Oleh: Hepi Andi Bastoni
Instagram: @hepiandibastoni
Matahari sudah condong ke barat. Sesaat lagi malam akan
menyelimuti siang. Tetapi entah mengapa, sore itu terasa panas bagi Khalifah
Harun ar-Rasyid. Nampak tergesa ia keluar dari istananya, menemui Fudhail bin
Rabi', seorang bawahan terdekatnya yang
biasa dipanggil Abu Abbas. "Hatiku gundah. Tunjukkan padaku orang yang
bisa menenteramkannya,” ujar sang Khalifah.
Fudhail bin Rabi’ segera
mempertemukan sang Khalifah dengan Sufyan bin Uyainah dan Abdullah ar-Razzaq
bin Humam, dua ulama terkenal kala itu. Sang Khalifah sempat membantu keduanya
melunasi utang masing-masing. Namun, Harun ar-Rasyid masih merasa belum puas.
”Hatiku belum tenteram. Tunjukkan lagi orang yang bisa kumintai bantuan,” ujar
Harun ar-Rasyid.
"Kita temui Fudhail bin lyyadh,” jawab Fudhail bin Rabi'.
Beberapa saat kemudian, keduanya
sudah tiba di depan pintu rumah Fudhail bin Iyyadh. Saat itu, sang ulama sedang
membaca al-Qur'an. "Rasanya aku tak punya urusan dengan Amirul
Mukminin," terdengar suara agak keras dari dalam rumah begitu Harun
ar-Rasyid mengucapkan salam dan memperkenalkan diri.
Abu Abbas menyambung, "Maha Suci Allah, apakah engkau tidak taat pada
pemimpin?"
Fudhail bin lyyadh lantas turun dan
membukakan pintu. Lalu ia kembali ke kamarnya, memadamkan lampu, dan duduk di
pojok ruangan yang gelap. Harun ar-Rasyid dan Abu Abbas segera masuk sambil
mencari-cari pegangan di ruangan yang gelap itu. Rupanya Harun ar-Rasyid lebih
dulu menggapai tangan Fudhail bin lyyadh. Seketika ia berkata, "Wahai
orang yang lembut tangannya, semoga kelak engkau selamat dari siksa Allah.
Terimalah apa yang aku antarkan untukmu ini. Semoga Allah mengasihimu."
"Ketika Umar bin Abdul Aziz
menjadi khalifah, ia menganggap jabatan sebagai bala'. Ia pernah mengundang Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka'ab,
dan Raja' bin Haywah, lalu meminta nasihat dari mereka,” papar Fudhail bin
Iyyadh. Ia pun memaparkan beberapa nasihat tiga tokoh itu pada Harun ar-Rasyid.
Setelah berkata panjang lebar,
Fudhail bin lyyadh melanjutkan ucapannya, "Begitulah Umar bin Abdul Aziz.
Sedang engkau menganggap khilafah sebagai nikmat. Sekarang aku berkata kepadamu
wahai Khalifah Harun ar-Rasyid, ‘Aku sangat mencemaskanmu kelak, ketika
tapak-tapak kaki manusia tergelincir dari shirathal
mustaqim. Sudahkah ada orang yang menasihatimu tentang hal itu?’
Harun
ar-Rasyid menangis sejadi-jadinya. Mukanya ditutup dengan kedua tangan. Setelah tangisnya agak reda, Harun ar-Rasyid berkata,
"Teruskan nasihatmu."
"Wahai Amirul Mukminin, seorang
pegawai Umar bin Abdul Aziz pernah diadukan kepadanya. Umar bin Abdul Aziz
segera mengiriminya surat yang berbunyi, 'Saudaraku, ingatlah betapa lamanya
penghuni neraka di neraka. Takutlah akan murka Allah. Jika murka itu datang,
putuslah semua harapan,’”
Setelah membaca surat itu, si pegawai meninggalkan jabatannya. Sampai Umar
bin Abdul Aziz datang dan menanyakan kenapa ia tinggalkan jabatan itu. “Aku
tergugah oleh suratmu. Sejak itu aku tidak mau lagi memegang jabatan sampai Allah
memutuskan ajalku,” jawab pegawai itu.
Harun ar-Rasyid kembali menangis. Dengan suara parau ia paksakan berkata,
"Tambahkan nasihatmu, Fudhail."
"Wahai Amirul Mukminin,
sesungguhnya Abbas, paman Rasululah pernah datang kepada Rasulullah dan
berkata, ‘Wahai Rasululah, berilah aku jabatan.'
Rasulullah saw menjawab, 'Sekiranya engkau bisa untuk tidak jadi pejabat,
lakukanlah’.”
Harun ar-Rasyid menangis lagi.
Semakin lama semakin keras. Tak lama kemudian dengan terbata-bata ia berkata,
“Tambahkan nasihatmu, aku berdoa semoga Allah mengasihimu.”
"Wahai Amirul Mukminin, engkau
memiliki wajah tampan. Tentu di akhirat nanti engkau akan meminta kepada Allah
wajah yang tampan. Maka, jika engkau mampu menjaga wajah ini dari api neraka,
lakukanlah."
Mendengar itu, Harun ar-Rasyid tak
kuasa menahan tangisnya. Air matanya deras bercucuran. Dan isak tangisnya
tinggal satu dua ketika kemudian ia bertanya, "Apakah engkau punya
utang?"
"Benar, aku punya utang kepada
Rabbku. Dia akan menghisabku atas utang itu. Celakalah aku jika Dia tidak
menghiraukan permohonanku," sahut Fudhail.
Kembali air mata Harun ar-Rasyid
meleleh. "Ini ada seribu dinar, ambillah untuk menafkahi keluargamu dan
untuk memperlancar ibadahmu."
Fudhail bin lyyadh segera menyahut,
"Maha Suci Allah, aku telah menunjukkan kepadamu jalan kebaikan dan
keselamatan. Tetapi rupanya engkau hendak membalasku seperti ini. Semoga Allah
memberimu petunjuk."
Dengan segala cara, Harun ar-Rasyid membujuk Fudhail agar menerima
pemberiannya. Namun Fudhail hanya duduk diam di tengah pintu rumahnya.
Tiba-tiba seorang budak perempuan keluar dari dalam seraya berseru, “Sebaiknya
kalian segera pergi. Sejak tadi kalian telah menyusahkan tuan saya ini."
Khalifah
Harun ar-Rasyid, penguasa Abbasiyah yang beristana di Baghdad itu pun pergi.
Apa yang mengganjal di hatinya telah teraduk-aduk menjadi berbagai rasa yang
berkecamuk. Obat hati yang sejak tadi dicari telah ia dapatkan.
Paling tidak, ada dua pelajaran
menarik dari penggalan kisah perjalanan hidup Khalifah Kelima Daulat Abbasiyah
ini. Pertama, sifat rendah hatinya yang mau menyambangi ulama.
Sifat ini ini tak banyak dimiliki para penguasa sekarang. Sedikit di antara
mereka yang mau meminta pendapat dari para ulama. Ketika hati mereka gundah,
mempunyai banyak masalah, obat yang dicari bukan dari ulama, tapi tempat-tempat
hiburan berbau maksiat.
Kalau pun ada di antara para penguasa yang mau meminta pendapat, orang yang
dicari adalah ulama yang sependapat dengan mereka. Biasanya, mereka tidak
mendatangi ulama, tapi memanggilnya. Sang ulama pun akan tergopoh-gopoh
memenuhi panggilan para penguasa. Padahal, sebaik-baik penguasa adalah yang
mendatangi ulama. Dan, seburuk-buruk ulama adalah yang mendatangi penguasa.
terkait menasihati penguasa, apakah jalan aksi/demonstrasi dibenarkan dalam islam ustadz? hal ini marak di kalangan mahasiswa, terkadang sampai bolos, dan tdk izin orang tua. Mohon tanggapannya ustadz, Jazakallah.
BalasHapus