Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiAndiBastoni
"Kami telah memilihmu, wahai Amirul Mukminin.
Kami ridha terhadapmu."
Aturlah
urusan kami dengan karunia dan berkah Allah.”Suara itu terus menggema. Dukungan
atas diangkatnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah menggantikan Sulaiman
bin Abdul Malik, terus mengalir. Rakyat secara aklamasi mengangkat laki-laki
sederhana itu sebagai khalifah. Ketika suara dukungan itu mulai senyap dan
suasana agak tenang, Umar bin Abdul Aziz memuji Allah. Ia bershalawat pada
Nabi Muhammad saw, hamba dan utusan Allah.
Khalifah
Kedelapan Bani Umayyah itu mulai mengeluarkan kata-kata bernasnya. Ia menganjurkan
orang-orang supaya bertakwa, mengajak supaya berzuhud dari kehidupan
dunia, mensugesti mereka kepada kehidupan akhirat dan mengingatkan pada
kematian. Intonasi suaranya mampu melunakkan hati yang keras, menjadikan
air mata durhaka bercucuran deras keluar dari lubuk hati pemiliknya
sehingga terpateri dalam lubuk hati
pendengarnya.
“Wahai
manusia, barangsiapa yang taat kepada Allah, dia wajib ditaati. Barangsiapa
yang bermaksiat pada Allah, tak seorang pun yang boleh taat padanya. Wahai
manusia, taatilah aku selama menaati Allah dalam menangani urusan kalian. Jika
aku bermaksiat pada Allah, kalian tidak usah taat kepadaku,” ujar Umar.
Kemudian
ia turun dari mimbar untuk me-nuju rumahnya dan masuk ke kamarnya. Ia benar-benar
ingin beristirahat dari kelelahan yang amat sangat, usai “mengepalai” proses
pemakaman khalifah sebelumnya, Sulaiman bin Abdul Malik. Ia ingin sedikit
menghela napas dan melemaskan otot dan pikirannya. Benar-benar sejenak. Tidak
lama.
Namun
baru saja Umar bin Abdul Aziz meletakkan punggungnya di tempat tidur,
putranya, Abdul Malik yang waktu itu baru menginjak usia tujuh belas tahun,
datang dan berkata, “Apa yang ingin ayah lakukan?”
Umar
menjawab, “Wahai anakku, aku ingin tidur sejenak. Sungguh tak tersisa lagi
tenagaku ini.”
“Apakah
ayah masih ingin tidur sejenak sebelum mengembalikan hak-hak orang yang
dizalimi?” kata putranya lagi.
“Aku
tidak tidur semalaman karena mengurus pamanmu, Sulaiman. Nanti kalau datang
waktu Zuhur, aku akan shalat bersama orang-orang dan akan mengembalikan hak-hak
mereka yang dizalimi, insya Allah.”
Sang
putra berkata lagi, “Siapa yang menjaminmu, wahai Amirul Mukminin kalau
usiamu bisa sampai Zuhur?”
Ucapan
ini membakar semangat Umar dan melenyapkan rasa kantuk kedua matanya. Kekuatan
dan kesegaran badannya yang sebelumnya lelah, bangkit. Ia pun berkata pada
putranya, “Mendekatlah kemari, wahai putraku!”
Sang
putra pun mendekat dan Umar langsung memeluk dan menciumi keningnya seraya
berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah melahirkan dari keturunanku orang
yang menolongku dalam menjalankan agama.”
Umar
berdiri dan memerintahkan pengawalnya supaya mengumumkan pada orang-orang,
“Barangsiapa yang merasa teraniaya, maka hendaklah dia mengajukan perkaranya.”
Potongan
kisah di atas hanyalah salah satu dari penggalan kehidupan Umar bin Abdul Aziz.
Mungkin banyak orang yang mampu hidup sederhana di masanya, tapi sedikit yang
mau merasakan penderitaan rakyat. Banyak yang bisa hidup zuhud, menghindari
gemerlap dunia yang terus menggoda. Tapi, sangat sedikit yang bisa turut
langsung merasakan kesengsaraan orang-orang susah.
Jeritan
masyarakat kadang terlalu kecil bagi telinga para pejabat untuk didengar.
Tangisan orang-orang miskin seringkali hilang begitu saja ditelan dengkuran
para wakil rakyat. Telinga mereka terlalu kecil untuk mendengar keluhan rakyat
kecil.
Hidup
sederhana di tengah gelamor dunia dan empuknya kekuasaan memang sulit. Tapi
justru amat lebih sulit lagi untuk mampu merasakan penderitaan si miskin.
Lebih sulit dari itu adalah turut berempati—tak sekadar simpati—terhadap
kesengsaraan orang-orang susah.
Paling
tidak ada dua pelajaran menarik yang diberikan Umar bin Abdul Aziz dan putranya
pada kita. Pertama, betapa pentingnya orang-orang seperti Abdul Malik
bin Umar bin Abdul Aziz. Orang seperti dia suatu saat bisa menjadi motivator kebaikan
dan pada saat yang sama menjadi pengerem untuk tidak tergelincir pada
kejahatan. Ia menjadi penasihat untuk melakukan amar ma’ruf dan pengingat dari
melakukan perbuatan munkar.
Pada
masa sekarang sosok seperti Abdul Malik bin Umar bin Abdul Aziz sangat
dibutuhkan. Bagaimana pun tinggi tingkat ketakwaan dan kezuhudan seorang
pemimpin, ada kalanya ia lalai. Di kala itulah ia memerlukan orang yang
meluruskan jalan kepemimpinannya.
Kedua, kerendah-hatian Umar bin
Abdul Aziz dalam menerima nasihat putranya. Meski dalam keadaan sangat lelah
setelah mengebumikan khalifah pendahulunya, Umar bin Abdul Aziz tak mau
menunggu sampai “sekadar” datangnya waktu Zuhur. Sebab, yang menantinya bukan
urusan pribadi, tapi menyangkut hajat rakyat banyak.
Sungguh
jauh berbeda dengan sikap pemimpin dan wakil rakyat saat ini. Kasus molornya
penundaan DPR menyikapi kenaikan BBM merupakan bukti nyata ketidak-berpihakan
mereka terhadap rakyat. Ironisnya, tarik ulur keputusan itu juga diwarnai
dengan tindakan memalukan. Padahal, mereka adalah wakil rakyat yang seharusnya
menjadi corong aspirasi masyarakat. Kasus ricuhnya anggota dewan pada Rabu
(16/03) menjadi tontonan buruk yang teramat memalukan.
Kasus
seperti ini bukan kali yang pertama. Tak heran kalau pada 18 November 1999 saat
berlangsung sidang pleno, Gus Dur mengatakan bahwa DPR seperti Taman
Kanak-kanak. Lebih berani lagi, saat anggota DPR deadlock ketika rapat
perebutan “kekuasaan” antar kubu Koalisi Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan
(PDIP, Golkar dan PDS), Gus Dur dengan ungkapan pedasnya berkata, “DPR bukan
taman kanak-kanak lagi, tetapi sudah melorot menjadi playgroup.”
Presiden
yang mengeluarkan keputusan itu sendiri adalah orang yang paling bertanggung jawab.
Seperti diungkap oleh beberapa anggota dewan yang pro dengan keputusan itu,
kenaikan BBM memang adalah bom waktu yang suatu saat harus diledakkan. Tapi,
seharusnya bom itu diledakkan pada masanya sehingga tidak mengakibatkan
kerusakan. Sebelum diledakkan, perangkatnya harus disiapkan lebih dahulu. Jika
tidak, ia bisa jadi “pembunuh” peledak itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar