Selasa, 22 September 2015

Seputar Panitia Qurban


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60
@andibastoni

1. Adakah Kepanitiaan Penyembelihan Hewan Qurban di Masa Rasulullah saw?
Kalau kita merujuk ke masa Rasulullah saw, kita tidak akan menemukan wujud kepanitiaan qurban seperti  sekarang. Kedudukan kepanitiaan ini pada dasarnya tidak punya landasan masyru'iyah khusus, baik al-Quran maupun Sunnah. Lantas, apakah kepanitiaan ini menjadi haram atau bid'ah?
Tentu tidak. Logikanya, keberadaan takmir masjid pun bid'ah karena tidak ada di masa Nabi saw. Jadi meski tidak ada rujukan resmi, namun keberadaan panitia penyembelihan hewan qurban ini jelas-jelas sangat diperlukan, karena sifatnya membantu orang-orang agar dapat melaksanakan penyembelihan hewan qurban.


2. Kedudukan Panitia Berbeda dengan Amil Zakat
Salah satu kesalahan yang terlanjur beredar di masyarakat adalah menyamakan status dan kedudukan serta fungsi panitia penyembelihan hewan qurban dengan amil zakat. Jelas sekali bahwa panitia qurban tidak sama dengan amil zakat. Kita menemukan banyak point perbedaan antara keduanya, sebagiannya adalah:

a. Amil Zakat Sudah Ada di Masa Nabi
Di masa Nabi saw, justru kepanitiaan zakat sudah ada dan memang diangkat secara resmi oleh Rasulullah saw. Bahkan jenisnya bukan sekadar kepanitiaan yang bersifat insidentil, melainkan instutusi atau lembaga resmi negara.
Sementara kita tidak menemukan dalil, baik dalam Quran atau Sunnah yang memerintahkan secara langsung pembentukan panitia qurban. Walaupun hukumnya boleh, tetapi kita tidak menemukan dasar masyru'iyahnya di masa lalu.
Karena itu, dalam kebanyakan kitab fiqih, kita nyaris tidak pernah menemukan bab yang secara khusus membahas tentang tugas dan wewenang panitia penyembelihan hewan qurban.

b. Amil Zakat Berhak Memungut
Rasulullah saw secara resmi mengangkat dan menugaskan para petugas resmi negara sebagai pemungut zakat. Mereka diberi kewenangan untuk menarik harta zakat dari para wajib zakat. Pihak-pihak yang membangkang dan menolak bayar zakat bisa dihukum dan hartanya boleh dirampas oleh petugas zakat resmi negara.
Sementara, panitia penyembelihan hewan qurban tidak bisa memungut atau memaksa orang untuk berqurban. Sebab secara hukum, kepanitiaan tidak punya dasar konstitusi yang jelas. Oleh karena itu tentu juga tidak punya kekuatan hukum untuk memaksa.
Selain itu, menyembelih hewan qurban itu hukumnya bukan kewajiban, tetapi sunnah. Kecuali mazhab Al-Hanafiyah yang mewajibkan, seluruh ulama (jumhur) sepakat bahwa hukumnya bukan wajib tetapi sunnah dengan segala variannya.

c. Amil Zakat Diberi Hak Mengutip Secara Syariah
Dalam hukum syariah, para petugas zakat secara resmi dan sah telah diberikan hak untuk mendapatkan fee, upah atau gaji tetap, yang sumbernya diambil dari harta zakat yang terkumpul. Al-Quran secara resmi menyebutkan dan menjamin bahwa para petugas zakat ini termasuk salah satu dari delapan asnaf. Para ulama menyebutkan, hak yang boleh menjadi jatah buat amil zakat adalah 1/8 bagian dari total harta zakat. Angka 1/8 bagian ini cukup besar, karena setara dengan 12,5 persen. Bila harta zakat yang terkumpul 8 milyar, maka jatah buat amil 1 miliar.
Namun sangat jauh berbeda hak-hak amil zakat dengan panitia qurban. Di Quran tidak pernah disebutkan masalah kepanitiaan penyembelihan hewan qurban. tentunya juga tidak ada 'jatah' khusus yang menjadi hak para anggota panitia.
Ada riwayat bahwa Rasulullah saw pernah meminta tolong kepada Ali bin Abi Thalib dan beberapa shahabat untuk membantu menyembelihkan hewan qurban. Kalau hal ini dianggap sebagai dasar dari kepanitiaan, silakan saja.
Namun harus dicatat bahwa sebagai 'panitia', ternyata Ali bin Abi Thalib dan para shahabat yang lain tidak pernah diberi 'jatah' atau uang jasa atas pekerjaannya menjadi panitia. Yang ada justru sebalinya, mereka malah nombok karena harus merogoh isi kantung sendiri guna membayar para jagal.

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ : نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا
Rasulullah saw memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri. (HR. Muslim).
Justru panitia qurban DIHARAMKAN mengutip, memotong atau mengambil 'fee', kalau sumbernya berasal dari tubuh hewan yang telah dijadikan sembelihan qurban.

3. Bolehkah Panitia Diberi Honor Atau Upah?
Sejak awal harus ditegaskan, kenapa seseorang merasa ingin menjadi bagian dari panitia penyembelihan hewan qurban? Kenapa kepanitiaan itu harus dibentuk? Apa yang menjadi dasar motivasinya? Apakah semata-mata ikhlas ingin membantu tanpa mengharapkan pamrih, ataukah memang mengharapkan dapat bagian?
Motivasi itu pada dasarnya sah-sah saja. Orang yang jadi panitia dan sama sekali tidak mengharapkan upah atau bagian apapun, tentu akan mendapatkan pahala di sisi Allah SWT. Karena walau pun dia tidak menjalankan ibadah penyembelihan hewan qurban, namun karena ikut membantu pihak yang menyembelih, tentu akan kebagian pahalanya juga, meski nilainya tentu tidak sebesar pemilik hewan.
Mereka yang jadi panitia dengan berharap agar dapat upah, pada dasarnya tidak bisa disalahkan juga. Sebab dia tentu sudah mengeluarkan banyak tenaga, pikiran, dan waktu, demi suksesnya kegiatan. Kalau untuk semua hal yang dilakukan itu dia berharap dapat upah, tentu kita tidak bisa menafikan.
Sebab para muadzdzin, para imam shalat lima waktu di masjid dan juga para guru mengaji, semua berhak mendapatkan upah dan gaji, walaupun apa yang mereka lakukan itu pada hakikatnya adalah ibadah. Namun kalau mereka mendapatkan imbalan atas jasa dan waktunya, syariat Islam tidak melarangnya. Bahkan jasa mengajarkan Al-Quran bisa dijadikan sebagai mahar atau maskawin.

4. Kalau Boleh Diberi Upah, dari Masa Sumber Uangnya?
Upah buat panitia itu boleh, wajar dan manusiawi. Tetapi yang harus dicatat dari masa sumber uangnya?
Jawabnya bahwa sumber uang buat upah itu boleh dari mana saja asalkan halal dan asalkan TIDAK DIAMBIL DARI DAGING atau bagian tubuh hewan qurban. Sebab kalau sumbernya dari hewan, maka hukumnya haram.

5. Sumber Keuangan Panitia yang Diharamkan
Kesalahan paling fatal yang selama ini dilakukan oleh banyak kepanitiaan adalah bahwa upah dan honornya diambilkan dari daging atau bagian tubuh hewan itu. Ada dua macam cara keliru yang terlanjur dilakukan.

a. Melebihkan Jatah Buat Panitia
Panitia diberi jatah khusus yang lebih banyak dari pada jatah buat orang-orang. Misalnya, jatah buat masyarakat satu kantung 0,5 Kg, sedangkan jatah buat panitia sebanyak 2 Kg atau empat kali lipat jatah masyarakat umum. Maka kelebihan jatah yang 1,5 Kg itu pada hakikatnya adalah upah. Jatah buat panitia 2 kg daging ini kalau dijadikan sebagai akad sejak awal, tentu hukumnya menjadi haram.

b. Menjual Bagian Tubuh dan Uangnya Dibagikan untuk Paniti
Cara kedua adalah dengan cara menjual kepala, kaki dan kulit hewan kepada pihak lain. Biasanya para jagal dan makelarnya memang datang untuk membelinya. Lalu semua itu dijual dan uangnya dibagi-bagi sebagai upah panitia. Alasannya, dari pada kepala, kulit dan kaki itu dibuang, mending dijual dan uangnya buat honor dan upah panitia.
Cara ini pun pada dasarnya sama, yaitu menjual daging dan bagian tubuh hewan qurban, padahal pemiliknya sudah mempersembahkannya kepada Allah. Tentu saja hukumnya menjadi haram dari dua sisi. Pertama, haram karena menjual apa yang sudah jadi milik Allah. Kedua, haram karena menjual barang yang bukan miliknya.

6. Mengapa Diharamkan Menjual?
Lalu mengapa diharamkan buat panitia atau jagal mendapat upah dari daging atau bagian tubuh hewan?
Jawabnya karena pada hakikatnya hewan yang telah diqurbankan itu sudah bukan lagi milik siapa pun, tetapi menjadi milik Allah SWT. Orang yang berqurban, ketika dia menyembelih sudah berikrar dan mempersembahkan hewan itu kepada Allah SWT. Maka status daging dan seluruh bagian tubuh lainnya sudah bukan lagi miliknya, tetapi menjadi milik Allah. Kalau sudah milik Allah, tidak boleh lagi diperjual-belikan atau dijadikan upah pembayaran.
Sebagai perbandingan, hewan qurban ini mirip dengan sebidang tanah yang diwakafkan dan bersertifikat. Dengan status wakaf itu, maka tanah itu sudah bukan lagi milik orang yang berwakaf, tetapi sudah menjadi milik Allah. Maka haram hukumnya menjual tanah wakaf. Baik pemilik tanah aslinya sebagai orang yang berwakaf (waqif), ataupun pengelola tanah wakaf (nadzir), keduanya sama-sama diharamkan memperjual-belikan tanah wakaf.
Demikian juga dengan panitia penyembelihan hewan qurban, mereka diharamkan menjual daging dan bagian-bagian tubuh hewan qurban, dan juga haram mengambil uangnya sebagai upah atau jasa.
Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa panitia jelas-jelas diharamkan menerima honor yang diambilkan dari bagian tubuh hewan. Kalau pun panitia harus diberi honor dan uang lelah, sumbernya tidak boleh dari bagian tubuh hewan yang sudah disembelih. Sumber dananya bisa diambilkan dari pemilik hewan di luar harga hewan, atau dari keuntungan panitia berjualan hewan, atau dari uang kas panitia lainnya.
Kalau panitia tidak boleh menerima upah yang sumbernya dari hewan qurban, apakah dengan demikian maka panitia diharamkan ikut makan daging yang telah disembelih?
Jawabnya tidak haram. Panitia tentu saja dibolehkan ikut makan dan menikmati daging hewan. Syaratnya, apa yang dimakan oleh para panitia itu bukan sebagai upah atau honor. Jadi panitia boleh ikut makan, selama judulnya bukan upah atau honor.
Kalau orang lain yang tidak ikut kerja boleh makan, masak panitia malah tidak boleh ikut makan? Bahkan orang kafir sekalipun dibolehkan ikut menikmati daging hewan qurban, masak panita yang justru beragama Islam malah haram memakannya?
Tentu tidak demikian cara kita memahaminya. Yang benar adalah bahwa siapa saja, termasuk yang jadi panitia, boleh ikut makan daging hewan qurban. Tidak peduli, apakah dia muslim atau bukan, panitia atau bukan, semua orang boleh ikut menikmati dagingnya.
Yang tidak boleh adalah menjadikan daging atau bagian tubuh hewan itu sebagai honor, alat pembayaran, upah, atau fee atas jasa-jasa penyembelihan dan sejenisnya.
Lalu apakah panitia tidak boleh menerima sekedar uang lelah atau honor?
Jawabnya panitia justru harus diberi uang lelah dan honor. Sebab panitia itu memang sudah menghabiskan waktu dan tenaga, maka wajar kalau mereka diberi upah secara profesional tapi bukan dari hewan qurban, baik fisiknya atau dari hasil penjualannya.

7. Panitia Bukan Pemilik Hewan Qurban, Dia Hanya Penerima Amanah
Kadang ada saja orang yang bikin-bikin alasan yang tidak benar. Misalnya, hewan-hewan itu sudah jadi 'milik' panitia, dan pemilik aslinya, yaitu orang yang berqurban, sejak awal sudah menyerahkan hewan-hewan itu kepada panitia. Maka status hewan-hewan itu sudah menjadi hak milik panitia. Dan sebagai pemilik yang sah, panitia dianggap berhak untuk menjualnya.
Tentu saja logika ini keliru. Tidak benar kalau dibilang bahwa panitia adalah pemilik hewan qurban. Sebab pemilik yang asli tidak pernah menyerahkan hewan itu sebagai hadiah atau pemberian cuma-cuma. Pemiliknya menyerahkan hewan kepada panita sebagai 'amanat' alias titipan. Dan sebagai pihak yang diberikan titipan, tentu tidak tiba-tiba menjadi pemilik.
Ibaratnya, kita memarkir kendaraan di tempat parkir valet. Meski kita serahkan kunci mobil kepada petugasnya, namun tidak berarti kita memberinya hadiah mobil. Petugas itu cuma diberi amanah untuk memarkirkan mobil kita di tempatnya. Itu saja dan tidak lebih. Petugas valet parking itu tidak pernah tiba-tiba berubah menjadi pemilik mobil titipan. Oleh karena itu dia tidak boleh menjual mobil itu kepada pihak lain, dan juga tidak boleh mempreteli onderdil seenaknya.

7. Masalah Jual Kulit dan Upah Penjagal
Masalah menjual kulit hewan qurban terdapat hadits khusus yang melarangnya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَاعَ جِلْدَ أُضْحِيَّتِهِ فَلاَ أُضْحِيَّةَ لَهُ
Barangsiapa menjual kulit hasil sembelihan qurban, maka tidak ada qurban baginya,[1] Maksudnya, ibadah qurbannya tidak ada nilainya.
Jadi, menjual kulit hewan qurban terlarang. Ini pendapat mayoritas ulama berdasarkan hadits di atas. Inilah pendapat yang lebih kuat karena berpegang dengan zhahir hadits (tekstual hadits) yang melarang menjual kulit sebagaimana disebutkan dalam riwayat al-Hakim.
Namun, ada juga yang membolehkan asalkan ditukar dengan barang (bukan dengan uang). Ini pendapat Imam Abu Hanifah. Pendapat ini terbantah karena menukar juga termasuk jual beli. Pendapat ini juga telah disanggah oleh Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm (2/351). Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Aku tidak suka menjual daging atau kulitnya. Barter hasil sembelihan qurban dengan barang lain juga termasuk jual beli.”[2]
Imam Abu Tsaur bahkan membolehkan secara mutlak sebagaimana disebutkan oleh Imam an-Nawawi.[3] Pendapat ini jelas lemah karena bertentangan dengan zhahir hadits yang melarang menjual kulit.
Solusinya: Hendaklah kulit tersebut diserahkan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang membutuhkan, bisa kepada fakir miskin atau yayasan sosial. Setelah diserahkan, terserah mereka mau manfaatkan untuk apa. Kalau yang menerima kulit tadi mau menjualnya kembali, maka itu dibolehkan. Namun hasilnya tetap dimanfaatkan oleh orang  yang menerima kulit qurban tadi dan bukan dimanfaatkan oleh shohibul qurban atau panitia qurban (wakil shohibul qurban).
Adapun mengenai upah bagi penjagal juga sudah dijelaskan dalam hadits dari Ali bin Abi Thalib:

أَمَرَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَقُومَ عَلَى بُدْنِهِ وَأَنْ أَتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُودِهَا وَأَجِلَّتِهَا وَأَنْ لاَ أُعْطِىَ الْجَزَّارَ مِنْهَا قَالَ « نَحْنُ نُعْطِيهِ مِنْ عِنْدِنَا ».
“Rasulullah memerintahkanku untuk mengurusi unta-unta qurban beliau. Aku mensedekahkan daging, kulit, dan jilalnya (kulit yang ditaruh pada punggung unta untuk melindungi dari dingin). Aku tidak memberi sesuatu pun dari hasil sembelihan qurban kepada tukang jagal. Beliau bersabda, “Kami akan memberi upah kepada tukang jagal dari uang kami sendiri”.”[4]
            Dari hadits ini, Imam an-Nawawi mengatakan, “Tidak boleh memberi tukang jagal sebagian hasil sembelihan qurban sebagai upah baginya. Inilah pendapat ulama-ulama Syafi’iyah, juga menjadi pendapat Atho’, An Nakho’i, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ishaq.”[5]
Namun sebagian ulama ada yang membolehkan memberikan upah kepada tukang jagal dengan kulit semacam Hasan Bashri. Beliau mengatakan, “Boleh memberi jagal upah dengan kulit.”  An Nawawi lantas menyanggah pernyataan tersebut, “Perkataan beliau ini telah membuang sunnah.”[6]
Sehingga yang tepat, upah jagal bukan diambil dari hasil sembelihan qurban. Namun shahibul qurban hendaknya menyediakan upah khusus dari kantongnya sendiri untuk tukang jagal tersebut bukan dari penjualan kulit qurban


[1] HR Al-Hakim. Beliau mengatakan bahwa hadits ini shahih. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat Ibnu ‘Ayas yang didha’ifkan oleh Abu Daud. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Shahih at-Targhib wa at-Tarhib No. 1088.
[2] Lihat pendapat Imam asy-Syafi’i ini dalam Tanwirul ‘Ainain bi Ahkamil Adhohi wal ‘Idain, hal. 373.
[3] Syarh Muslim, an-Nawawi, 4/453
[4] HR. Muslim no. 1317
[5] Syarh Muslim, an-Nawawi, 4/453
[6] Syarh Muslim, an-Nawawi, 4/453

Tidak ada komentar:

Posting Komentar