Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @hepiandibastoni
Damaskus sedang tersenyum manis menyambut datangnya musim
semi. Berbangga dengan kesuburan tanah dan taman-tamannya yang indah berseri.
Hari itu Muawiyah bin Abi Sufyan tengah bersiap menerima para utusan di
istananya. Ketika kesempatan pertama dibuka, Ummul Hakam binti Abi Sufyan,
kakak perempuannya, segera menyelinap di balik tabirnya. Dari situ dia bisa
mendengarkan pembicaraan-pembicaraan dalam majelis kakaknya tentang beragam
hal.
Tak seperti
biasanya, kali ini Ummul Hakam mendapati tamu kakaknya membawa suasana tegang
dan menggetarkan. Dia mendengar kakaknya berkata, “Demi Allah wahai Ahnaf,
setiap kali aku ingat perang Shiffin dan betapa Anda memihak pada Ali bin Abi
Thalib kemudian meninggalkan kami, rasa kesal di hatiku serasa tak terobati.”
Lawan bicaranya
tak kalah tegas menjawab, “Demi Allah wahai Mu’awiyah, rasa benci pun masih
melekat di hati kami. Pedang-pedang yang kami pakai untuk melawan Anda masih
ada di tangan. Bila Anda maju selangkah kami akan maju sepuluh langkah. Bila
Anda maju dengan berjalan, kami akan maju dengan berlari. Demi Allah, kami ke
sini bukan untuk mengemis atau gentar akan murka Anda. Kami datang untuk
menguatkan hubungan yang retak di antara kita, menyatukan pendapat dan
menyatukan kaum Muslimin.” Setelah itu tamu tersebut mohon diri.
Rasa penasaran
muncul di benak Ummul Hakam. Disingkaplah tabir penutup untuk melihat siapa
yang bersikap “kasar” terhadap khalifah itu. Ternyata dia seorang yang bertubuh
kecil, berkepala botak, dagunya miring, matanya cekung dan kedua kakinya
bengkok ke dalam. Tiada kekurangan jasad yang dimiliki manusia melainkan dia
mendapatkannya.
Ummul Hakam
menoleh pada kakaknya dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, siapakah orang itu?
Berani benar mengancam khalifah di isitananya.”
Mu’awiyah menghela napas panjang lalu berkata,
“Begitulah, jika dia sedang marah niscaya seratus ribu penduduk Bani Tamim akan
ikut marah tanpa tahu sebabnya. Dia adalah Ahnaf bin Qais pemuka Bani Tamim dan
pahlawan bangsa Arab.”
Ahnaf bin Qais nama laki-laki itu. Ia termasuk generasi
tabiin yang lahir pada tahun ketiga Hijriyah. Walaupun hidup semasa dengan
Rasulullah saw, tapi ia tak pernah bertatap muka. Namun demikian, ia sempat
berguru pada beberapa sahabat senior semisal Umar bin Khaththab. Keutamaan
Ahnaf semakin sempurna karena ia pernah didoakan Rasulullah saw secara khusus.
Ahnaf bin Qais pernah berguru secara langsung dan
intensif selama satu tahun penuh pada Umar bin Khaththab. Tak heran kalau
kemudian Ahnaf mewarisi keberanian Umar. Meski tubuhnya kecil, tapi
keberaniannya laur biasa.
Keberanian inilah yang
mesti diwariskan pada generasi muda sekarang. Kalau rasa permusuhan Yahudi dan Nasrani begitu besar (QS al-Baqarah: 120), seharusnya kaum Muslimin—minimal—mempunyai
perasaan yang sama terhadap mereka. Anak-anak harus diajarkan bagaimana merasa
“sakit” kalau saudara-saudaranya dibantai. Mereka harus dididik agar mau
berkorban untuk saudaranya yang membutuhkan.
Militansi dan kebanggaan sebagai
Muslim tak mungkin lahir begitu saja. Ia harus ditanamkan sejak dini.
Keteladanan orang tua menempati urutan pertama. Anak tak bisa diharapkan akan
mempunyai jiwa militan jika orang tuanya penakut.
Perjalanan dakwah Rasulullah saw dan para sahabat
sungguh sarat keteladanan. Dalam beberapa pertempuran di masa Rasulullah tak
sedikit yang diikuti oleh “anak di bawah umur”. Pada perang Uhud, Rasululullah
saw mengizinkan Rafi’ bin Khudaij dan Samrah bin Jundub untuk ikut. Padahal
keduanya masih kecil. Dalam beberapa kesempatan lain Rasulullah sering membawa
kedua cucunya, Hasan dan Husain mengikuti berbagai pertemuan. Bahkan, yang
berhasil membunuh Abu Jahal dalam perang Badar adalah dua anak kecil: Muadz bin
Amr bin Jamuh dan Muawwadz bin Afra’.
Karena itu, ruh jihad dan sense of war harus
ditanamkan sejak dini. Termonologi jihad harus sering diperdengarkan pada
anak. Sehingga, mereka tidak alergi atau asing dengan kata itu. Tentu saja
penjelasannya harus diberikan sesuai perkembangan anak.
Selain menanamkan hal-hal yang normatif seperti
itu, anak juga bisa dibekali sarana bermain yang mendidik. Misalnya, menunggang
kuda, memanah, atau berenang. Orang tua juga harus melibatkan anak dalam
kegiatan sosial. Di antaranya, membangun masjid, mengumpulkan dana untuk kaum
Muslimin yang sedang tertindas, ikut mendoakan mereka dan memberikan pemahaman
bahwa ukhuwah islamiyah tak dibatasi tempat atau negara. Selain itu, kumandang
nasyid dan lagu-lagu perjuangan juga membantu menumbuhkan ruh jihad anak.
Anak perlu dibiasakan dan diajarkan hidup dalam
realitas sosialnya. Orang tua tak boleh mengekang kreativitas anak dengan
mengurungnya di rumah dan melarangnya bermain hanya karena takut terpengaruh
oleh orang lain. Justru, sang anak yang seharusnya menjadi “guru” dan teladan
bagi teman-temannya.
Kalau anak biasa dikekang, ia mungkin berani dalam
rumah, tapi penakut saat bergaul dengan teman-temannya. Ketika berinteraksi
dengan teman-temannya, anak belajar banyak hal. Ia belajar bagaimana
melaksanakan kewajiban, dan mempertahankan haknya. Tanpa interaksi dan tanpa
pergaulan, tak mungkin anak bisa menjadi pemberani.
Dalam aspek yang lebih tegas lagi, tak hanya
militansi dan ketegaran mempertahankan hal yang harus dipupuk, tapi juga
keberanian anak melarang kemungkaran dan menegakkan yang makruf. Sejak dini anak
harus dibiasakan alergi jika melihat kemungkaran. Anak harus berani mengatakan
“tidak” kalau diajak teman-temannya bermain kelereng dengan taruhan, misalnya.
Sang anak mesti berani juga melarang teman-temannya menyabung ayam. Anak harus
dididik anti kemungkaran sejak kecil.
Namun demikian, tata krama, etika, dan adab tetap
harus diperhatikan. Sehingga, militansi yang terbentuk tetap dalam batas-batas
tatakrama dan etika Islami. Jika militansi dan kebanggaan pada agama ini tak
dipupuk, kita akan mendapatkan generasi pengecut yang gampang dipengaruhi orang
lain. Ini akan berpengaruh ketika dia dewasa kelak. Dia akan menjadi pejabat
pengecut yang mudah disetir orang lain. Jika memimpin negara, ia akan jadi
pemimpin gamang yang tak punya pendirian.
Saatnya kita lahirkan generasi Umar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar