Suatu ketika Abu Ja’far al-Manshur, salah seorang
Khalifah Bani Abbasiyah, berselisih paham dengan istrinya, al-Hurrah. Sang
istri merasa diperlakukan tidak adil oleh suaminya. Ia pun bermaksud menuntut
keadilan pada orang ketiga.
“Baik,
siapa yang hendak engkau pilih sebagai penengah?” tanya Abu Ja’far.
“Imam
Abu Hanifah,” jawab al-Hurrah.
Abu
Ja’far al-Manshur pun setuju. Keduanya segera mendatangi Abu Hanifah yang kala
itu dikenal sebagai ulama yang berilmu dan berani memberikan jawaban dengan
benar meski di hadapan penguasa sekalipun.
“Istriku
meminta keadilan,” ujar Abu Ja’far.
Abu
Hanifah meminta sang Khalifah bicara.
“Saya
mau tanya, berapa wanita yang boleh menjadi istri seorang laki-laki dalam satu
waktu?” tanya Abu Ja’far.
“Empat!”
jawab Abu Hanifah.
“Berapa
budak wanita yang boleh dimiliki?” tanya Abu Ja’far lagi.
“Tidak
terbatas,” jawab Abu Hanifah.
“Kalau
istriku mengatakan hal yang bertentangan dengan itu, apakah bisa dibenarkan?”
tanya sang Khalifah lagi.
“Tidak,”
jawab Abu Hanifah.
Khalifah
Abu Ja’far al-Manshur lalu berkata kepada istrinya, “Jadi, engkau sudah tahu
alasan tindakanku?”
Imam Abu
Hanifah tersenyum lalu berkata, “Allah menghalalkan itu hanya untuk laki-laki
yang adil. Barangsiapa yang tidak berbuat adil, atau takut tidak mampu berbuat
adil, maka selayaknya tidak lebih dari satu istri. Allah SWT berfirman, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat
adil, maka kawinilah seorang saja,” (QS an-Nisa’: 3). Kita hendaknya bertindak dengan adab seperti
yang diajarkan Allah dan mengikuti petunjuk-Nya.”
Mendengar
kata-katanya, Khalifah Abu Ja’far al-Manshur diam seribu bahasa. Ia merasa salah
telah memperlakukan istrinya secara tidak adil. Ia pun segera meninggalkan
tempat itu dan kembali ke rumahnya.
Sementara
itu, ketika tiba di rumahnya, istri sang Khalifah yang merasa telah dibela oleh
Imam Abu Hanifah segera mengutus seorang pelayannya untuk membawa uang, pakaian
dan keledai sebagai hadiah untuk sang ulama. Al-Hurrah berharap hadiahnya
menyenangkan hati Abu Hanifah. Sebab, untuk mendapatkan hadiah dari istri
seorang Khalifah seperti dirinya tidak mudah. Tidak semua orang bisa mendapat
penghargaan tinggi seperti itu.
Namun
ternyata dugaan al-Hurrah salah. Abu Hanifah menolak hadiah tersebut. Kepada
sang pelayan yang mengantarkan hadiah itu, Abu Hanifah berpesan, “Sampaikan
salamku kepadanya. Aku hanya menjelaskan bab agamaku. Aku melakukannya semata
untuk Allah, bukan untuk seseorang. Aku tidak juga mencari kepentingan duniawi
dengan jawabanku itu.”
Hamdani
Tidak ada komentar:
Posting Komentar