Sebentar lagi Ramadhan akan menyapa kita. Untuk
memantapkan ibadah pada bulan berkah ini, tak salah kalau kita memperdalam
wawasan kita seputar shiyam (puasa). Untuk itu, berikut kami sajikan risalah
muyassarah (panduan sederhana) seputar puasa.
Defenisi
Puasa
Secara
bahasa, shiyam (puasa) berarti imsaak (menahan diri). Yang
dimaksud adalah menahan diri dari segala sesuatu yang bisa membatalkan puasa,
sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat berpuasa (Fiqhus
Sunnah, Sayyid Sabiq I/573).
Keutamaan
Puasa
Banyak
sekali keutamaan yang bisa didapat oleh mereka yang berpuasa, baik secara
ruhiyah (mendapat pahala), medis maupun psikologis. Di antara keutamaan itu
adalah:
1. Puasa sebagai penangkal
Terkait
dengan hal ini, Rasulullah saw memerintahkan kepada para pemuda yang belum
sanggup menikah agar berpuasa. Di antara tujuannya adalah untuk menjaga
pandangan (aghadhdhu lil bashar), memelihara kemaluan dan sebagai wija’
(benteng).
2. Diampuni dosanya yang terdahulu
Rasulullah saw bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ
إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang melaksanakan puasa dengan iman dan mengharap
(ridha Allah), diampuni dosanya terdahulu,” (HR Muslim).
3. Dimasukkan ke surga dari pintu ar-Rayyan
Diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad bahwa Rasulullah saw
bersabda, “Sesungguhnya surga memiliki sebuah pintu yang dikenal dengan
ar-Rayyan. Dikatakan pada hari Kiamat, “Di manakah orang-orang yang berpuasa?”
Jika orang yang terakhir dari mereka sudah masuk, maka ditutuplah pintunya,” (HR
Bukhari Muslim).
4. Mendapatkan syafaat
Dari Abdullah bin Amr bahwa Nabi saw bersabda,
“Puasa dan al-Qur’an memberikan syafaat kepada hamba
pada hari Kiamat. Puasa berkata, “Ya Rabb, Engkau cegah dia dari makan dan
syahwat pada siang hari, (berilah) syafaat aku untuknya,” (HR Ahmad).
5. Mendapatkan dua kebahagiaan
Rasulullah saw bersabda, “Bagi orang yang berpuasa dua
kebahagiaan. Ketika ia berbuka ia bahagia dengan berbukanya, dan ketika bertemu
dengan Tuhannya ia gembira dengan puasanya,” (HR Ahmad, Muslim dan Nasa’i).
6. Dijauhkan dari api neraka
Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari dalam jihad di
jalan Allah, kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari api neraka sejauh
tujuh puluh tahun,”(HR Jamaah kecuali Abu Daud).
Hukum Puasa
Tak ada perbedaan di
kalangan ulama, bahwa hukum puasa Ramadhan wajib. Hal ini ditetapkan menurut
al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ ulama. Allah berfirman, “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa,” (QS al-Baqarah: 183).
Dalam hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda, “Islam dibangun di atas
lima dasar: Pengakuan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa Ramadhan, dan haji ke
baitullah bagi yang mampu,” (HR Bukhari Muslim). Sedangkan ijma’ ulama
menyebutkan, orang yang mengingkari kewajiban puasa Ramadhan dianggap kafir
atau murtad (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq I/575).
Rukun
Puasa
- Niat
Seorang
Muslim harus meniatkan puasa Ramadhan sebelum terbit fajar. Sebab, amalan akan
dianggap berpahala sesuai niatnya. Niat adalah pembeda antara ibadah dan
kebiasaan. Karenanya niat tempatnya di hati, tak harus dilafazhkan.
Sedangkan puasa Sunnah tak
mesti diniatkan pada malam harinya. Rasulullah saw pernah mendatangi Aisyah
selain pada bulan Ramadhan. “Apakah engkau mempunyai makanan? Jika tidak maka
aku puasa,” kata Rasulullah saw, (HR Muslim 1154).
b. Menahan diri dari yang membatalkan
Hal ini dilakukan sejak
terbit fajar hingga terbenam matahari. Yang dimaksud menahan di sini bukan
hanya menahan diri dari makan dan minum saja, tapi juga segala hal yang membatalkan
pahala puasa, seperti ghibah, menggunjing, dan bicara jorok. Rasulullah saw
bersabda, “Puasa itu bukan dari makan dari minum (saja), tapi puasa dari bicara
sia-sia dan jorok. Kalau ada orang yang memaki atau memperbodoh kamu,
katakanlah, ‘Saya sedang berpuasa. Saya sedang berpuasa,” (HR Ibnu Khuzaimah
dan Ibnu Hibban).
Yang
Dibolehkan Ketika Berpuasa
1. Bersiwak (Gosok gigi)
Anjuran Rasulullah saw untuk bersiwak
bersifat umum. Sementara tak ada keterangan yang mengkhususkan larangan
bersiwak saat berpuasa. Rasulullah saw pun bersiwak ketika berpuasa (lihat (Fiqhus
Sunnah, Sayyid Sabiq I/603). Bahkan, Ziyad bin Jarir pernah berkata, “Aku
tak pernah melihat orang yang bersiwak ketika berpuasa melebihi Umar bin
Khaththab,” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah III/35 dengan sanad shahih).
2. Berkumur-kumur
dan memasukkan air ke hidung (HR Ahmad, Malik dan Abu Daud dengan sanad yang
shahih)
3. Bercelak dan menggunakan tetes mata
4. Berbekam (cuci darah) dan bersuntik
5. Tak sengaja makan atau minum
Yang Membatalkan Puasa
1. Sengaja makan dan minum
2. Sengaja muntah
3. Haidh atau nifas
4. Onani
5. Berhubungan seksual
Orang yang melakukannya harus meng-qadha’ dan membayar kaffarah. Yaitu: memerdekakan seorang hamba. Jika tidak mampu,
berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak bisa, memberi makan enam puluh
orang fakir miskin.
Hukum
Puasa bagi Musafir
Orang
yang melakukan perjalanan jauh dibolehkan untuk berbuka puasa. Namun, ia harus
menggantinya pada hari lain sebanyak yang ditinggalkannya. Allah berfirman, “Maka
barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain,” (QS al-Baqarah: 184).
Namun, perjalanan itu tidak
boleh dilakukan dengan alasan untuk tidak berpuasa. Karenanya, orang yang baru
akan bepergian tidak boleh berniat tidak puasa sebelum ia berangkat. Sebab,
bisa jadi kepergiannya batal (Tafsir al-Qurthuby II/210).
Hukum
Puasa bagi Orang Sakit
Orang
yang menderita sakit yang membuatnya tak sanggup berpuasa, ia dibolehkan
berbuka, dan puasanya diganti di hari lain. Namun, bagi orang yang menderita
penyakit menahun yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, boleh berbuka
dan tidak diwajibkan meng-qadha’
(menggantinya). Ia hanya diwajibkan membayar fidyah (memberi makan fakir
miskin) setiap hari selama bulan puasa berupa makanan pokok (bukan uang)
sebanyak kebutuhan makanan satu orang perhari (sekitar 1,5 kg beras). Sebagian
ulama ada yang membolehkan membayar fidyah sekaligus di akhir Ramadhan, tapi
boleh juga dibayar per hari.
Orang sakit yang masih sempat sembuh setelah
Ramadhan, tapi belum mengganti puasanya, lalu meninggal, maka walinya boleh
menggantikan puasanya tersebut. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa meninggal
dunia yang masih mempunyai tanggungan puasa, maka dipuasakan oleh walinya,” (HR
Bukhari Muslim).
Namun,
jumhur ulama di antaranya Abu Hanifah, Malik dan pendapat masyhur dari kalangan
mazhab Syafii menyebutkan, walinya cukup membayar fidyah saja sejumlah
hari yang ditinggalkan. (Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq I/615).
Hukum Puasa bagi Lansia, Orang Lemah dan Pikun
Orang
yang sudah lanjut usia dan tidak berdaya, tidak wajib berpuasa. Mereka hanya
diwajibkan membayar fidyah setiap hari yang ditinggalkannya. (Al-Bukhari,
bab Ayyaman Ma’dudat).
Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar