Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @Hepiandibastoni
Suatu ketika Raja Romawi mengirim sepucuk surat kepada Muawiyyah bin Abi Sufyan, penguasa Daulat
Umayyah kala itu. Isinya, “Di antara adat kebiasaan raja-raja kami adalah saling
menghibur, dengan jalan mengirimkan sesuatu yang “aneh” untuk diadu. Apakah
Anda bersedia?”
Surat itu dibalas Muawiyah dengan
jawaban yang bernada mengizinkan. Kemudian, raja Romawi itu mengutus dua lelaki
“aneh” kepada Muawiyyah. Yaitu, seorang
laki-laki jangkung, dan seorang laki-laki kuat perkasa.
Bersamaan dengan itu, raja Romawi mengirim juga sepucuk surat yang isinya,
“Apakah di kerajaan Anda ada orang yang bisa menandingi kedua orang ini, baik
tinggi maupun kekuatan?”
Muawiyyah berkata kepada Amr bin Ash, “Untuk menandingi orang tinggi itu,
saya telah mendapatkan lawannya. Bahkan, mungkin lebih tinggi. Dialah Qais bin
Sa’ad bin Ubadah. Tetapi orang kuat untuk menandingi yang satunya lagi, saya
perlu pendapatmu!”
“Ada dua orang kuat untuk
menghadapinya. Namun, kedua orang itu tak dekat dengan Anda. Mereka adalah
Muhammad al-Hanafiyah (salah seorang putra Ali bin Abi Thalib) dan Abdullah bin
Zubair,” jawab Amr.
“Muhammad al-Hanafiyah tak jauh
dengan kita (tidak memusuhi,red),” kata Muawiyyah.
“Tetapi, apakah dengan kedudukannya
yang terhormat di mata umat itu dia bersedia diadu dengan orang kuat Romawi
tersebut di hadapan khalayak ramai?” tanya Amr.
“Dia akan melakukan itu. Bahkan,
lebih dari itu, kalau dianggapnya untuk kemuliaan Islam,” lanjut Muawiyyah.
Muawiyyah pun mengundang Qais bin
Saad dan Muhammad al-Hanafiyah untuk datang menghadapnya. Seperti harapan
Muawiyah, keduanya setuju. Setelah semuanya berkumpul, pertandingan pun dimulai.
Pertama-tama Qais bin Saad melawan
utusan kerajaan Romawi itu. Ia menang. Tubuhnya jauh lebih jangkung dibanding
lawannya. Kemudian dilanjutkan pertandingan adu kekuatan antara Muhammad
al-Hanafiyah melawan orang kuat dari Romawi tersebut. Muhammad al-Hanafiyah
berkata kepada penerjemah, “Katakan kepada
orang itu, apakah ia akan duduk dan saya tegak, lalu masing-masing
saling berusaha untuk menegakkan lawan atau mendudukannya? Atau, kalau ia mau,
dia tegak dan saya duduk?”
Orang Romawi itu memilih duduk. Muhammad al-Hanafiyah memegang tangan
lawannya dan mengangkatnya sampai berdiri tegak. Sebaliknya, orang Romawi itu
tak mampu mendudukkannya.
Orang Romawi itu belum puas. Dia
tegak dan Muhammad bin al-Hanafiyah disuruhnya duduk. Sama seperti sebelumnya,
masing-masing memegang tangan lawannya. Kemudian Muhammad al-Hanafiyah menarik
kedua tangan lawannya dengan keras sehingga dia merasa seakan-akan lengannya
hampir lepas dari persendian. Tanpa bisa berbuat banyak, ia pun dengan mudah
ditaklukkan Muhammad al-Hanafiyah. Dengan demikian, kedua utusan Romawi itu pun kalah. Keduanya kembali
ke negerinya dalam keadaan terhina.
Muhammad al-Hanafiyah memang diabadikan sejarah sebagai orang kuat yang
bertubuh kekar. Putra Ali bin Abi Thalib, yang lahir menjelang berakhirnya pemerintahan Abu Bakar
ash-Shiddiq ini tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya, Ali bin Abi
Thalib. Ia langsung mendapat pendidikan dari sang ayah. Dari ayahnya dia
belajar ibadah dan kezuhudan. Dari ayahnya pula dia mewarisi keperkasaan dan
keberanian, serta kefasihan dan kepandaian berpidato. Muhammad al-Hanafiyah
tumbuh menjadi pemuda gagah perkasa di medan laga, dan ahli pidato yang mengagumkan. Di samping itu, ia pun seorang
ahli ibadah yang tekun dan khusyu’, khususnya bila malam telah larut dan semua
mata telah terpejam.
Sejak muda, ia diterjunkan ke
berbagai peperangan bersama ayahnya. Ia mendapat gemblengan yang sangat keras
dan ketat dari ayahnya melebihi kedua saudaranya Hasan dan Husain. Dengan demikian, ia menjadi orang yang pantang menyerah dan pantang mundur.
Suatu ketika ia ditanya, “Mengapa ayahmu selalu menerjunkanmu ke
tempat-tempat yang berbahaya dan membebanimu dengan beban-beban yang berat
melebihi kedua saudaramu Hasan dan Husain?”
Ia menjawab, “Karena kedua kakak saya diposisikan ayah seperti kedua biji
matanya. Sedangkan saya seperti kedua belah tangannya. Ayah menjaga kedua
matanya dengan kedua tangannya.”
Di tengah gencarnya serangan musuh-musuh Islam saat ini, kaum Muslimin
hendaknya “rajin” melahirkan sosok seperti Muhammad al-Hanafiyah. Jika kita
bandingkan keadaan fisik umat Islam saat ini dengan kondisi Rasulullah saw dan
para sahabatnya di mata musuh, sungguh jauh berbeda. Saat ini, baik (fisik)
jasmani maupun ruhani, umat Islam kalah. Tubuh mereka kalah pendek dan kekar
dibanding orang-orang kafir. Dengan demikian, seandainya diajak duel pun, kita tak
cukup berani untuk menghadapinya.
Hal ini tak selalu disebabkan oleh faktor keturunan. Bisa jadi karena
makanan yang kita konsumsi memang kadar gizinya rendah. Makanan sampah di Barat
(junk food) menjadi makanan favorit kita. Makanan cepat saji (fast food)
yang kalau di Barat umumnya dikonsumsi oleh para supir dan kalangan berekonomi
menengah ke bawah, di Indonesia makanan tersebut dianggap makanan berkelas
tinggi. Untuk menyantapnya, orang-orang Barat biasanya hanya membutuhkan waktu
lima menit, sedangkan di Indonesia bisa berjam-jam.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang banyak menghasilkan aneka
buah dan sayuran. Tapi, sari buah dan sayuran itu “dibuang” keluar dan
dinikmati orang-orang Barat. Anak-anak Muslim kita hanya diberi “rasanya”.
Minuman rasa jeruk, strewberi, melon, nanas yang menjadi kebanggaan
anak-anak Muslim Indonesia, boleh jadi hanya dicampur dengan kulit buahnya
saja. Selebihnya tak ada kandungan gizi. Padahal, sebagian besar buah-buahan
tersebut dihasilkan oleh petani Indonesia.
Di sisi ruhani pun demikian. Isu terorisme yang terus digaungkan, cukup
membuat umat Islam ketakutan dan ciut nyalinya sebelum berperang. Generasi muda
selalu dicekam rasa takut. Akibatnya, kekuatan ruhani mereka pun tak bisa
berkembang.
Padahal, yang menyebabkan kemenangan kaum Muslimin di beragam medan
peperangan adalah kondisi jasmani dan ruhani mereka yang memang kuat. Saat
diajak duel, mereka selalu keluar sebagai pemenang. Bahkan, Rasulullah saw
sendiri dikenal sebagai sosok yang jago gulat dan menang ketika diajak adu
kekuatan.
Karenanya, menjadi kewajiban kita untuk melahirkan generasi kuat, baik
jasmani maupun ruhani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar