Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @Hepiandibastoni
Sore itu matahari memancarkan
sinarnya. Cahayanya menerpa bagian atas Ka’bah yang berdiri kokoh. Beberapa
sahabat Rasulullah saw yang masih hidup dan para pembesar tabi'in kala itu,
melakukan thawaf di sekeliling Ka'bah. Gema takbir dan pekik tahlil menggaung,
mengharumkan suasana yang penuh kesucian.
Tak
jauh dari salah satu sudut Ka’bah, empat orang pemuda yang mempunyai nasab
terhormat, duduk sambil bercengkerama. Pakaian mereka menyerbakkan wewangian
bagai kepakan sayap merpati yang berterbangan di sekitar Ka’bah. Keempat pemuda
itu adalah Abdullah, Mush'ab, Urwah (ketiganya putra Zubair bin Awwam) dan
Abdul Malik bin Marwan.
Terjadi
perbincangan ringan di antara pemuda-pemuda ini. Salah seorang di antara mereka
berkata, "Hendaklah masing-masing dari kita mohon pada Allah apa yang
ingin dia cita-citakan."
Khayalan
mereka pun terbang bebas di alam nan luas. Angan-angan mereka berputar-putar di
taman-taman harapan nan hijau. Abdullah bin Zubair berkata, "Aku ingin
menguasai Hijaz dan memegang khilafah."
Mush'ab berkata, "Kalau aku,
ingin menguasai dua Irak (Kufah dan Bashrah) sehingga tak ada orang yang
menyaingiku."
Sedangkan Abdul Malik bin Marwan
berkata, "Jika Anda berdua hanya puas dengan hal itu, maka aku takkan puas
kecuali menguasai dunia dan memegang kekhilafahan setelah Muawiyah bin Abi
Sufyan."
Sementara itu, Urwah bin Zubair
terdiam. Ia tak berbicara satu kalimat pun. Saudara-saudaranya menoleh ke
arahnya dan berkata, "Apa yang kamu cita-citakan, wahai Urwah?"
Dia
menjawab, "Mudah-mudahan Allah memberkahi kalian terhadap yang kalian
cita-citakan dalam urusan dunia. Sedangkan aku hanya ingin menjadi seorang alim
yang amil (berilmu dan mengamalkan ilmunya). Orang-orang belajar Kitab Allah,
Sunnah Nabi dan hukum-hukum agama kepadaku. Aku mendapatkan pahala di akhirat
dengan ridha Allah dan mendapatkan surga-Nya."
Waktu
pun berjalan begitu cepat. Allah mengabulkan permohonan hamba-Nya. Abdullah bin
Zubair dibai'at menjadi khalifah setelah kematian Yazid bin Muawiyah (Khalifah
Kedua Bani Umayyah). Dia pun menguasai kawasan Hijaz, Mesir, Yaman, Khurasan
dan Irak, seperti cita-citanya. Kemudian dia dibunuh di sisi Ka'bah tak jauh
dari tempat dia pernah bercita-cita tentang hal itu.
Mush'ab
bin Zubair pun menguasai pemerintahan Irak sepeninggal saudaranya, Abdullah.
Namun dia juga dibunuh dalam mempertahankan kekuasaannya tersebut.
Demikian
pula Abdul Malik bin Marwan. Ia memangku jabatan khalifah setelah ayahnya
wafat, dan di tangannya kaum Muslimin bersatu setelah Abdullah bin Zubair dan
saudaranya, Mush'ab, terbunuh. Abdul Malik menjadi penguasa terbesar di
masanya.
Urwah
bin Zubair yang dilahirkan setahun sebelum berakhirnya kekhilafahan Umar
al-Faruq, pun mencapai cita-citanya. Dia menjadi ulama besar dan termasuk tujuh
di antara fuqaha Madinah di masanya. Seperti yang dia cita-citakan, orang-orang
berduyun-duyun datang menemuinya. Ada yang ingin belajar al-Qur’an, hadits dan
bertanya tentang hukum Islam. Bahkan, yang mendatanginya bukan hanya rakyat
biasa, tapi juga pejabat.
Umar
bin Abdul Aziz pernah mendatanginya. Di hadapan Urwah dan tokoh Madinah kala
itu, Umar berkata, “Aku tak ingin memutuskan sesuatu tanpa pendapat kalian,
atau pendapat orang yang hadir dari kalian di sini. Jika kalian melihat
seseorang menyakiti orang lain, atau mendengar suatu kezaliman dilakukan oleh
pegawaiku, demi Allah, aku meminta agar kalian melaporkannya padaku.”
Urwah
bin Zubair benar-benar menyatukan ilmu dan amal. Dia sering berpuasa di kala
hari demikian teriknya, dan shalat di kala malam gelap gulita. Ia selalu
membasahi lisannya dengan dzikir kepada Allah. Dia juga selalu tekun membaca
al-Qur’an. Diceritakan, setiap hari, dia membaca seperempat al-Qur'an dengan
melihat ke mushaf. Kemudian membacanya dalam shalat malam hari dengan hapalan.
Kebiasannya itu tak pernah dia tinggalkan hingga wafat kecuali satu hari saat
ia pingsan.
Urwah
bin Zubair seorang dermawan, pema'af dan pemurah. Di antara contoh
kedermawanannya, dia mempunyai sebuah kebun yang paling luas di seantero Madinah.
Airnya nikmat, pohon-pohonnya rindang dan kurma-kurmanya tinggi. Dia memagari
kebunnya selama setahun untuk menjaga agar terhindar dari gangguan binatang dan
keusilan anak-anak. Dan, jika sudah datang waktu panen, buah-buahnya siap
dipetik, dia menghancurkan kembali pagar kebunnya supaya orang-orang mudah
memasukinya dan mengambil buah-buahan di dalamnya.
Di
antara pelajaran menarik dari kisah Urwah bin Zubair dan saudara-saudaranya
tersebut adalah peranan cita-cita. Cita-cita ibarat kompas yang mengarahkan
laju perjalanan hidup seseorang. Usaha, motivasi dan semangat kerja seseorang
turut dipengaruhi oleh cita-citanya. Semangat hidup seorang anak yang sejak
kecil bercita-cita ingin meneruskan pendidikan sampai ke bangku kuliah, berbeda
dengan anak yang cita-citanya hanya ingin tamat SMU.
Ibarat
perlombaan lari, cita-cita adalah garis finish. Semakin jauh garis finish yang
ditentukan, semakin besar juga motivasi dan usaha yang disiapkan. Semangat
seorang pelari yang menargetkan garis finishnya 40 km, berbeda dengan yang
hanya menargetkan 20 km. Ketika keduanya sama-sama mencapai km ke-15, pelari
yang menargetkan 20 km tentu sudah merasa kepayahan. Motivasi dan semangat yang
disiapkan tak sebesar pelari yang menargetkan 40 km. Untuk mencapai cita-citanya
ia hanya membutuhkan perjalanan 5 km lagi. Sedangkan pelari yang menargetkan 40
km masih harus mempersiapkan semangat dan motivasi besar. Ia masih menyisakan
lebih dari separuh perjalanan lagi yang mesti ia tempuh.
Begitulah cita-cita. Karenanya,
Islam menganjurkan kita untuk bercita-cita setinggi mungkin. “Gantungkanlah
cita-citamu setinggi langit,” demikian nasihat yang sering kita terima dari
orang tua. Bahkan, cita-cita itu boleh lebih dari satu dan bersifat “abstrak”.
Kalau boleh dibedakan, cita-cita Abdullah bin Zubair, Mush’ab bin Zubair dan
Abdul Malik bin Marwan bersifat nyata, yaitu jabatan. Berbeda dengan cita-cita
Urwah yang sedikit bersifat “abstrak”: ada tapi seolah tak tersentuh. Cita-cita
Urwah tak berbatas. Ia ingin menjadi orang berilmu yang mengamalkan ilmunya. Ia
ingin surga.
Begitulah hendaknya kita
bercita-cita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar