Kebiasaan Rasulullah saw memperbanyak puasa di bulan
Sya’ban, bertabur hikmah. Di antaranya, latihan fisik, mental dan spiritual
untuk menyambut kehadiran Ramadhan.
Ibarat pasukan perang yang tengah bersiap menghadapi
musuh, begitulah perumpamaan kaum Muslimin menjelang Ramadhan. Memperbanyak
puasa di bulan Sya’ban merupakan latihan untuk puasa Ramadhan agar tidak
mengalami kesulitan. Bahkan akan terbiasa sehingga bisa memasuki Ramadhan dalam
keadaan kuat dan bersemangat.
Imran bin Hushain menuturkan, Rasulullah saw
bersabda, “Apakah engkau berpuasa pada sarar (akhir) bulan ini?” Dia
berkata, “Tidak.” Maka beliau bersabda, “Apabila engkau berbuka maka puasalah
dua hari.” Dalam riwayat Bukhari disebutkan, “Saya kira yang dimaksud adalah
bulan Ramadhan.” Sementara dalam riwayat Muslim, “Apakah engkau puasa pada sarar
(akhir) bulan Sya’ban?” (HR Bukhari 4/200 dan Muslim No. 1161).
Terdapat perbedaan dalam penafsiran kata sarar dalam
hadits ini. Makna yang terkenal adalah akhir bulan. Dikatakan sararusy syahr
dengan meng-kasrah-kan sin atau mem-fathah-kannya, dan
mem-fathah-kannya ini yang lebih benar. Akhir bulan dinamakan sarar karena istisrar-nya bulan
(yakni tersembunyinya bulan).
Selain itu, diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi
saw pernah bersabda, “Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan puasa sehari
atau dua hari sebelumnya kecuali orang yang terbiasa berpuasa maka puasalah,” (HR
Bukhari No. 1983 dan Muslim No. 1082). Lalu, bagaimana kita mengompromikan
hadits Imran bin Hushain yang menganjurkan berpuasa, dengan hadits yang memuat larangan
ini?
Sebagian besar ulama dan pensyarah hadits
menyebutkan, orang yang ditanya oleh Rasulullah saw ini diketahui terbiasa
berpuasa atau karena punya nadzar sehingga diperintahkan untuk membayarnya.
Namun demikian, dalam masalah ini ada beberapa
pendapat lain. Pertama, berpuasa dengan niat puasa Ramadhan sebagai
bentuk kehati-hatian barangkali sudah masuk bulan Ramadhan. Puasa seperti ini
hukumnya haram.
Kedua, berpuasa dengan niat nadzar atau mengqadha Ramadhan yang lalu, membayar kaffarah
atau yang lainnya. Mayoritas ulama membolehkan yang demikian.
Ketiga, berpuasa dengan niat puasa sunnah biasa. Kelompok yang mengharuskan
adanya pemisah antara Sya’ban dan Ramadhan dengan berbuka tidak menyukai hal itu.
Di antaranya Hasan Bashri, meskipun sudah terbiasa berpuasa, tapi Malik
memberikan rukhsah (keringanan) bagi orang yang sudah terbiasa berpuasa.
Asy-Syafi’i, al-Auzai’ dan Ahmad serta selainnya memisahkan antara orang yang terbiasa
dengan yang tidak.
Secara keseluruhan hadits Abu Hurairah tersebut
yang digunakan oleh kebanyakan ulama. Yakni, tidak disukai mendahului Ramadhan
dengan puasa sunnah sehari atau dua hari bagi orang yang tidak biasa berpuasa,
dan tidak pula mendahuluinya dengan puasa pada bulan Sya’ban yang terus-menerus
bersambung sampai akhir bulan.
Apabila seseorang berkata, kenapa puasa sebelum
Ramadhan secara langsung ini dibenci? Pertama, agar tidak menambah puasa
Ramadhan pada waktu yang bukan termasuk Ramadhan, sebagaimana dilarangnya puasa
pada hari raya karena alasan ini, sebagai bentuk kehati-hatian. Atas dasar ini
maka dilarang puasa pada yaum asy-syak (hari yang diragukan).
“Barangsiapa yang berpuasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat
kepada Abul Qasim saw (Rasulullah),” ujar Umar bin Khaththab. Hari syak adalah
hari yang diragukan apakah termasuk Ramadhan atau bukan.
Adapun yaumul ghaim (hari yang mendung
sehingga tidak bisa dilihat apakah hilal sudah muncul atau belum), maka di
antara ulama ada yang menjadikannya sebagai hari syak dan terlarang
berpuasa. Ini perkataan kebanyakan ulama.
Kedua, untuk membedakan antara puasa sunnah dan wajib. Membedakan antara fardhu
dan sunnah itu disyariatkan. Karenanya diharamkan puasa pada hari raya (untuk
membedakan antara puasa Ramadhan yang wajib dengan puasa pada bulan Syawwal
yang sunnah).
Rasulullah juga melarang untuk menyambung shalat
wajib dengan dengan sunnah sampai dipisahkan oleh salam atau pembicaraan.
Terlebih-lebih shalat sunnah qabliyah fajr (Subuh). Bahkan,
disyariatkan untuk dilakukan di rumah serta berbaring-baring sesaat. Ketika
melihat ada yang shalat qabliyah kemudian qamat dikumandangkan, Nabi saw
berkata, “Apakah shalat Shubuh itu empat rakaat?” (HR Bukhari No.663).
Dengan demikian, dilarangnya berpuasa sehari menjelang
Ramadhan bukan untuk dijadikan momen untuk memuaskan nafsu. Tapi, sebagai garis
pembatas antara Sya’ban dan Ramadhan.
Karena Sya’ban merupakan gerbang bagi Ramadhan,
maka berlaku juga amalan yang biasa dilaksanakan di bulan Ramadhan, seperti
puasa, membaca al-Qur’an dan sedekah. Salamah bin Suhail mengatakan, “Bulan
Sya’ban merupakan bulan para qurra’ (pembaca al-Qur’an).” Jika masuk
bulan Sya’ban, Habib bin Abi Tsabit berkata, “Inilah bulan para qurra’.”
Jika bulan Sya’ban datang, Amr bin Qais al-Mula’i menutup tokonya dan
meluangkan waktu (khusus) untuk membaca al-Qur’an.
Hepi Andi Bastoni
Hp : 08170194560
Twitter : @andibastoni
FB : Hepi Andi
Hp : 08170194560
Twitter : @andibastoni
FB : Hepi Andi
kisah yang sangat menarik, pas sekali untuk bacaan penyejuk disore hari!
BalasHapuskasta netter terbaik sadar, tetep BLOGGER! MERDEKA!
FORUM ARTIKEL UNIK DAN MENARIK | FORUM ARTIKEL TIPS DAN TRICKS LENGKAP |FORUM CURHAT DAN MOTIVASI TOP | FORUM PUISI DAN PANTUN LENGKAP | FORUM HIBURAN HOMUR LUCU GOKIL | FORUM TANYA JAWAB ONLINE TERLENGKAP | FORUM BERITA ONLINE SEKITAR KITA | FORUM KENALAN ONLINE AMAN NYAMAN MENYENANGKAN