Banyak subhat yang beredar di sekeliling kita tentang pernikahan. Mulai masalah adat, kasta, selera, biaya dan juga hal lainnya. Tentu, hal itu tidak menjadi pokok ketika tidak disandarkan kepada hukum Islam yang selama ini menjadi patokan kita dalam menikah dan kehidupan lainnya.
Kita hidup di zaman yang semakin senja. Ketika zina dimudahkan, sementara menikah dipersulit sedemikian rupa. Ini bukan kisah-cerita-dongeng belaka. Ini fakta, demikian adanya.
Dalam masyarakat, mereka yang tidak punya pacar dianggap aneh. Tidak laku, tidak pandai bergaul, dan julukan negatif lainnya. Sementara mereka yang memilih segera menikah karena Allah, dicap aneka rupa dengan julukan keburukan. Baik dengan sebutan, “kecil-kecil doyan kawin”, “tidak punya masa depan karena buru-buru menikah,” dan sebagainya.
Alhasil, ketika ada laki-laki yang mengajak anak perempuannya jalan-jalan malam minggu, banyak di antara orang tua kita yang justru bangga dan mengijinkan keduanya untuk ke luar rumah sampai larut malam.
Hal ini diperparah dengan sistem dan oknum yang ada. Untuk menikah saja, banyak korupsi di dalamnya. Mulai biaya murah yang menjadi melangit, proses yang dipersulit, dan sebagainya.
Ditambah lagi dengan adanya budaya yang dipaksakan. Misal, harus ada bawaan meja makan, ranjang lengkap dengan kasurnya, almari baju ukuran 1x2 meter, kambing usia sekian tahun sekian ekor, aneka jenis sayuran, buah-buahan, uang tunai sekian puluh juta, dan sebagainya.
Belum lagi dengan selera orang tua yang seringkali dipaksakan. Sebab anak laki-lakinya memiliki tinggi 165cm, maka dia memberikan syarat kepada anaknya itu untuk mencari calon istri yang minimal tingginya sama.
Kemudian ditambah dengan harus berwajah putih, mengkilat, hidung mancung sekian senti, mata mirip orang cina, rambut lurus-panjang-hitam dan memukau serta bentuk tubuh langsing tanpa gelembung lemak.
Andai ada satu syarat yang luput, maka satu keputusannya: anda belum berhasil, silahkan coba lagi.Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un...
Lantas, apa yang harus kita lakukan? Setidaknya, kita mulai dari diri sendiri.
Rendahkanlah egomu. Buat apa istri cantik fisik tapi buruk hati dan akhlaknya? Memang, jika keduanya cantik, maka hal itu adalah karunia yang tak didapatkan oleh semua orang.
Apa juga gunanya pasangan kaya-raya jika martabat dirimu justru direndahkan sebab tak sama dalam kasta terkait harta? Bukankah pernikahanmu bukan untuk satu atau tiga hari? Bukankah ini adalah ikatan suci yang harus kau pertahankan hingga tetes darah terakhir yang kau miliki?
Bagi kita yang menjadi orang tua, hendakanya bersikap bijak. Bukankah kita pernah muda juga? Saat itu, ketika hasrat menikah sudah di ujung ubun-ubun, bukankah kita ingin agar ia disegerakan tanpa embel-embel ribet lainnya?
Disebutkanlah sebuah kisah. Khalifah al-Mahdi tengah beristirahat di Mekah selepasnya menunaikan Ibadah Haji. Seketika itu, ada seorang pemuda yang berteriak lantang, “Aku jatuh cinta.”
Sang khalifah memanggil pemuda tersebut dan bertanya, “Apa masalahmu?” Pemuda yang dimabuk cinta itu berkata memelas, “Aku mencintai putri pamanku. Tapi aku tidak diijinkan menikahinya sebab ibuku bukan orang Arab.”
Khalifah pun memanggil bapak dari putri tersebut, kemudian berkata, “Lihatlah putri-putri Bani Abasiyah. Banyak dari ibu mereka yang bukAn orang Arab. Lantas, apa salah mereka?”
Yang ditanya hanya bingung, tanpa sedikitpun berkalam. Kemudian Khalifah melanjutkan, “Nikahkan putrimu dengan pemuda ini. Terimalah ini.” Sembari menyerahkan uang sejumlah 20 ribu dirham.
Kemudian Khalifah melanjutkan, “10 ribu dirham untuk aib yang kau maksud sebab menikahkan putrimu dengan orang non-Arab. 10 rbu dirham sisanya untuk mahar.”
Begitulah seharusnya pemimpin. Pun, kita sebagai orang tua. Sebab kita adalah pemimpin bagi anak-anak kita. Mudahkanlah mereka yang hendak menikah karena Allah. Kelak, Allah pasti akan memudahkan dan memberkahi semua aktivitas kita, aamiin.
Penulis : Pirman
Redaktur Bersamadakwah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar