Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiandiBastoni
Ia adalah
putri Abdullah bin al-Haris bin Uwaimir bin Naufal al-Anshariyah. Dalam
lembaran sejarah, ia lebih dikenal dengan Ummu Waraqah binti Naufal. Ia
merupakan shahabiyat yang memiliki ghirah (semangat) tinggi
terhadap Islam. Ummu Waraqah bercita-cita untuk mati syahid di jalan Allah.
Karena itu, ia menemui Rasulullah saw dan meminta izin untuk diperkenankan ikut
ke medan Badar. “Ya Rasulullah, izinkan aku berangkat bersama Anda, sehingga
aku dapat mengobati orang-orang yang terluka, merawat orang yang sakit, dan
agar Allah mengaruniaiku syahadah (mati syahid).”
Rasulullah saw menjawab, “Sesungguhnya Allah akan
mengaruniaimu syahadah. Tapi tinggallah kamu di rumahmu, karena engkau
adalah syahidah (orang yang akan mati syahid).”
Ummu Waraqah termasuk di antara mereka yang ahli
membaca al-Qur’an. Karena itu, Nabi saw memerintahkannya untuk menjadi imam bagi
para wanita di rumahnya. Dan, Rasulullah saw menyiapkan seorang muadzin bagi
mereka.
Disebutkan dalam riwayat Abu Daud dari hadits
Abdurrahman bin Khalad bahwa Rasulullah saw mengunjungi Ummu Waraqah di
rumahnya, kemudian memberikan seorang muadzin. Abdurrahman berkata, “Aku
melihat muadzin tersebut seorang laki-laki yang sudah tua.” (Nisaa’ Haular
Rasuuli, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Mushthafa Abu an-Nashr asy-Syalabi).
Kisah tersebut menjadi “landasan” kaum liberal untuk
mengesahkan wanita menjadi imam. Padahal, kisah di atas jelas menyebutkan
bahwa Ummu Waraqah hanya menjadi imam di rumahnya (ahla daariha). Tak
ada riwayat satu pun yang menyebutkan tentang adanya wanita yang menjadi imam
shalat Jum’at yang sekaligus khatib.
Karenanya, tindakan nyeleneh Aminah Wadud yang
memimpin shalat Jum’at di Gereja Katedral Saint John The Divine, New York
(18/03) benar-benar mengejutkan dan keluar dari rel syar’i. Mengejutkan karena
beberapa hal. Pertama, Aminah Wadud menjadi imam pada shalat Jum’at. Kedua,
ia juga yang menjadi khathib. Ketiga, adzan dikumandangkan oleh
seorang wanita bernama Sueyhla al-Attar yang tak mengenakan jilbab. Keempat,
ketika pelaksanaan shalat berlangsung, jamaah laki-laki dan perempuan sejajar
dalam satu shaf. Kelima, di antara jamaah perempuan ada yang tak mengenakan jilbab. Keenam,
pelaksanaan shalat Jum’at dilakukan di gereja.
Para ulama di dunia Islam, seperti Syaikhul Azhar
Sayyid Thanthawi dan Yusuf Qaradhawi memberikan kritik keras terhadap peristiwa
itu. Majma’ al-Fiqhi al-Islami (MFI), badan internasional dalam hukum
Fiqh Islam, mengecam keras aksi
tersebut. MFI menilai tindakan Wadud ini sebagai bid’ah menyesatkan.
Berdasarkan berbagai nash dalam hadits Rasulullah saw, MFI memutuskan, bahwa
shalat Wadud dan kawan-kawannya tak memenuhi syarat dan mereka harus menggantinya
dengan shalat Zuhur. Wakil Direktur Pusat Kebudayaan Islam di New York,
Muhammad Shamsi Ali, juga menyatakan bahwa ibadah Jum’at versi Wadud itu tidak
sah.
Secara dalil-dalil syar’i, tindakan Wadud memang
konyol. Namun, tentu saja, bagi Wadud dan kawan-kawan, berbagai argumentasi
fiqh yang diajukan oleh para ulama terkemuka
itu tak dipedulikan. Sebab, mereka sudah dijejali paham ‘gender equality’
ala Barat yang sekular. Menurut mereka, laki-laki dan wanita harus dipandang
sejajar. Tak boleh ada manusia yang diberi status hak istimewa atas dasar jenis
kelamin. Yang menjadi dasar adalah kemampuan. Jika wanita lebih bagus bacaan
al-Qur’annya, maka ia lebih berhak menjadi imam. Kepala rumah tangga tak
didasarkan pada jenis kelamin, tapi berdasarkan kemampuannya. Demikian
pendapat mereka.
Sebenarnya, cara berpikir Wadud tidak konsisten. Ia
protes karena tak diperbolehkan menjadi imam dan khatib shalat Jum’at. Tetapi,
dia tidak protes, mengapa wanita tak boleh shalat saat haidh atau nifas.
Harusnya, sesuai dengan perkembangan teknologi pengobatan, wanita tak perlu
lagi dilarang meninggalkan shalat ketika haidh atau nifas. Toh, sudah
ada alat yang bisa menjaga kebersihan wanita saat haidh sehingga bisa melakukan
shalat.
Sepanjang sejarah Islam, kaum Muslim memahami konsep
‘kesetaraan’ antara laki-laki dan wanita. Telah lahir ribuan ahli fiqh wanita.
Sejumlah guru para imam mazhab dan ulama hadits, juga wanita. Seorang ahli fiqh
wanita terbesar adalah Aisyah. Pendapatnya tak berbeda dengan para sahabat.
Para ulama telah memahami konsep
‘equality’ dan ‘diskriminasi’ laki-laki dan wanita. Mereka tak memandang
penempatan wanita di shaf belakang laki-laki sebagai satu bentuk penindasan.
Karenanya, konsep Wadud dan kawan-kawannya tentang
‘equality’ bukan dari Islam. Mereka mengadopsi konsep lain yang digunakan
untuk meneropong Islam. Wajar jika hasilnya amburadul. Buktinya, hingga kini
Wadud belum menghasilkan sebuah cara pandang keilmuan yang sistematis dalam
metodologi pengambilan (istinbath) hukum Islam. Bisa diduga, Wadud
takkan konsisten dengan gagasannya. Kita lihat, apakah setiap Jum’at dia menjalankan
ibadah shalat Jum’at sesuai gagasannya.
Seharusnya, untuk mengokohkan citra dirinya sebagai pejuang ‘gender
equality’, Wadud dan kawan-kawan
bisa mengusulkan agar dunia menghapus semua diskriminasi antara laki-laki dan
wanita. Dengan demikian, tak ada lagi pembedaan kategori laki-laki dan wanita
dalam bidang olah raga. Tak ada lagi pembedaan toilet laki-laki dan wanita. Tak
ada lagi hak cuti haidh dan melahirkan untuk wanita. Sebab, semua itu bentuk
diskriminasi dan pelecehan wanita.
Di zaman seperti saat ini, hal yang tak terpikirkan
sebelumnya, bisa saja terjadi. Seperti diungkapkan Adian Husaini dalam
tulisannya di website Hidayatullah saat menyikapi masalah ini, jika
Wadud menolak diskriminasi gender dalam soal ibadah, tapi menerima diskriminasi
gender dalam olah raga dan ‘pertoiletan’, maka kita patut mencermati. Kasus
shalat Jum’at Wadud di Manhattan ini bukan soal fiqh. Tetapi masalah pola pikir
dan kejiwaan.
Yang dicari oleh orang-orang seperti Aminah Wadud,
bukan kebenaran tapi popularitas. Ia ingin semua orang tahu bahwa ia bisa khutbah
Jum’at dan bisa menjadi imam. Ini juga yang dicari para penganut liberalisasi
di negeri kita. Hanya saja, selain popularitas, para pelacur agama di negeri
ini juga memburu dolar. Mereka rela menghancurkan agamanya, demi mendapat
kucuran dana dari negara asing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar