Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @Hepiandibastoni
Tuntutan dari beberapa sahabiyat menyebabkan Asma’ binti
Yazid mempercepat langkahnya. Ia bergegas menemui Rasululullah saw untuk
mengadukan permasalahan yang dia dan teman-temannya hadapi. Saat itu,
Rasulullah saw sedang duduk bersama beberapa sahabatnya.
Di hadapan Rasulullah saw, Asma’ berkata, “Demi ayah dan
ibuku sebagai tebusan bagimu, engkau utusan Allah, sedang aku utusan para
wanita Muslimah yang ada di belakangku. Mereka mengatakan seperti yang
kukatakan, yang berpendapat seperti pendapatku. Sesungguhnya, Allah mengutusmu
pada kaum laki-laki dan wanita. Kami beriman kepadamu dan mengikutimu. Kami
para wanita terkungkung, terpingit di rumah, tempat menyalurkan syahwat bagi
kaum laki-laki dan mengandung anak-anak mereka. Bisakah kami menyamai kaum
lelaki dalam pahala wahai Rasullullah?”
Rasulullah saw menghadapkan wajah kepada para shahabatnya dan bersabda,
“Apakah kalian pernah mendengar perkataan seorang wanita, yang pertanyaannya
tentang agama lebih baik dari wanita ini?”
Para sahabat diam. Rasulullah saw menengok ke arah Asma’
binti Yazid dan bersabda, “Kembalilah wahai Asma’. Ajarilah para wanita yang
ada di belakangmu bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian terhadap
suaminya, mencari ridhanya dan mengikuti persetujuannya,sama dengan semua
pahala kaum laki-laki yang engkau sebutkan tadi.”
Asma’ kembali sambil bertahlil dan bertakbir, karena merasa gembira dengan
apa yang disampaikan Rasulullah saw.
Ada dua hal yang menarik
untuk diteladani dari cuplikan percakapan Rasulullah saw dan Asma’ di atas. Pertama,
keberanian Asma’ menyampaikan pendapatnya di hadapan Rasulullah saw. Ia
merupakan contoh mengagumkan dari kalangan wanita yang berani bertanya pada
Rasulullah saw.
Di kalangan ahli sejarah, sosok Asma’ binti Yazid dikenal
sebagai wanita yang memiliki logika baik, fasih dan kata-katanya memikat. Ia
juga sangat mahir berpidato. Tak heran karena kemahirannya mengola kata,
sejarawan menjulukinya khathibatun-nisa’, Orator Para Wanita.
Karena kelebihannya ini, ia sering menjadi utusan para
wanita untuk menemui Rasulullah saw. Dia sering menemui Rasulullah saw untuk
bertanya tentang hal-hal detil yang jarang ditanyakan orang lain. Seperti
diriwayatkan Aisyah, Asma’ pernah bertanya pada Rasulullah saw tentang cara
bersuci bagi wanita yang haidh.
Asma’ tidak merasa malu menanyakan hal yang memang sangat
perlu diketahui para wanita. Sehingga, Aisyah memberikan pujian pada para
wanita Anshar, dengan berkata, “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, yang
tidak terhalang rasa malu untuk menanyakan masalah agama dan memahaminya.”
Dengan demikian, tak heran kalau Asma’ binti Yazid termasuk Muslimah yang
paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah saw setelah ibu Aisyah dan Ummu
Salamah. Boleh jadi hal ini disebabkan karena keberaniannya mengunjungi rumah
Rasulullah saw. Bahkan, di antara ulama seperti Abu NuaiI menyebutkan bahwa
Asma’ binti Yazid pernah menjadi pembantu Rasulullah saw.
Hanya saja keberanian yang
dicontohkan Asma’ binti Yazid ini bukan keberanian membabi buta. Tuntutan yang
dia ajukan bukan sembarang keinginan. Permintaan yang dikeluhkan pada
Rasulullah saw tak dilandasi hawa nafsu. Tapi, semata untuk mendapatkan ridha
Allah. Cara yang ia tempuh adalah menyaingin kaum laki-laki dalam mengumpulkan
pahala.
Kedua, kebesaran jiwanya menerima jawaban Rasulullah saw. Ini merupakan salah
satu bentuk ketaatannya terhadap Nabi saw. Ketaatan ini bukan kali yang
pertama. Bahkan, sejak dia menyatakan diri masuk Islam.
Ketika membaiat Rasulullah saw, Asma’ mengenakan dua buah
gelang emas. Saat melihat dua gelangku itu, Rasulullah saw bersabda, “Lepaskan
dua gelangmu itu, wahai Asma’! Apakah engkau tidak takut sekiranya Allah
mengenakan gelang dari api neraka kepadamu?”
Asma’ binti Yazid segera melepaskan gelang itu dan tak peduli siapa yang
mengambilnya. Benar. Kebahagiaan tidak terletak pada perhiasan dan harta benda,
tapi terletak pada ketakwaan dan iman yang hakiki, yang gambarannya tampak
ketika dia membuang dua buah gelangnya itu jauh-jauh, agar terhindar dari api
neraka.
Para Muslimah sekarang
mesti meneladani sosok seperti Asma’ binti Yazid ini. Takdirnya sebagai wanita
tidak menghalanginya untuk berkeinginan mendapatkan pahala seperti yang dicapai
kaum laki-laki. Ternyata caranya tak sesulit yang dibayangkan. Ternyata, untuk
mendapatkan pahala seperti yang diraih kaum laki-laki tak harus melakukan
seperti yang dilakukan kaum Adam.
Dari sini juga diketahui
bahwa tuntutan Asma’ terhadap Rasulullah saw benar-benar demi mendapatkan
pahala. Bukan untuk menyaingi kiprah laki-laki. Ketika Rasulullah saw
menyatakan bahwa untuk mendapatkan pahala seperti laki-laki bisa dengan berbuat
baik pada suami, Asma’ merasa puas. Ia tak menuntut apa-apa lagi karena memang
tak ada yang ia inginkan selain ridha Allah dan surga-Nya.
Kendati demikian, bukan berarti Asma’ diam begitu saja
dan merasa cukup dengan apa yang dijanjikan Rasulullah saw. Ia banyak terlibat
dalam berbagai peristiwa penting dan dia ikut bergabung dalam jihad bersama
Rasulullah saw.
Dalam perang Khandaq, Asma’ mengirimkan makanan kepada
Rasulullah saw. Ia juga pergi bersama pasukan kaum Muslimin ke Khaibar. Ketika
Rasulullah saw wafat, sahabiyah ini tak menghentikan jihadnya. Pada tahun
ketiga belas Hijriyah, dia ikut pergi ke Syam untuk mengambil peranannya dalam
Perang Yarmuk, dengan menyediakan makanan bagi pasukan, memberi minum para
prajurit yang kehausan dan mengobati mereka yang terluka.
Ibnu Katsir menyebutkan, “Para wanita Muslimah pada hari itu berhasil
membunuh sejumlah musuh dari pasukan Romawi. mereka juga memukuli
prajurit-prajurit Muslim yang mundur, seraya berkata, ‘Hendak pergi ke mana
kalian? Apakah kalian akan membiarkan kami ditawan orang-orang kafir?’”
Dengan ragam kemuliannya
ini, tak heran kalau ia termasuk di antara mereka yang dijanjikan masuk surga.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Muslim dan Tirmidzi, Rasulullah pernah
menyebutkan bahwa mereka yang ikut perang Badar dan perjanjian Hudaibiyah
takkan masuk neraka. Dan, Asma’ binti Yazid termasuk di antara mereka yang mengikuti
dua peristiwa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar