hari Jum’at.” (HR. Muslim).

D.    Waktu Shalat Jumat
Waktu shalat Jum’at sama dengan waktu Zhuhur, yaitu dari tergelincirnya matahari hingga ukuran bayangan sesuatu sama dengannya. Dalil mengenai ketentuan waktu shalat Jum’at adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab “Shahih Bukhari” dari Anas bin Malik, Nabi saw melaksanakan shalat Jum’at ketika matahari condong (tergelincir).”
Imam Muslim meriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ ia berkata, “Kami melaksanakan shalat jum’at bersama Rasulullah saw ketika matahari telah tergelincir, kemudian kami pulang mengikuti bayangan.”

E.     Hukum Shalat Qabliyah Jum’at
Tiga mazhab  (Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah) menyatakan bahwa shalat qabliyah Jumat itu tidak ada dasar pensyariatannya. Sedangkan satu mazhab lagi yaitu asy-Syafi'iyah menyatakan sebaliknya. Inti  perbedaan pendapat mereka terletak pada hadits-hadits yang meriwayatkan praktik shalat qabliyah Jumat itu. Di mana mereka yang menafikannya mengatakan bahwa tak ada satu pun hadits tentang itu yang shahih. Yang ada hanyalah hadits-hadits lemah.
Namun asy-Syafi'iyah memang tidak melandaskan pendapatnya pada hadits yang lemah sebagaimana dituduhkan. Ia mengambil jalan qiyas, yaitu meng-qiyaskan shalat Jumat dengan shalat Zhuhur. Sehingga kalau sebelum shalat Zhuhur disunnahkan melakukan shalat sunnah sebelumnya, maka demikian juga dengan shalat Jumat, disunnahkan untuk melakukan shalat sunnah sebelumnya.

F.     Adzan Dua Kali pada Shalat Jum’at
Pada zaman Rasulullah saw, adza shalat Jum'at hanya sekali, yaitu ketika khatib naik mimbar dan duduk. Ketika zaman Utsman bin Affan dan banyaknya umat Islam di Madinah, maka ia menganjurkan adzan pertama untuk mengingatkan penduduk Madinah akan masuknya waktu shalat Jum'at, agar mereka bergegas ke Masjid. (HR Bukhari, Baihaqi dll). Pendapat Utsman ternyata tidak ditentang para sahabat lain yang ada saat itu, sehingga ini merupakan Ijma' Sahabat.

G.    Jumlah Jamaah Shalat Jum’at yang Sah
            Para imam mazhab sepakat bahwa shalat Jum’at itu tidak sah kecuali dilaksanakan dengan berjamaah. Namun mereka berselisih pendapat tentang jumlah jamaah yang sah untuk shalat Jum’at. Sayyid sabiq dalam Fiqhus Sunnahnya menyebutkan, dalam hal ini ada 15 pendapat sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari-nya. Berikut pandangan dari beberapa madzhab- tersebut:
Hanafiyah: Jamaah yang sah untuk shalat Jum’at disyaratkan tiga orang selain imam, sekalipun mereka tidak menghadiri khutbah Jum’at.
Malikiyah: Batas minimal jumlah jamaah yang sah untuk shalat Jum’at adalah dua belas orang laki-laki selain imam.
Syafi’iyah dan Hanabilah: Jamaah yang sah untuk shalat Jum’at jumlahnya empat puluh orang beserta imamnya. Maka shalat Jum’at itu tidak sah dengan jumlah jamaah kurang dari itu.
Karena tak ada hadits yang menyebutkan jumlah jamaah shalat Jumat, maka tak ada ketentuan pasti. Bahkan, ada yang mengatakan dua orang sudah memenuhi syarat shalat Jumat karena bisa dilaksanakan secara berjamaah. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar