1.
Rukun Nikah
Adapun rukun nikah ada 5, yaitu :
1.
Wali
2.
Pengantin laki-laki
3.
Pengantin perempuan
4.
Dua saksi laki-laki
5.
Akad nikah
Akad nikah
merupakan syarat wajib dalam proses atau ucapan perkawinan menurut Islam akad
nikah boleh dijalankan oleh wali atau diwakilkan kepada juru nikah.
Syarat (akad) yaitu
adanya akad itu jelas keluar dari lafadz نكاح atau تزويج (aku nikahi) walaupun akad tersebut tanpa
menggunakan bahasa arab sekitarnya kedua lafadz itu dipahami oleh dua orang
yang akad dan dua saksi.
Tidak sah akad
nikah kecuali dengan wali yang adil, atau orang yang mendapatkan ijin wali.
Syarat dalam wali itu disyaratkan tidak fasiq di sebagian nusakh itu harus wali
laki-laki yang lebih diunggulkan dari pada wanita, karena sesungguhnya wanita
itu tidak bisa menikahkan diri sendiri atau menikahkan orang lain.
ولا يصح عقد النكاح ايضا الا بحضور شاهدى عدل
Tidak sah juga akad nikah kecuali
dengan hadirnya dua orang saksi yang adil.
2.
Syarat
Ijab Qabul
-
Sudah tamyiz
(bisa membedakan yang benar dan salah)
-
Berlangsung
dalam satu majelis, tidak diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan
qabul. Ini pendapat Imam Syafii. Imam Malik membolehkan waktu senggang yang
sebentar antara ijab dan qabul.
-
Ucapan
qabul tidak boleh menyalahi ucapan ijab kecuali dengan yang lebih baik.
-
Pihak
yang melakukan akad harus dapat mendengar dan mengerti maksud masing-masing.
-
Karena itu, para ulama tidak menganggap sah akad nikah via telepon. Nikah lewat telepon mengandung risiko tinggi
berupa kemungkinan adanya penyalahgunaan atau penipuan (gharar/khida’),
dan dapat pula menimbulkan keraguan (confused
atau syak), apakah telah dipenuhi
atau tidak rukun-rukun dan syarat-syarat nikahnya dengan baik.
-
Namun sebagian ulama menganggap sah jika dipastikan suara yang terdengar
adalah suara yang bersangkutan.
-
Sebagai jalan keluar dari nikah jarak jauh ini, Islam jauh hari sudah
memberikan ruang yakni dengan perwakilan. Hal ini tidak perlu kecanggihan
teknologi tapi sudah disiapkan ruangnya oleh Islam.
3.
Kata-kata
dalam Ijab Qabul
-
Harus
dapat dimengerti maksudnya oleh kedua belah pihak
-
Ibnu
Taimiyah membolehkan akad dengan bahasa selain Bahasa Arab.
-
Para
ulama sepakat bolehnya menggunakan kata-kata tazwij atau pecahan atau
makna dari kata itu, seperti nikah.
-
Para
ulama berbeda pendapat jika kata-katanya diganti dengan selain makna tazwij,
misalnya: saya serahkan, jual, milik kamu dst. Kalangan Hanafi membolehkan
lafazh akad dengan kata-kata apa saja asalkan diniatkan untuk nikah. Imam
Syafii mengharuskan lafazh akad nikah dengan kata-kata tazwij atau nikah
atau pecahan kedua kata itu.
4.
Ijab
Qabul Bukan dengan Bahasa Arab
-
Para
ulama sepakat tentang bolehnya akad dengan selain Bahasa Arab bagi mereka yang
tidak bisa berbahasa Arab. Mereka berbeda pendapat jika yang berakad itu bisa
berbahasa Arab.
-
Imam
Syafii berpendapat, bagi yang mampu
berbahasa Arab dalam ijab qabulnya, tidak sah menggunakan selain bahasa Arab.
-
Imam Abu
Hanifah membolehkan dengan bahasa apa saja, baik yang mampu berbahasa Arab atau
tidak.
-
Ijab
qabul orang yang bisu sah dengan isyarat yang dimengerti. Sebagia ulama
menganggap tidak sah, ijab qabul bagi orang bisu dengan isyarat jika ia sanggup
menulis. Ia harus menuliskan ijab atau qabulnya.
-
Jika
salah seorang pasangan pengantin tidak ada, nikah tetap bisa dilangsungkan.
Caranya, sang pengantin menulis surat yang dipersaksikan oleh minimal dua orang
atau ia mengutus wakilnya. Jika
diterima, maka nikahnya sah. Hal ini pernah terjadi di masa Nabi saw, bahwa
beliau menikah dengan Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan. Nabi saw kala itu berada di Madinah, sedangkan Ramlah
di Habasyah. Sebagai wakil Nabi saw adalah Raja Habasyah an-Najasyi.
-
Ijab
qabul harus mutlak, tidak boleh bersyarat. Misalnya, “Kunikahkan putriku
denganmu kalau kamu sudah mendapat pekerjaan.” Ini tidak sah. Tapi kalau
syaratnya itu sudah terjadi, maka
nikahnya sah. Misalnya, “Saya nikahkan putriku denganmu kalau usianya
sudah 20 tahun.” Ternyata benar, usianya benar sudah 20 tahun.
-
Ijab
qabul yang ditentukan dengan waktu juga tidak sah. Misalnya, “Aku nikahi putri
Bapak besok atau bulan depan.” Lalu ayahnya menjawab, “Ya, aku terima.” Akad ini tidak sah meskipun
waktunya terjadi karena berarti telah meniadakan ijab qabul.
-
Ijab
qabul yang menyertakan waktu tertentu juga tidak sah. Misalnya, “Saya nikahkan
putri saya denganmu selama sebulan.” Ini yang disebut nikah Mut’ah atau nikah
kontrak dilarang dalam Islam.
5.
Sekilas
Tentang Nikah Mut’ah
-
Seluruh
Imam Madzhab mengharamkan jenis pernikahan ini kecuali kalangan Syiah
-
Nikah
Mut’ah sekaligus menghapus beberapa konsekuensi dari nikah itu sendiri, antara
lain: talak, iddah dan warisan. Dengan adanya nikah Mut’ah, tiga hal ini terhapus.
-
Banyak
hadits yang menegaskan tentang larangan nikah Mut’ah ini. Antara lain:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ
لَكُمْ فِي الِاسْتِمْتَاعِ مِنْ النِّسَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ
إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
Artinya, “Wahai manusia, dulu aku pernah
mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah telah
mengharamkannya hingga Hari Kiamat.” (HR Muslim 7/192).
-
Di masa
Umar bin Khaththab, ia pernah mengumumkan kepastian haramnya nikah Mut’ah. Saat
itu tak ada sahabat Nabi saw yang
mengingkari.
-
Nikah
Mut’ah menghilangkan tujuan utama dari pernikahan itu sendiri. Bahkan,
berpotensi menzalimi pihak wanita.
-
Adapun
nikah tapi berniat menceraikannya suatu saat nanti, sebagian ulama
membolehkannya. Namun hal ini harus dihindari karena mengandung unsur penipuan.
Ulama yang membolehkan jenis nikah ini
mensyaratkan jika dalam kondisi darurat dan khawatir terjerumus pada perzinaan.
Misalnya, seseorang yang bertugas jauh dari keluarganya, ditempatkan di negara
Barat yang rawan perzinaan, maka selama
ia berada tempat tugasnya ia boleh menikah dengan wanita setempat padahal ia
tahu tidak akan selamanya berada di sana dan tidak mungkin membawa istrinya ke
negara asalnya.
6.
Tentang
Nikah Cina Buta
-
Maksudnya:
seorang laki-laki menikahi wanita yang sudah ditalak tiga oleh suaminya lalu
menceraikannya lagi dengan tujuan agar suami pertamanya bisa menikahinya lagi.
-
Para
ulama sepakat jenis pernikahan ini termasuk dosa besar. Nabi saw bersabda, “
لَعَنَ اللهُ اْلمُحَلِّلَ وَ الْمُحَلَّلَ
لَهُ
Artinya, “Allah melaknat orang yang menikah
(cina buta) dan orang yang menyuruh (orang lain) melaksanakan pernikahan ini.”
(HR Ahmad).
-
Namun
menurut Imam Syafii, jika tidak dinyatakan bahwa ia akan menceraikan istrinya
dan tidak ada kesepakatan dengan suami pertamanya, maka nikahnya sah.
-
Ulama
mensyaratkan, pernikahan dengan laki-laki kedua itu harus diwujudkan dengan
berlangsungnya hubungan badan dengan wanita yang dinikahi (HR Bukhari Muslim).
Jika tidak, ketika ia diceraikan lagi, maka suami pertamanya tidak boleh
menikahinya.
Hikmah adanya syariat
ini, agar suami tidak mudah begitu saja men-talak lalu menikahi istrinya
kembali.
Oleh:
Hepi Andi Bastoni, MA / @andibastoni
(Ketua
Yayasan Tahfizh Qur’an Az-Zumar Bogor)
0817-1945-60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar