Sya’ban gerbang Ramadhan. Ia sekaligus
madrasah untuk mempersiapkan diri menapaki bulan bertabur pahala itu. Songsong
Ramadhan dengan membiasakan diri berpuasa.
Ramadhan segera menjelang. Tak penuh sebulan lagi
kita akan bersua dengan bulan bertabur pahala itu. Kini kita berada di
gerbangnya di bulan Sya’ban.
Dinamakan Sya’ban karena orang-orang Arab pada
bulan tersebut yatasya’abun (berpencar) untuk mencari sumber air.
Dikatakan demikian juga karena mereka tasya’ub, berpisah-pisah atau terpencar
di gua-gua. Dan dikatakan sebagai bulan Sya’ban juga karena bulan tersebut sya’aba
(muncul) di antara dua bulan Rajab dan Ramadhan. Bentuk jamaknya adalah Sya’abanaat dan Sya’aabiin.
Layaknya tamu agung yang membawa beragam kebaikan,
begitu seharusnya kita menyambut Ramadhan. Di antara bentuk penyambutan itu
adalah membiasakan diri melaksanakan ibadah utama di bulan Ramadhan. Yaitu,
puasa.
Puasa merupakan ibadah paling penting bagi
Ramadhan. Karenanya, ketika berada di gerbangnya, ibadah ini menjadi paling
utama dan sering dilakukan oleh Rasulullah saw. “Rasulullah saw berpuasa sampai
kami katakan beliau tidak pernah berbuka. Beliau berbuka sampai kami katakan
beliau tidak pernah berpuasa. Saya tidak pernah melihat Rasulullah menyempurnakan
puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan. Saya tidak pernah melihat beliau
berpuasa lebih banyak daripada bulan Sya’ban,” kenang Aisyah sebagaimana
diriwayatkan Bukhari (No 1833) dan Muslim (No 1956).
Bahkan, dalam riwayat Muslim disebutkan, beliau saw berpuasa pada bulan Sya’ban
semuanya. Sedikit sekali beliau tidak berpuasa di bulan Sya’ban.
Maksudnya, Rasulullah saw amat sering berpuasa di
hari-hari Sya’ban, tapi tidak berpuasa seluruhnya sebagaimana di bulan
Ramadhan. Ibnul Mubarak menegaskan, Nabi saw tidak pernah menyempurnakan puasa
Sya’ban tapi banyak berpuasa. Pendapat ini didukung oleh riwayat Muslim dari Aisyah, “Saya
tidak mengetahui beliau saw puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan.”
Dalam riwayat Muslim yang lain, Aisyah menceritakan,
“Saya tidak pernah melihat beliau puasa sebulan penuh sejak menetap di Madinah,
kecuali bulan Ramadhan.” Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Ibnu Abbas berkata, “Tidaklah
Rasulullah saw berpuasa satu bulan penuh selain Ramadhan,” (HR Bukhari No.
1971 dan Muslim No.1157).
Ibnu Hajar menambahkan, “Puasa beliau saw pada
bulan Sya’ban sebagai puasa sunnah lebih banyak daripada puasanya di selain
bulan Sya’ban. Beliau puasa untuk mengagungkan bulan Sya’ban.”
Tentu bukan tanpa alasan mengapa Nabi saw memperbanyak
puasanya di bulan Sya’ban. Usamah bin Zaid pernah bertanya, “Ya Rasulullah,
saya tidak pernah melihatmu berpuasa dalam satu bulan dari bulan-bulan yang ada
seperti puasamu di bulan Sya’ban.” Beliau bersabda, “Itulah bulan yang manusia
lalai darinya antara Rajab dan Ramadhan. Ia merupakan bulan yang di dalamnya
diangkat amalan-amalan kepada rabbul
‘alamin. Saya suka untuk diangkat amalan saya sedangkan saya dalam keadaan
berpuasa,” (HR Nasa’i. Lihat:
Shahih Targhib wat Tarhib, hlm 425).
Dalam sebuah riwayat dari Abu Dawud (No. 2076), disebutkan,
“Bulan yang paling dicintai Rasulullah untuk berpuasa adalah Sya’ban kemudian
beliau sambung dengan Ramadhan.” (Dishahihkan oleh Al-Albani. Lihat: Shahih
Sunan Abi Dawud, II/461).
Begitu besar keagungan bulan Sya’ban, sampai-sampai
Ibnu Rajab mengatakan, puasa Sya’ban lebih utama daripada puasa pada bulan
haram (Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijah). Ibnu Rajab menambahkan, amal
sunnah paling utama adalah yang dekat dengan Ramadhan. Kedudukan puasa Sya’ban
di antara puasa lain sama dengan kedudukan shalat sunnah rawatib terhadap
shalat fardhu. Karena sunnah rawatib lebih utama daripada sunnah muthlaq dalam
shalat. Demikian juga puasa sebelum dan sesudah Ramadhan lebih utama daripada
puasa pada bulan lainnya yang jauh dari Ramadhan.
Rasulullah saw menjelaskan, orang-orang banyak yang
lalai dengan kehadiran bulan Sya’ban. Banyak yang mengganggap, puasa Rajab
lebih utama daripada puasa Sya’ban karena Rajab merupakan bulan haram. Padahal
tidak demikian. Dalam hadits itu pula terdapat dalil disunnahkannya
menghidupkan waktu-waktu yang sering dilalaikan manusia. Sebagaimana sebagian
orang-orang shalih terdahulu banyak yang suka menghidupkan waktu antara Maghrib
dan Isya dengan shalat. Mereka mengatakan saat itu adalah waktu lalainya
manusia. Pada jeda dua waktu shalat itu, manusia suka lalai.
Menghidupkan waktu-waktu yang sering dilupakan,
punya beberapa hikmah. Di antaranya, menjadikan amalan itu tersembunyi dan
tidak diketahui orang banyak. Menyembunyikan dan merahasiakan amal sunnah lebih
utama, terlebih puasa karena merupakan rahasia antara hamba dengan
Rabbnya.
Puasa mendidik kita untuk tidak riya’.
Bahkan, sebagian ulama salaf puasa bertahun-tahun tapi tidak ada seorang pun
yang mengetahuinya. Mereka keluar dari rumahnya menuju pasar dengan membekal
dua potong roti kemudian disedekahkan. Sementara dia sendiri tetap berpuasa.
Keluarganya mengira, dia makan dan orang-orang di pasar menyangka ia makan di
rumahnya.
Sebagian salafus shalih malah ada yang berusaha
sengaja menyembunyikan puasanya. Ibnu Mas’ud menuturkan, “Jika kalian akan
berpuasa maka berminyaklah (memoles bibirnya dengan minyak agar tidak terkesan
sedang berpuasa).” Qatadah menambahkan, “Disunnahkan bagi orang yang berpuasa
untuk berminyak sampai hilang kesan bahwa ia sedang berpuasa.”
Para ulama berbeda pendapat tentang sebab
Rasulullah saw sering berpuasa di bulan Sya’ban. Ada yang mengatakan,
Rasulullah saw biasa melakukan puasa pada ayyamul bidh (puasa tiga hari
setiap bulan). Karena bepergian atau
hal lainnya, sebagian terlewatkan. Maka
beliau mengumpulkannya dan mengqadhanya pada bulan Sya’ban.
Ada juga yang mengatakan, karena beberapa istri
beliau mengqadha puasa Ramadhannya di bulan Sya’ban, beliau pun ikut berpuasa.
Namun ini bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Aisyah bahwa dia
mengakhirkan membayar utang puasa sampai bulan Sya’ban karena sibuk bersama
Rasulullah saw.
Ada juga yang mengatakan, beliau saw berpuasa di
bulan Sya’ban karena pada bulan itu manusia sering lalai. Pendapat ini lebih
kuat karena adanya hadits Usamah menyebutkan, “Itulah bulan yang manusia lalai
darinya antara Rajab dan Ramadhan,” (HR Nasa’i. Lihat: Shahihut Targhib wat
Tarhib hlm. 425).
Bulan Sya’ban juga
menjadi warning (pengingat) bagi kaum Muslimin yang masih punya utang
puasa. Jika masuk bulan Sya’ban sementara masih tersisa puasa yang belum
dilakukan, bisa diqadha di bulan Sya’ban. Dengan demikian, ketika gerbang
Ramadhan terbuka, tak ada lagi utang tersisa. Kita pun bisa dengan nyaman
menikmati berkah Ramadhan.Hepi Andi Bastoni
Hp : 08170194560
Twitter : @andibastoni
FB : Hepi Andi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar