ilustrasi Abdulloh bin Ubay |
Oleh : Hep Andi Bastoni/0817194560
IG : @Hepiandibastoni
Menjelang terbit fajar, Rasulullah saw melanjutkan perjalanan. Setelah tiba di asy-Syauth, beliau dan para sahabatnya melakukan shalat Shubuh. Tempat ini tak begitu jauh dari bukit Uhud. Dengan demikian, antara pasukan kafir Quraisy yang berjumlah tiga ribu orang dan kaum Muslimin yang hanya seribu orang dapat saling memandang.
Di tempat itulah Abdullah bin Ubay, gembong munafik Madinah, berkhianat. Bersama tiga ratus prajuritnya, ia memisahkan diri dari pasukan. Alasannya, “Kami tak tahu, mengapa kami membunuh diri kami sendiri?” Maksudnya, ia memisahkan diri karena Rasulullah saw tak menyetujui pendapatnya yang menginginkan tetap berada di Madinah, bukan menyongsong musuh di medan Uhud.
Tentu, penyebab penarikan itu bukanlah seperti yang dia ungkapkan. Kalau benar alasan karena tak setuju dengan pendapat Nabi, tentu sejak awal ia sudah menarik diri. Abdullah bin Ubay ingin menciptakan kekacauan dalam pasukan kaum Muslimin dan berharap kaum Muslimin akan meninggalkannya dan berbalik mengangkatnya sebagai pemimpin. Ia juga berharap, tindakannya berkhianat di tengah perjalanan akan menjatuhkan mental kaum Muslimin.
Hampir saja sang munafik itu berhasil mewujudkan keinginannya. Dua kelompok, yaitu Bani Haritsah dan kabilah Aus dan Bani Salmah dan Khazraj, hampir saja menarik diri karena ketakutan. Allah menolong mereka dan menenangkan kembali kedua kelompok itu setelah mengalami kegoncangan. Tentang kedua kelompok ini, Allah berfirman “(ingatlah) ketika dua golongan dari kamu ingin (mundur) karena takut, padahal Allah adalah penolong bagi kedua golongan itu. Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang beriman itu bertawakal, “ (QS Ali Imran: 122).
Abdullah bin Haram, ayah Jabir bin Abdullah, berusaha mengingatkan orang-orang munafik tersebut terhadap kewajiban mereka pada saat yang genting itu. Abdullah bin Haram mencela dan menganjurkan mereka untuk kembali bergabung lagi dengan mengatakan, “Marilah berperang di jalan Allah, atau pertahankanlah negerimu!”
Mereka menjawab, ”Seandainya kami mengetahui bahwa kalian akan berperang, niscaya kami tidak akan pulang.”
Beginilah jawaban mereka sebagai penghinaan kepada Nabi saw dan para sahabat, yang mereka anggap tak mengerti strategi perang. Mendengar jawaban itu, Abdullah bin Haram meninggalkan mereka seraya berkata, “Semoga Allah menjauhkan kalian, wahai musuh-musuh Allah. Allah akan mencukupkan Nabi-Nya dari kalian.”
Berkenaan dengan orang-orang munafik ini Allah berfirman, “Dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka dikatakan, “Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankan (dirimu).’ Mereka berkata, “Sekiranya kami mengetahui akan terjadi peperangan, tentu kami mengikuti kamu. Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan. Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan,” (QS Ali Imran: 167).
Setelah terjadi pengkhianatan orang-orang munafik, Rasulullah saw mengerahkan sisa pasukan yang berjumlah tujuh ratus prajurit untuk melanjutkan perjalanan. Perang Uhud dicatat sejarah.
Berkurangnya sepertiga pasukan tak melemahkan kekuatan kaum Muslimini. Kalau pasukan panah yang berada di bukit Rumat tak melupakan nasihat Rasulullah saw, wajah sejarah akan nampak lain. Kaum Muslimin tentu keluar sebagai pemenang.
Sosok seperti Abdullah bin Ubay selalu lahir dalam lembaran masa. Ia ada untuk mewarnai sejarah. Ia ada untuk menguji keteguhan mereka yang berjuang dengan ikhlas.
Ciri khas kelompok ini adalah kemampuan mereka mengubah-ubah wajah. Pagi jadi penolong, sore jadi pecundang. Hari ini jadi pembela, keesokan harinya jadi pembunuh. Begitulah wajah orang-orang munafik. Menggunting dalam lipatan, menyusup dalam barisan dan mendompleng di tengah perjuangan.
Pada masa sekarang wujud kegiatan mereka bisa beragam. Di panggung politik, mereka menjadi petualang ulung dan kutu loncat dari satu partai ke partai lain. Di hadapan media, mereka pencari muka paling jago. Semua aktivitas kebaikannya selalu ingin dilihat orang, dishooting televisi, dicatat koran dan menjadi omongan orang. Di kalangan para pejuang ia selalu hadir untuk memanfaatkan peluang. Keberadaannya selalu ada ketika kemenangan hampir menjelang. Ia ibarat “polisi India” yang datang untuk menutup ending cerita seraya mengaku sebagai pejuang.
Bagi umat Islam, keberadaan sosok seperti ini lebih berbahaya dari keberadaan musuh yang sebenarnya. Dalam perang Uhud, misalnya, tiga ribu pasukan kafir Quraisy tak membuat mereka gentar. Tapi pengkhianatan Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya sempat membuat mereka bergeming. Kekuasaan Allahlah yang menjadikan mereka tetap tegar untuk meneruskan langkah menuju medan jihad.
Dalam pentas sosial, keberadaan orang-orang seperti ini tak kalah berbahaya. Mereka bisa menyusup di tengah misi-misi kebaikan. Mereka paling lihai memanfaatkan peluang.
Karenanya, musibah tsunami yang melanda Aceh dan sekitarnya, jangan sampai menjadi celah bagi keturunan Abdullah bin Ubay untuk menuai hasil. Sebab, sosok seperti ini bisa lahir dengan beragam misi; kekuasaan dan ideologi. Misi kedua ini yang paling berbahaya. Apalagi kalau melihat negeri Aceh sendiri yang dilatari syariah Islam yang kental. Hal ini akan membuat ambisi kaum paganis untuk menyusupkan misinya lebih besar.
Ditemukannya gambar salib pada bungkusan-bungkusan bantuan dan adanya pendeta yang berusaha membujuk para pengungsi untuk murtad, merupakan fakta konkret atas adanya usaha memurtadkan masyarakat Aceh. Nyata sekali penyusupan mereka. Secara logika hal ini sangat mudah diterima akal. Sebab, hal yang sama juga telah mereka lakukan di daerah-daerah konflik dan masyarakat berekonomi lemah. Karenanya, peranan umat Islam terhadap korban bencana tsunami tak hanya berbentuk materi. Selain uang, makanan dan pakaian, mereka juga membutuhkan dokter, psikolog dan—yang tak kalah penting—juru dakwah.
Jangan sampai umat yang berkeringat, tapi orang lain yang menuai manfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar