A'sya bin Qais adalah penyair
Arab kesohor. Ia meninggalkan kampungnya di Yamamah, Najed, untuk menemui Nabi Muhammad
saw dan masuk Islam.Dalam kitab karya Muhammad bin Abdurrahman al-'Arifi
dikisahkan, sambil naik unta, sepanjang perjalanan A’sya mengulang-ulang pujian
pada rasulullah. Ia merasa rindu dan ingin segera bertemu nabi.
“Wahai orang yang bertanya
padaku, kemana engkau menuju? Sesungguhnya aku memiliki janji bertemu dengan
seorang penduduk Yatsrib. (Dia) seorang nabi yang bisa melihat apa yang tidak
kalian lihat. Namanya telah menyebar ke seluruh penjuru negeri,” demikian
di antara bait syair yang selalu ia lantunkan.
Saat hampir tiba di Madinah,
A’sya dicegat beberapa orang musyrik. Ia ditanya tentang maksud kedatangannya.
Saat diberitahu bahwa ia ingin bertemu rasulullah dan akan memeluk Islam, mereka
khawatir hal itu akan menyebabkan kedudukan Muhammad semakin kuat. “Satu
penyair saja –Hasan bin Tsabit, sangat membuat kita kewalahan, bagaimana bila penyair
Arab A'sya bin Qais ini juga masuk Islam?” pikir mereka.
Lalu mereka mulai
memengaruhi, "Wahai A'sya , agamamu dan agama orang tuamu lebih baik."
A’sya menjawab, "Tidak, bahkan agama Muhammad lebih baik dan lebih lurus."
Orang-orang musyrik saling berpandangan dan bermusyawarah, bagaimana caranya
menghalangi orang ini dari Islam.
"A'sya, sesungguhnya agama
ini mengharamkan perzinahan," ujar mereka kemudian. “Aku sudah sangat tua.
Aku tidak berhasrat lagi pada wanita,” jawab A’sya tegas. "Wahai A'sya, agama
ini mengharamkan khamar,” ucap mereka tak menyerah. A’sya menjawab, "Khamar
itu memang merusak akal. Membuat orang jadi terhina. Aku tak membutuhkannya."
Saat orang-orang Quraisy melihat
A’sya tetap bersikeras masuk Islam, mereka menawarkan, "Kami akan beri
engkau seratus ekor unta bila engkau kembali ke keluargamu dan tidak memeluk Islam!"
A’sya mulai berfikir. Setan menguasai akalnya. Kemudian ia menoleh kepada
mereka seraya berkata, "Jika dengan harta, maka baiklah."
Orang-orang musyrik lalu mengumpulkan
seratus ekor unta untuknya. A’sya lantas kembali ke keluarganya dengan tetap
pada kekafiran. Pria lanjut usia itu menggiring unta-untanya di depan, dengan
penuh gembira dan suka cita. Ia merasa dalam dirinya telah terhimpun kedudukan,
keahlian dalam syair, dan harta.
Saat hampir sampai di perkampungannya,
A’sya terjatuh dari untanya hingga tulang lehernya patah. Diapun mati dengan tetap
membawa kekufurannya.
Mutahidin Efendi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar