Rabu, 05 November 2014

HUKUM WARIS ILMU YANG TERABAIKAN


Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
0817-1945-60
Follow: @andibastoni


Pentingnya Ilmu Mawarits
Jika hukum-hukum syari’at, seperti shalat, zakat, haji dan yang lainnya dijelaskan secara global oleh Allah diperinci oleh Rasulullah saw dalam Sunnah, sedangkan hukum mawarits diterangkan oleh Allah secara terperinci di dalam Al-Qur’an.
Sebagai contoh, Allah berfirman: “Dirikanlah shalat dan tunaikan zakat…” [Al-Baqarah : 43]
“Dan bagi Allah atas manusia untuk berhaji ke Baitullah, bagi siapa yang mampu” [Ali-Imran : 97], baru kemudian Sunnah menjelaskan tata caranya dengan detil.
Adapun pembagian harta warisan, Allah telah menjelaskan dalam surat an-Nisa. Allah sendiri yang langsung membagi warisan demi kemaslahatan mahluk-Nya. Allah menetapkan anak laki-laki memperoleh dua bagian dari perempuan, tidak ada seorang pun yang boleh menyangkal hukum dan peraturanNya, karena Dia-lah Dzat yang Maha Adil dan Bijaksana.


Pembagian Harta Warisan Antara Adat dengan Islam
Pada zaman Arab Jahiliyah, harta warisan berpindah ke tangan anak sulung si mayit, atau kepada saudaranya atau pamannya sepeninggalnya. Mereka tidak memberikan kepada wanita dan anak-anak. Alasan mereka, karena wanita dan anak-anak tidak bisa memelihara keamanan dan tidak bisa berperang.
Sebagaimana yang berlaku pada kedua putri Sa’ad bin Rabi, bahwa paman mereka mengambil semua harta peninggalan ayah mereka. Ketika permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah saw, maka beliau memerintahkan pamannya tersebut untuk memberi kemenakannya dua pertiga, dan ibu mereka seperdelapan, dan sisanya barulah dia ambil.
Ibnu Katsir berkata, “Orang-orang jahiliyah menjadikan seluruh pembagian kepada laki-laki, tidak kepada perempuan. Oleh karena itu, Allah memerintahkan mereka untuk berbagi sama dalam pembagian, kemudian melebihkan di antara dua kelompok dengan menjadikan laki-laki memperoleh dua bagian perempuan. Hal itu, karena laki-laki menangggung biaya nafkah, tanggungan, beban bisnis dan usaha, serta menanggung kesusahan, Maka, layak dia memperoleh dua kali lipat dari bagian perempuan.”[1]
Pada sebagian suku di Indonesia, terutama yang mengambil nasab kepada ibu, misalnya di Minangkabau, mereka memberlakukan pembagian harta warisan kepada perempuan. Karena tugas yang semestinya diemban oleh laki-laki, ternyata harus dibebankan kepada perempuan, mulai dari pengasuhan orang tua ketika lanjut usia, sampai pada pemberian uang saku untuk kemenakan dan famili.
Karena itu, suami dianjurkan (baca: diharuskan) tinggal di rumah orang tua perempuan. Merupakan aib bagi suami, jika ia tinggal satu rumah dengan orang tuanya sendiri, jika memang terpaksa harus tinggal di rumah orang tua. Bahkan di sebagian daerah Minang, laki-laki dibeli dengan uang sebagaimana dibelinya barang. Setelah itu, sang suami harus lebih banyak bertandang ke rumah orang tua istri daripada ke rumah orang tuanya sendiri.
Fakta seperti ini berlawanan dengan adat jahiliyah Arab yang menempatkan laki-laki sangat dominan dan diuntungkan. Sebaliknya, pada adat Minang ini, laki-laki selalu dirugikan. Dikatakan oleh seorang ulama Minang, Buya Hamka dalam salah satu karangannya: ”Jika ada laki-laki yang paling sengsara, maka dialah laki-laki Minang. Bagaimana tidak, sewaktu dia masih kecil yang seharusnya dia mendapatkan nasihat dan keputusan dari orangtuanya dalam semua urusannya dari sekolah hingga menikah, itu semua diambil alih oleh mamaknya (paman dari pihak ibu), ketika dia telah menikah dia menjadi semanda di rumahnya sendiri, yang duduk harus di bawah dan di tepi-tepi, ketika sudah tua renta dan mulai pula sakit-sakitan, dia harus siap-siap untuk menyingkir karena pembagian rumah dan harta hanya untuk anak perempuan, maka terpaksalah dia tidur di surau dan kalau makan harus pergi ke lapau (kedai nasi).”
 Ada pula pemikiran yang menyimpang, dengan mengusung isu persamaan gender yang awalnya didengungkan para orientalis barat, kemudian di negeri kita dikembangkan oleh orang-orang Islam sendiri yang sekulit dan satu bahasa dengan kita. Pendapat aneh tersebut ialah, tentang pembagian mawarits harus disama-ratakan antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan pembagian waris antara laki-laki dan perempuan –menurut mereka- tidak adil. Pendapat seperti ini telah lama dan banyak dilontarkan tokoh-tokoh Islam yang terkontaminasi oleh pemikiran orientalis, yang kemudian diikuti dan dikembangkan oleh kelompok yang menamakan diri Jaringan Islam Liberal.
 Tentu saja, anggapan aneh seperti di atas tidak terbukti. Karena syari’at Islam memberlakukan keadilan dan keseimbangan, dia sampaikan semua hak kepada pemiliknya. Nabi saw bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memberi setiap yang mempunyai hak akan haknya. Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”[2]
Jika adat jahiliyah di luar syariat Islam hanya melihat kemaslahatan orang-orang kuat, maka Islam menjaga kemaslahatan orang-orang lemah, karena mereka yang layak dikasihi dan dilindungi. Disabdakan oleh Rasulullah saw : “Sesungguhnya engkau lebih baik meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, daripada engkau biarkan mereka miskin meminta-minta kepada manusia.”[3]
Islam juga tidak mengabaikan orang-orang kuat dan tidak menyia-nyiakan yang lemah. Setiap orang yang telah memenuhi semua syarat dan tidak ada penghalang yang menghalanginya, maka dia berhak memperoleh warisan, baik dia besar maupun kecil, laki-laki maupun perempuan, lemah maupun kuat.
Jika adat jahiliyah hanya mendahulukan kepentingan orang yang dapat memberikan manfaat, tidak akan mendapatkan warisan kecuali yang ikut serta dalam berperang dan menjaga kehormatan, atau yang menjaga orang tua dan yang menjaga tanah persukuan, maka dalam Islam tidak menapikan andil yang lain. Bahkan Allah menyatakan, ayah-ayah kalian dan anak-anak kalian tidak akan mengetahui mana yang lebih banyak manfaatnya.[4]
Dari paparan sekilas ini, kita dapat menyimpulkan ciri khas pembagian mawarits dalam Islam sebagaimana berikut.
1.      Ketetapan warisan merupakan peraturan yang bersifat sosial dan mengikat bagi siapa saja yang telah bersaksi bahwa Allah sebagai Rabb-nya dan Muhammad sebagai rasul.
2.      Allah menempatkan setiap pemilik hak pada posisinya yang layak.
3.      Dengan pembagian yang adil sesuai syariat tersebut, berarti Islam telah berusaha memperkuat jalinan persaudaraan dan memperkokohnya dengan tali silaturrahim. Allah berfirman, ” Dan orang-orang yang punya jalinan darah sebagian mereka lebih berhak dari sebagian yang lainnya, merupakan ketetapan dalam Kitab Allah.”[5]
4.      Islam sangat mempedulikan kepemilikan individu, sehingga mendorong seseorang untuk berusaha sekuat tenaga, dengan harapan orang-orang yang dia cintai akan ikut merasakan manisnya hasil usahanya tersebut. Hal seperti ini tidak didapatkan pada masa jahiliyah Arab dan hukum adat.
5.      Pembagian harta waris berdasarkan kebutuhan. Semakin seseorang membutuhkan kepada harta warisan, semakin banyak pula dia memperolehnya. Oleh karena itu, laki-laki memperoleh bagian lebih besar, karena laki-laki lebih membutuhkannya daripada perempuan.

Ancaman Jika Tidak Menggunakan Hukum Islam dalam Pembagian Warisan
Orang yang tidak memakai hukum mawarits dalam pembagian hartanya, sama halnya dengan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Ancaman terhadap mereka sama dengan ancaman terhadap siapa saja yang tidak berhukum dengan Allah. Firman Allah.

 وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” [Al-Maidah : 44]

 وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

"Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zhallim” [Al-Maidah : 45]

 وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik” [Al-Maidah : 47]
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Pernyataan tegas (dalam permasalahan ini) ialah, barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah disertai pengingkaran, sedangkan ia mengetahui bahwa Allah menurunkan hukum tersebut, sebagaimana yang diperbuat oleh Yahudi, maka dia telah kufur. Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah karena lebih condong kepada hawa nafsu tanpa pengingkaran (terhadap hukum tersebut), maka dia telah berbuat zhalim atau fasik.”[6]
Dalam masalah pembagian harta waris, secara khusus Allah menyebutkan ancaman bagi orang yang menetapkan pembagian harta waris apabila tidak berdasarkan hukum Allah. Allah berfirman setelah ayat mawarits.

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ(13)وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

            “(Hukum-hukum mawarits tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar ketentuan-ketentuanNya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya dan baginya siksa yang menghinakan.” [An-Nisa 13-14]
Ayat di atas menerangkan, Allah menjanjikan surga bagi orang yang membagi harta waris sesuai ketentuannya. Sebaliknya, Allah mengancam setiap orang yang melampaui batas, tidak memperdulikan atau berpaling, dan menambah atau mengurangi dengan adzab yang sangat pedih.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْخَيْرِ سَبْعِينَ سَنَةً فَإِذَا أَوْصَى حَافَ فِي وَصِيَّتِهِ فَيُخْتَمُ لَهُ بِشَرِّ عَمَلِهِ فَيَدْخُلُ النَّارَ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الشَّرِّ سَبْعِينَ سَنَةً فَيَعْدِلُ فِي وَصِيَّتِهِ فَيُخْتَمُ لَهُ بِخَيْرِ عَمَلِهِ فَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : وَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ ( تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ) إِلَى قَوْلِهِ ...عَذَابٌ مُهِينٌ

”Seseorang beramal dengan amal orang yang shalih selama tujuh puluh tahun. Kemudian ketika berwasiat, ia melakukan kezhaliman dalam wasiatnya. Maka Allah akan menutup amalannya dengan seburuk-buruk amalan, hingga membuatnya masuk neraka. Sesungguhnya, seseorang beramal dengan amal orang fasik selama tujuh puluh tahun, kemudian dia berlaku adil dalam wasiatnya, niscaya ia dapat menutup amalnya dengan amal yang terbaik, sehingga dia masuk surga.” Abu Hurairah berkata: “Bacalah kalau kalian mau.” Kemudian beliau membaca ayat di atas.[7]



[1] Tafsir Ibnu Katsir 1/433
[2] HR Abu Dawud 3565, Tirmidzi 2/16, Ibnu Majah 2713, Baihaqi 6/264, Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata “sanadnya hasan”
[3] HR Bukhari, Bab Wasiat/2, dan Muslim, Bab Wasiat/5
[4] Lihat an-Nisa ayat 11
[5]QS Al-Anfaal ayat 75
[6] Zaadul Masir 2/366
[7] HR Abu Dawud, 2867, Ibnu Majah 22/3/2703 dan Ahmad /447/7728. Ahmad Syakir berkata, “Sanadnya Shahih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar