Kelahiran seorang anak akan menambah kebahagiaan dan kerukunan
sebuah rumah tangga. Kebahagiaan ini akan semakin berbunga ketika dihiasi
dengan sunnah Rasulullah saw. Sangat ironis misalnya jika kehadiran buah hati
disambut dengan serangkaian acara yang tak sesuai dengan tuntunan Rasulullah
saw.
Seiring
dengan maraknya tradisi kedaerahan atau yang bersumber dari kebiasaan non-Muslim,
sunnah Rasulullah saw sering terabaikan. Para orang tua lebih banyak yang
berkonsentrasi maksimal untuk merayakan hari ulang tahun ketimbang acara yang
sudah ada landasannya dalam Islam. Selain itu, membekali anak dengan dasar
syariat sejak dini merupakan wujud tanggung jawab orang tua kepada si anak.
Khususnya dalam mengarungi kehidupannya yang jauh lebih berat dari yang
dihadapi orang tuanya.
Begitu
banyak sunnah Rasulullah saw yang harus kita laksanakan. Melaksanakan aqiqah
salah satunya. Mengikut sunnah Rasulullah saw mengadakan aqiqah dan memberikan
sebagian dagingnya kepada tetangga dan orang-orang tak mampu akan menambah
keberkahan dan lebih mempererat tali silaturahim. Mengadakan aqiqah juga
merupakan cerminan rasa suka cita dan bahagia atas kelahiran seorang anak.
Secara bahasa aqiqah berasal dari kata aqqa
yang artinya memotong atau membelah. Ada yang mengungkapkan bahwa aqiqah
artinya rambut yang tumbuh di atas kepala bayi sejak lahir. Ada lagi
mengartikan bahwa aqiqah ialah nama kambing yang disembelih untuk
kepentingan bayi (Fiqh Sunnah Sayid Sabiq, II/39-40).
Adapun
dalil yang menyatakan, bahwa kambing yang disembelih itu dinamakan aqiqah
antara lain adalah hadits yang dikeluarkan oleh al-Bazzar dari Atha’ dari Ibnu
Abbas secara marfu’ yang berbunyi, “Bagi seorang anak laki-laki
dua ekor aqiqah dan seorang anak perempuan seekor.”
Hukum Aqiqah
Menurut kalangan mazhab Syafi’i dan Hambali, hukum
melaksanakan aqiqah adalah sunnah muakkadah. Sementara menurut kalangan Hanafi
mubah dan menurut Maliki hanya bersifat anjuran. Imam al-Laitsi dan Abu Daud
sebagaimana disebutkan Sayyid Sabiq, berpendapat aqiqah itu wajib. (Fiqh
Sunnah Sayid Sabiq, II/40).
Dasar
yang dipakai oleh kalangan Syafii dan Hambali dengan mengatakannya sebagai
sesuatu yang sunnah muakkadah adalah hadits Nabi saw yang berbunyi, “Anak
tergadai dengan aqiqahnya. Disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari
kelahirannya),” (HR Tirmidzi, hasan shahih).
Dalam
hadits lain yang diriwayatkan Imam Ahmad disebutkan, “Anak-anak itu tergadai
(tertahan) dengan aqiqahnya, disembelih hewan untuknya pada hari ketujuh,
dicukur kepalanya dan diberi nama.”
Aisyah
juga meriwayatkan, ‘Rasulullah saw pernah mengadakan aqiqah untuk Hasan dan
Husain pada hari ketujuhnya,” (HR
Ibnu Hibban, Hakim, dan Baihaqi)
Salman bin Amar adh-Dhahabi menuturkan,
“Sesungguhnya bersama anak itu ada hak diaqiqahi, maka tumpahkanlah darah
baginya (dengan menyembelih hewan) dan buanglah penyakit darinya (dengan mencukur
rambutnya),” (HR Bukhari).
Dari
beberapa hadits tersebut, menurut Imam Ahmad, al-Khaththabi dan Ibnu al-Qayyim,
maksud kata-kata “Anak-anak itu tergadai dengan aqiqahnya” ialah bahwa
pertumbuhan anak itu, baik badan maupun kecerdasan otaknya, atau pembelaannya
terhadap ibu bapaknya pada hari kiamat akan tertahan jika ibu bapaknya tidak
melaksanakan aqiqah baginya. Ibnu al-Qayyim menegaskan, aqiqah itu
berfungsi untuk melepaskan bayi dari godaan syetan.
Waktu Penyembelihan Aqiqah
Berdasarkan beberapa hadits, maka waktu pelaksanaan
aqiqah dilakukan saat bayi berumur tujuh hari. Namun jika hal itu tidak mampu
dilaksanakan, maka boleh menundanya hingga bayi berumur 14 hari. Jika masih
belum mampu juga, boleh dilakukan saat bayi sudah berumur 21 hari. Hal ini
didasarkan pada hadits dari Abu Buraidah yang meriwayatkan, “Aqiqah itu
disembelih pada hari ketujuh, atau ke-14, atau ke-21 (dari
kelahirannya),” (HR Baihaqi dan
Thabrani).
Namun jika pada hari-hari tersebut belum mampu,
maka di hari kapan pun (Fiqhus Sunnah II/40). Imam Ahmad bin Hambal
membatasi waktu aqiqah hingga sang anak baligh. Imam Syafii berpendapat boleh
dilaksanakan kapan pun hingga dewasa (Nailul Authar III/500). Ada juga
yang berpendapat, jika sang anak lahir dan orangtua dalam kondisi tidak mampu,
maka gugur baginya keharusan aqiqah
meskipun ketika dewasa orangtuanya mampu. Namun, jika orangtua mampu ketika
anaknya lahir tapi ia tidak mengaqiqahkan anaknya, maka ia tetap dianjurkan
mengaqiqahi anaknya meskipun sang anak sudah dewasa.
Ada yang berpendapat, sebaiknya daging aqiqah
dibagikan dalam keadaan matang. Sebaliknya qurban dibagikan dalam keadaan
mentah.
Berqurban Sekaligus Aqiqah
Kalangan Hambali berpendapat, apabila Hari Raya Qurban
dan aqiqah jatuh pada hari yang sama, maka cukup dengan satu hewan sembelihan.
Sebagaimana kalau Hari Raya dan Jumat bersamaan,
maka disunnahkan mandi salah satunya. (Fiqhus Sunnah II/40).
Hewan Aqiqah
Sebaiknya aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor
kambing, dan untuk anak perempuan satu ekor. Hal ini berdasarkan hadits dari
Ummul Kurz al-Ka‘biyah yang mengatakan, bahwa Nabi saw bersabda, “Untuk anak
laki-laki dua ekor kambing yang mirip dan untuk anak perempuan satu ekor
kambing.“
Namun dibolehkan juga untuk anak laki-laki satu
ekor kambing. Sebuah riwayat dari Ibnu Abbas menyatakan, “Rasulullah saw telah
mengaqiqahkan buat Hasan dan Husain masing-masing satu ekor kibasy,” (HR Abu Dawud).
Dari
hadits di atas bisa kita dapatkan petunjuk, bahwa jenis hewan untuk aqiqah
sesuai dengan yang pernah dilakukan Rasulullah saw adalah kibasy. Hewan
sejenis yang bisa dipakai adalah kambing dan biri-biri. Syarat-syarat hewan
yang bisa (sah) untuk dijadikan aqiqah itu sama dengan syarat-syarat hewan
untuk qurban, yaitu tidak cacat, tidak berpenyakit, dan cukup umur.
Mencukur Rambut
Sunnah lainnya yang harus dilakukan orang tua untuk
anaknya adalah mencukur rambut bayi. Hal ini boleh dilakukan di hadapan sanak
keluarga agar mereka mengetahui dan menjadi saksi. Boleh juga dilakukan oleh
orang tuanya sendiri. Rambut hasil cukuran ditimbang dan jumlah timbangan
dinilai dengan nilai emas atau perak kemudian disedekahkan kepada fakir miskin.
Imam
Malik meriwayatkan hadits dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya berkata,
“Fatimah menimbang rambut Hasan, Husain dan Zainab, dan Ummu Kultsum, lalu
berat timbangan rambut tersebut diganti dengan perak dan disedekahkan,”
Ibnu
Ishaq meriwayatkan dari Abdullah bin Abu Bakar dari Muhammad bin Ali bin
Husain berkata, “Rasulullah melaksanakan aqiqah berupa seekor kambing untuk
Hasan. Beliau bersabda, ‘Fatimah, cukurlah rambutnya’. Fatimah kemudian
menimbangnya dan timbangannya mencapai ukuran perak seharga satu dirham atau
setengah dirham.”
Yahya
bin Bakr meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw memerintahkan
untuk mencukur rambut Hasan pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Lalu
rambutnya dicukur dan beliau menyedekahkan perak seberat rambut tadi.
Memperdengarkan Azan dan Iqamah di Telinga Bayi
Selain mencukur rambut, memperdengarkan adzan di
telinga kanan dan iqamah di telinga kiri kepada anak yang baru lahir adalah
sunnah. Hal ini bertujuan agar yang pertama kali didengar oleh sang anak adalah
Asma Allah. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud dan
Tirmidzi dari Rafi yang berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah saw
memperdengarkan adzan shalat di telinga Hasan bin Ali saat Fathimah
melahirkannya.”
Diriwayatkan
juga dari Ibnu Sunni dari Hasan bin Ali bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa
yang mendapatkan anak laki-laki yang baru dilahirkan, hendaklah mengadzankan di
telinga kanannya, dan mengiqamahkan di telinga kirinya. Maka, anak itu tidak
akan kena bahaya (ummu Shibyan) gangguan syetan.” (Fiqhus Sunnah II/42).
Namun, ada juga ulama yang menganggap hadits-hadits
tentang hal ini tidak shahih sehingga tak bisa dijadikan sebagai sumber hukum.
Menindik Telinga Anak Perempuan
Hal lain yang sering dilakukan para orang tua
terhadap anaknya adalah menindik (melubangi) telinga anak perempuan. Sebagaimana
dipaparkan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah-nya, dalam madzhab
Hambali menindik telinga anak perempuan untuk menggunakan perhiasan dibolehkan
dan tidak bagi anak laki-laki. Qadhi Khan—penganut Madzhab Hanafi—pernah
berfatwa, “Tidak apa-apa menindik telinga anak perempuan. Orang-orang melakukan
hal itu pada masa jahiliyah sedangkan Rasulullah saw tidak mengingkarinya.”
Syekh
Utsaimin juga membolehkan hal ini dan tidak termasuk menzalimi sang anak.
Sebab, itu termasuk luka ringan dan bagi sang bayi itu cepat sembuh. Hanya saja
beliau tidak menyarankan untuk melubangi hidung. (Majmu‘ Fatawa 4/137).Oleh: Hepi Andi Bastoni, MA
mau aqiqah kah ??
BalasHapustapi gamau ribet ??
ya di Aqiqah surabaya, mudah murah dan terpercaya silahkan kunjungi web kami ka untuk informasi selanjutnya