Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiandiBastoni
Suatu hari
Rasulullah saw dan beberapa sahabatnya mendatangi Yahudi Bani Nadhir untuk minta bantuan membayar diyat
dua orang Bani Kilab yang terbunuh. Ini merupakan kewajiban mereka sesuai
perjanjian Piagam Madinah.
Bani Nadhir menyanggupi permintaan itu. Mereka meminta
Nabi saw dan para sahabatnya menunggu di suatu tempat. Sementara mereka
pergi menemui beberapa temannya.
Watak asli bangsa Yahudi muncul. Melihat ada peluang
untuk mencelakai Rasulullah saw, mereka segera membuat rencana keji. Salah
seorang dari mereka segera menyiapkan batu besar untuk dilemparkan di atas
kepala Rasulullah saw!
Allah takkan membiarkan Nabi-Nya celaka. Jibril turun
memberitakan pada Rasulullah saw tentang rencana jahat itu. Beliau segera
meninggalkan tempat duduknya tanpa diketahui siapa pun. Para sahabat lainnya
segera menyusul ke Madinah. Setibanya di Madinah, Rasulullah saw memberi tahu
rencana orang-orang Yahudi itu.
Karena bangsa Yahudi menyalahi perjanjian, Rasulullah
saw segera menyiapkan sekelompok utusan yang dipimpin Muhammad bin Maslamah
untuk mengusir mereka dari Madinah. “Keluarlah dari Madinah. Aku beri waktu
sepuluh hari. Jika setelah itu aku melihat kalian di Madinah, akan kupenggal
batang lehernya!” Demikian pesan Rasulullah saw yang disampaikan pada Bani
Nadhir.
Tak ada pilihan lain bagi Yahudi Bani Nadhir kecuali
keluar dari Madinah. Mereka pun bersiap-siap.
Namun, gembong munafik, Abdullah
bin Ubay, mengirimkan utusan pada mereka dan mengatakan, “Kalian tetap tinggal
di sini dengan senang hati. Jangan keluar dari tempat tinggal kalian. Aku akan
membantu dengan dua ribu prajurit siap tempur dalam benteng kalian. Mereka siap mati membela kalian. Jika kalian
benar-benar diusir, kami pasti keluar bersama kalian dan kami selamanya takkan taat kepada siapa
pun yang hendak menyusahkan kalian. Jika kalian diperangi, kami akan membantu. Kalian juga akan dibantu Bani
Quraizhah dan sekutu mereka dari Ghathfan.”
Atas dorongan itu, kepercayaan diri Yahudi Bani
Nadhir muncul. Mereka mengambill keputusan untuk melakukan perlawanan.
Pemimpin mereka, Huyay bin Akhthab, mengirimkan utusan pada Rasulullah saw untuk
menyampaikan keputusan, “Kami takkan keluar dari tempat tinggal kami. Silakan
bertindak sesuka Anda!”
Begitu mendengar jawaban Huyay bin Akhtab, Rasulullah
saw bertakbir, kemudian berangkat bersama para sahabatnya untuk mengepung
mereka. Bani Nadhir bersembunyi dalam benteng-benteng dan melempari kaum
Muslimin dengan anak panah dan batu. Dalam hal ini, keberadaan kebun kurma
sangat membantu orang-orang Yahudi. Rasulullah saw memerintahkan agar membabat
habis dan membakar kebun kurma tersebut.
Orang Yahudi berperang sendirian. Mereka ditinggalkan
Bani Quraizhah, dan dikhianati Abdullah bin Ubay dan sekutu-sekutunya dari Ghathfan.
Tak seorang pun yang memberikan bantuan. Allah SWT mengumpamakan mereka
seperti syaithan, “Bujukan orang-orang munafik itu seperti (bujukan)
syaithan ketika dia berkata kepada manusia,’Kafirlah kamu. Lalu, tatkala
manusia itu telah kafir ia berkata, ’Sesungguhnya aku berlepas diri dari
kamu’,” (QS al-Hasyr: 16).
Pengepungan berlangsung selama beberapa hari. Karena
tak kunjung mendapat bantuan dari Abdullah bin Ubay dan sekutunya, akhirnya
Bani Nadhir menyerah dan menyatakan diri keluar dari Madinah. Rasulullah saw
memperbolehkan mereka membawa semua miliknya yang dapat diangkut, kecuali
senjata.
Bani Nadhir pergi setelah menghancurkan rumah-rumah
agar dapat membawa pintu-pintu dan jendela-jendela. Bahkan seperti dituturkan
Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya, sebagian mereka ada yang membawa
tiang-tiang penopang. Mereka juga membawa istri dan anak-anak. Semuanya
diangkut dengan enam ratus unta.
Mayoritas Bani Nadhir termasuk pimpinan mereka, Huyay
bin Akhthab dan Salam bin Abul Haqiq berangkat menuju Khaibar. Sebagian lagi
berangkat ke Syam. Sementara yang masuk Islam hanya Yamin bin Amru dan Abu Sa’d
bin Wahb. Keduanya mendapatkan hartanya.
Rasulullah saw menyita senjata, tanah, rumah, dan
harta benda mereka. Senjata yang didapatkan sebanyak lima puluh perisai,
lima puluh topi baja,dan tiga ratus empat puluh pedang.
Perang yang terjadi pada Rabi’ul Awal tahun 4 H atau
Agustus 625 M ini diabadikan Allah dalam al-Qur’an. Allah menurunkan surat
al-Hasyr secara keseluruhan. Karenanya, tentang surat al-Hasyr ini, Ibnu Abbas
berkata, “Katakanlah surat ini adalah surat an-Nadhir.”
Akhir riwayat para pengkhianat dalam kisah ini
menjelaskan banyak hal. Di antaranya, umat Islam harus meningkatkan
kewaspadaan, khususnya saat berada dalam ikatan perjanjian dengan pihak lawan.
Ketika berada di atas panggung politik, semuanya tak
bisa dilihat secara hitam putih. Ada wilayah abu-abu yang mengharuskan kita
untuk berinteraksi bahkan melakukan kerja sama dengan musuh politik.
Tindakan ini menjadi boleh jika memenuhi syarat: tak
merugikan kepentingan umat Islam dan tonggak kendali dipegang kaum Muslimin.
Ini yang dilakukan Rasulullah saw dan para sahabatnya ketika melakukan ikatan
Piagam Madinah dengan orang-orang Yahudi.
Perjanjian itu menguntungkan karena kaum Muslimin aman
dan bebas berdakwah di Madinah. Di sisi yang sama, saat perjanjian itu
ditanda-tangani, kaum Muslimin juga yang memegang kendali. Sehingga, ketika
bangsa Yahudi berkhianat, Rasulullah saw dan para sahabatnya bisa bertindak
seperti yang mereka lakukan terhadap Yahudi Bani Nadhir.
Dalam berpolitik tak ada kawan abadi. Yang ada hanyalah
kepentingan. Karenanya, ketika melakukan ikatan koalisi, umat Islam tetap harus
waspada. Tak boleh lengah meski sekejap. Tak boleh ada kata maaf untuk
menindak pengkhianat.
Hal lain yang menarik diamati dalam kisah di atas
adalah begitu rapuhnya koalisi kafir. Ikatan yang tak dilandasi dengan pondasi
akidah, takkan bisa bertahan lama. Ini yang dialami beragam partai di negeri
ini. Umumnya, koalisi atau kerja sama yang mereka jalin dilandasi kepentingan
politik sesaat. Ketika kepentingan itu usai, kerja sama pun putus. Ketika
kebutuhan mereka tak lagi ada, pengkhianatan pun dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar