Oleh : Hepi Andi Bastoni
IG : @HepiAndiBastoni
Penduduk Madinah kaget. Terutama orang-orang miskin. Hampir setiap malam,
ada saja yang mendapat rezeki besar! Nyaris setiap pagi, para penduduk miskin
itu menemukan satu karung besar gandum di depan pintu rumah mereka.
Berita itu terus menyebar dari mulut ke
mulut. Tapi sampai berlangsung lama, tak ada yang mengetahui siapa yang selalu
berbuat baik, mengantarkan bahan makanan ke pintu rumah mereka itu. Beberapa
orang mencoba menyelidik, tapi tetap tak berhasil melacak si pelaku.
Sampai akhirnya mereka kehilangan Ali
Zainal Abidin, seorang ulama zuhud kala itu. Ulama yang masih terbilang cucu
Ali bin Abi Thalib itu meninggal dunia. Madinah kehilangan seorang ulama.
Tapi yang merasa sangat kehilangan adalah para penduduk yang biasa
mendapatkan “rezeki” di depan pintu mereka setiap pagi. Sejak meninggalnya Ali
Zainal Abidin, mereka tak menemukan karung bahan makanan di depan pintu rumah
mereka lagi.
Semula mereka tak menyadari hal itu. Namun
ketika jenazah Ali Zainal Abidin diletakkan di atas tempat pemandian, mereka
melihat ada bekas-bekas hitam di punggungnya. Mereka baru yakin, orang yang
selama ini memanggul karung makanan dan mengantarkannya ke rumah-rumah
penduduk miskin di hampir setiap malam adalah Ali Zainal Abidin. Tanda hitam di
punggungnya itu adalah bekas memanggul karung bahan makanan.
Banyak cerita menarik tentang perilaku
cucu Ali bin Abi Thalib ini. Selain kisah di atas, ia juga dikenal sering
memerdekakan sahayanya. Bahkan riwayat menyebutkan, Ali Zainal Abidin sempat
memerdekakan sampai seribu orang budak. Ia tak pernah menjadikan salah seorang
dari sahayanya yang mengabdi lebih dari satu tahun.
Paling tidak ada dua hal menarik yang
bisa kita ambil sebagai pelajaran dari sosok Ali Zainal Abidin ini. Pertama,
tentang perhatian Ali Zainal Abidin terhadap rakyat. Kendati tidak menjabat
apa-apa, tapi kepeduliannya terhadap masyarakat miskin sangat besar. Ini
dibuktikan dengan tindakannya memanggul bahan makanan dan mengantarkannya
ke rumah-rumah rakyat miskin. Padahal ia tak punya kepentingan apa-apa. Bahkan,
untuk dikenal pun tidak.
Bandingkan dengan para penguasa dan
orang-orang kaya saat ini. Kekuasaan dan kekayaan tidak digunakan untuk
menolong mereka yang lemah, tapi justru dipakai untuk mewujudkan kepentingan
sendiri. Kekuasaan digunakan untuk memperkaya diri. Dan, kekayaan digunakan
untuk melanggengkan kekuasaan. Dua hal yang saling mendukung.
Padahal, seharusnya para pemimpin adalah
pelayan rakyat. Karenanya, dalam haditsnya Rasulullah saw menyebut pemimpin itu
dengan kata ra’iin (penggembala). Sebuah perumpamaan yang sangat
tepat. Sebab, tugas seorang penggembala, tak hanya mencarikan lahan makanan
untuk hewan ternaknya, tapi juga menjaga agar gembalaannya tetap aman dari
ancaman binatang buas.
Penggembala adalah seorang pengayom dan pelayan gembalaanya.
Begitulah hendaknya seorang pemimpin.
Seharusnya ia menjadi pengayom rakyat dan pelindung bagi orang-orang lemah.
Bukan sebaliknya, menindas dan memeras kekayaan rakyat.
Kedua, sirriyatul
‘amal (merahasiakan perbuatan). Tak banyak yang bisa melakukan hal ini.
Tapi justru di sinilah letak kemuliaan itu. Meskipun menginfakkan harta secara
terang-terang itu baik, tapi orang yang menginfakkan hartanya secara
sembunyi-sembunyi jauh lebih baik. Allah berfirman, “Jika kamu menampakkan
sedekah(mu), maka itu adalah lebih baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya
dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih
baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu,
dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS al-Baqarah: 271).
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw
menggolongkan orang yang menginfakkan hartanya secara sembunyi-sembunyi dalam
tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan di hari tidak ada naungan kecuali
naungan Allah.
Hal ini tak hanya berlaku dalam hal
menginfakkan harta, tapi juga dalam melakukan kebaikan. Berbuat baik dengan
cara sembunyi-sembunyi mampu memelihara kualitas amal dan menghindarkannya
dari sikap riya’. Kaidah Inilah yang menjelaskan mengapa shalat malam, di saat
orang-orang sedang tidur, itu sangat baik. Suasana di dua pertiga malam, tak
hanya menambah kekhusyu’an, tapi juga memelihara hati dari sikap riya’.
Tak heran kalau para mujahid dulu,
ketika beristirahat di tengah letihnya perang di kegelapan malam, sedikit di
antara mereka yang berada dalam tenda. Mereka berpencar mencari tempat-tempat
terpencil, di balik batu atau pohon besar. Bukan mencari tempat yang aman untuk
istirahat, tapi mencari lokasi yang baik dan jauh dari pandangan manusia untuk
beribadah. Karenanya, di antara doa yang gampang diijabah oleh Allah
adalah doa seorang Muslim kepada saudaranya tanpa sepengetahuan yang didoakan.
Begitulah seharusnya seorang Mukmin.
Sungguh berbeda dengan perilaku para pejabat dan orang-orang kaya saat ini.
Mereka tak mau menginfakkan hartanya jika tak ada kepentingan. Sebaliknya, jika
ada kepentingan, mereka jor-joran mengeluarkan dana. Misalnya,
menjelang Pemilu. Untuk memastikan dirinya terpilih sebagai anggota legeslatif
atau presiden, mereka mau mengeluarkan dana besar. Akibatnya, ketika dirinya
terpilih, yang ada dalam benaknya adalah bagaimana mengembalikan uang tersebut
secepat mungkin bersama labanya.
Memelihara diri dari sikap riya’ ini
begitu penting. Jika tidak, ia bisa menjadi virus penyebab hilangnya pahala
ibadah. Lantaran riya’, ibadah bisa tak berarti apa-apa. Bahkan, riya’ tak
hanya bisa menggerogoti pahala ibadah, tapi juga menyebabkan si pelaku menjadi
musyrik. Pelaku riya’, cenderung berbuat bukan atas dasar ridha Allah, tapi
karena ingin dipuji atau disenangi manusia. Ini sama saja dengan berbuat bukan
karena Allah, tapi karena manusia. Orang yang beribadah bukan karena Allah,
bisa digolongkan musyrik. Karenanya, Rasulullah saw menyebut riya’ dengan
syirik kecil.
Di tengah penderitaan yang terus mendera
bangsa ini, diperlukan sosok seperti Ali Zainal Abidin. Sosok yang tak hanya
mau berbuat, tapi juga tak ingin perbuatannya diketahui orang banyak. Ikhlas, semata
karena Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar