Selasa, 26 Maret 2013

Berbuat Ihsan di Mana Saja

“Ihsan adalah engkau berbuat seolah-olah melihat Allah. Kalau engkau tidak melihat-Nya, maka Dia melihatmu,” (HR Muslim).

Bagi seorang Muslim, tak boleh ada waktu terbuang. Setiap langkah kaki dan gerak tubuhnya harus bernilai pahala. Bahkan, tarikan nafas pun harus bermuatan ibadah.
            Pahala tidak semata menjadi milik mereka yang berdiam di masjid atau  mushala. Pahala bisa diraih di mana saja; rumah, kantor, masjid bahkan di jalanan. Pun, bukan juga semata kepunyaan  orang-orang kaya yang berlimpah harta. Ibadah tidak hanya didominasi oleh para kiai, ustadz atau orang-orang kaya. Pekerja kasar, guru dan orang-orang miskin pun berhak melakukan sesuatu yang bernilai ibadah. Siapapun boleh bersaing mengumpulkan pahala sebanyak mungkin.
            Islam menjadikan ibadah sebagai landasan
utama setiap pekerjaan. Dari sinilah muncul sebuah tuntutan. Agar setiap desah nafas dan gerak anggota tubuh bermuatan pahala, setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cara yang baik, tidak sekadar menggugurkan kewajiban. Ia harus dilaksanakan dengan ihsan. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang jika bekerja dengan ihsan dan itqan (sempurna),” (HR Baihaqi).
            Sikap ihsan ini hendaknya menjadi pakaian kaum muslimin di mana pun berada. Di rumah, sikap ihsan bisa diaktualisasikan dalam berbagai aktivitas, seperti mengatur makan, memenej waktu, dan keuangan. Dalam mengatur kadar konsumsi makanan misalnya,  Rasulullah memberikan tuntunan tersendiri. “Tidak ada tempat yang lebih buruk daripada perut manusia yang diisi penuh dengan makanan. Manusia cukup makan beberapa suap sekadar untuk membuat punggungnya berdiri tegak. Keseluruhan isi perut terbagi tiga yaitu sepertiga untuk makanan, sepertiga lagi untuk minuman dan sepertiga terakhir untuk nafas (angin),” (HR Turmudzi).
            Ketika bermuamalah pun kita dituntut berlaku ihsan dengan siapa saja. Allah memerintahkan untuk berbuat ihsan kepada kedua orang tua melalui firman-Nya, “Dan kepada ibu bapakmu, hendaklah berbuat ihsan,” (QS al-Isra’: 23). Begitu pun terhadap tetangga. Dalam sebuah riwayat, Jibril dikabarkan seringkali memberikan wasiat pada Rasulullah untuk berbuat ihsan kepada tetangga. Saking seringnya, Rasul pun mengira mereka akan mendapatkan warisan (HR al-Bukhari).
            Sikap ihsan tak hanya ditujukan kepada sesama manusia. Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan ihsan terhadap binatang. Rasulullah saw pernah mengisahkan tentang seorang wanita yang masuk neraka karena mengurung kucing dan tidak memberinya makanan. (HR Bukhari). Sebaliknya, beliau juga pernah bersabda, “Seorang wanita pelacur melihat seekor anjing di atas sumur dan hampir mati kehausan. Lalu wanita itu melepaskan sepatunya, dan mengikatnya dengan kerudungnya untuk mengambil air dari sumur (untuk memberi minum anjing tersebut). Karena perbuatannya itulah dosanya diampuni,” (HR Bukhari).
            Layaknya makhluk Allah, binatang pun harus diperlakukan dengan baik. Umar bin Khathab pernah sangat murka melihat seseorang yang menyeret seekor kambing dengan kasar. “Celakalah engkau! Mengapa berlaku kasar seperti itu? Tuntunlah dengan baik dan sembelihlah dengan benar,” ujar Umar. Ketika melihat seorang anak kecil sedang mempermainkan seekor burung, Umar segera membeli dan melepaskanya.
            Sikap ihsan terhadap binatang ini tak hanya dituntut kala ia masih hidup. Saat menyembelihnya pun kita diperintahkan berbuat ihsan. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat ihsan kepada segala sesuatu. Jika kamu membunuh hendaklah dengan cara yang ihsan. Jika kamu menyembelih, lakukanlah dengan cara yang ihsan; hendaklah menajamkan pisau dan menyenangkan hewan sembelihan itu,” (HR Muslim). Seperti terhadap hewan, kita pun diperintahkan untuk berlaku ihsan terhadap alam; memeliharanya agar tidak tercemar dan tetap indah untuk dinikmati.
            Tak kalah penting dari itu, seorang Muslim harus berlaku ihsan dalam pekerjaannya. Bagaimana? Ihsan dalam bekerja belum terwujud hanya dengan merampungkan suatu pekerjaan sesuai target. Jika seseorang berhasil merampungkan pekerjaan sesuai dengan tuntutan, dia belum bisa disebut muhsin. Ia baru bisa disebut adil. Sebab, seseorang boleh disebut muhsin manakala ia berhasil memenuhi lebih dari target yang diinginkan.
            Untuk mencapai tingkat ihsan ini seorang muslim harus tekun, rajin, disiplin dan cermat. Jika tidak, hasil pekerjaannya bukannya mencapai target yang diinginkan, tapi malah rendah dari itu. Merekalah yang disebut orang-orang yang zalim.
            Sangat ironis kalau melihat negara-negara yang selama ini kita sebut kafir, tapi profesionalisme mereka sungguh luar biasa. Sikap disiplin dan tepat waktu dijunjung begitu tinggi. Karenanya, tradisi jam karet yang selama  ini mewarnai hari-hari kita harus segera disudahi.
            Lebih dari itu semua, selaku hamba Allah, seorang muslim harus ihsan dalam beribadah. Seorang muslim belum bisa dikatakan ihsan kalau ia baru melaksanakan kewajiban. Selain kewajiban, ia juga sebaiknya mengerjakan amalan sunnah. Karenanya, selain shalat wajib yang lima kali dalam sehari semalam, kita juga dianjurkan mengerjakan shalat-shalat sunnah. Rasulullah saw sendiri hampir tak pernah luput dari shalat malam. Kebiasaan sebagian kaum muslimin yang sering menjeda pekerjaan kantornya dengan shalat dhuha atau membaca beberapa ayat al-Qur’an, merupakan tindakan positif yang bisa mengantarkan seseorang ke tingkat ihsan. 
            Dalam melaksanakan ibadah itu pun, seorang muslim belum bisa dikatakan berbuat ihsan kalau ibadahnya hanya terbatas pada penyempurnaan syarat dan rukun saja, tapi juga sunnah. Kebiasaan beberapa perkantoran yang selalu menggelar shalat berjama’ah bagi karyawannya, harus mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Jangan sampai kesibukan pekerjaan mengalahkan kita untuk berbuat ihsan.
            Sebenarnya, fitrah manusia sendiri sangat mencintai sikap ihsan, senang dengan sesuatu yang baik.   Orang yang berbuat ihsan tidak pernah takut kepada siapapun, kecuali hanya  kepada Allah. Pekerjaannya akan menjadi lebih lancar karena dilandasi sifat ikhlas, profesional dan tanpa beban. Ia akan mendapatkan kenyamanan lantaran bekerja bukan atas paksaan. Selain mendapatkan kepercayaan, baik dari atasan maupun orang sekitarnya, ia pun dicintai Allah. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang ihsan,” (QS al-Baqarah: 195).
Semoga kita termasuk orang yang mengikuti segala perkataan yang baik, dan melakukannya dengan ihsan, di mana saja.

sumber : 101 Butiran Dakwah karya Hepi Andi Bastoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar