Oleh: Hepi Andi Bastoni
Instagram: @hepiandibastoni
Hisyam bin Abdul Malik,
Khalifah Kesepuluh Daulat Umayyah, ingin menguji seberapa kuat hapalan Imam
az-Zuhri, seorang ahli hadits di masanya. Sang Khalifah ingin az-Zuhri mendiktekan
hadits kepada anaknya dengan dibantu seorang jurutulis tanpa melihat catatan.
Dengan lancarnya Imam az-Zuhri mendiktekan empat ratus hadits Rasulullah saw.
Beberapa bulan kemudian, Khalifah Hisyam kembali memanggil Imam az-Zuhri.
Kepadanya Khalifah berpura-pura menyatakan kekecewaannya lantaran hilangnya
catatan empat ratus hadits beberapa waktu lalu yang didiktekan sang Imam.
Menanggapi keluhan itu, Imam az-Zuhri menjawab, “Anda tidak usah khawatir, saya
masih cukup segar menghapalnya. Yang penting siapkan saja jurutulis untuk saya
diktekan lagi!”
Setelah segalanya siap, Imam az-Zuhri
mulai mendiktekan empat ratus hadits Rasulullah yang kata sang Khalifah
hilang. Si Jurutulis mencatatnya dengan cermat setiap kata yang keluar dari
lisan sang Imam. Setelah selesai, diserahkanlah catatan itu kepada Khalifah
Hisyam. Khalifah mencek dan mengkonfrontasikan dokumen baru itu dengan
catatan lamanya. Ternyata hasilnya luar biasa. Tak ada satu kata pun yang
berbeda antara catatan lama dengan catatan baru. Kedua catatan yang berisi
empat ratus hadits itu persis sama! Atas dasar itulah Khalifah Hisyam menyuruh
sang Imam mengajarkan hadits pada anaknya.
Imam az-Zuhri adalah orang pertama yang
membukukan hadits. Langkahnya diikuti pakar-pakar hadits sesudahnya sehingga
lahirlah kitab-kitab hadits mu’tabar. Di antaranya, al-Muwaththa’ susunan
Imam Malik; Shahih Bukhari oleh Imam Bukhari, Shahih Muslim oleh
Imam Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya yang tak terhitung jumlahnya.
Sebagian besar hadits yang diriwayatkannya
jarang diriwayatkan orang lain. Dengan demikian, haditsnya akan melengkapi dan
memperkaya hadits lain. Imam az-Zuhri amat cermat menilai sanad hadits. Dialah
yang mendorong agar perawi menyebutkan sanad ketika meriwayatkan hadits. Sebab,
tanpa sanad siapa pun bisa berbicara apa saja yang dimaui tanpa diketahui
apakah itu hadits shahih atau bukan.
Banyak hal yang bisa kita teladani dari
sosok perawi hadits ini. Di antaranya, ketajaman otaknya dan kekuatan
hapalannya yang tak tertandingi. Dengan kekuatan hapalan yang luar biasa itu,
Imam az-Zuhri berhasil menghapal al-Qur’an hanya dalam waktu yang amat pendek:
delapan puluh hari! Sungguh luar biasa!
Selain itu, Imam az-Zuhri merupakan
sosok pengabdi hadits sejati. Ia mempunyai kumpulan hadits yang jumlahnya
mencapai dua ribu lebih. Ia juga mengkader murid-muridnya dengan jalan
mengajar, membiayai dan memfasilitasi segala keperluan yang mereka butuhkan.
Dalam hal ini Imam Malik menuturkan, Imam az-Zuhri mengumpulkan orang-orang yang
belajar hadits dan memberikan makanan dan perlengkapan lainnya dalam musim
dingin atau musim panas.
Imam Malik sendiri pernah memberikan
kesaksian akan kewibawaan Imam az-Zuhri, gurunya ini. “Jika Imam az-Zuhri
memasuki Madinah, tak seorang pun ahli hadits yang berani menyampaikan hadits
di depannya sampai ia beranjak keluar dari kota itu,” papar Imam Malik.
Masih menurut Imam Malik, jika sejumlah
ulama senior datang ke Madinah, orang-orang tidak begitu antusias menyambut mereka
dibandingkan dengan kedatangan Imam az-Zuhri. Jika Imam besar ini datang, maka
penduduk pun beramai-ramai berdesak-desakan memohon fatwanya.
Pakar hadits yang bernama asli Muhammad
bin Syihab az-Zuhri ini lahir pada 50 H pada periode akhir masa sahabat.
Meskipun demikian ia masih sempat bertemu dengan beberapa sahabat ternama. Di
antara mereka adalah Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah dan
Sahal bin Saad. Mereka adalah ahli di bidang hadits. Di samping itu, ia juga
masih mendapatkan rujukan lain dari para tabi’in senior, seperti Abu Idris
al-Khaulani, Salim bin Abdullah bin Umar, Said bin Musayyab dan tokoh-tokoh
tabi’in senior lainnya. Imam az-Zuhri wafat pada 124 H.
Sangat disayangkan, buah koleksi haditsnya
hilang tak tentu rimba. Kita kehilangan perbendaharaan ilmu yang berharga melebihi
nilai emas dan perak.
Dalam keadaan situasi seperti sekarang,
mengharap lahirnya Imam az-Zuhri baru, tentu bagai bermimpi. Apalagi, di tengah
carut marutnya bangsa, kita juga sedang mengalami kelangkaan ulama sejati. Merekalah
para ulama yang tak hanya mampu menguasai ilmu, tapi juga bisa menjaganya.
Tentu, menjadi penjaga ilmu jauh lebih sulit ketimbang menjadi pencarinya.
Menjaga hapalan al-Qur’an, tentu jauh lebih sulit ketimbang menghapalnya.
Karenanya, tak heran kalau kita saat ini
menemukan banyak orang yang pernah menghapal al-Qur’an, tapi berapa banyak
yang mampu menjaga hapalannya. Apalagi hadits yang jika dibandingkan dengan
al-Qur’an menempati urutan kedua. Tentu kepedulian para ulama akan lebih
berkurang.
Hal ini terkait langsung dengan watak
dan moral para ulama. Bagaimana mungkin mereka yang mengaku ulama akan mampu
menjaga ilmunya, kalau watak mereka jauh dari nilai-nilai Islam. Seperti
dinasihatkan Imam Waqi’ pada muridnya, Imam Syafii, ilmu itu cahaya, dan
cahaya Allah takkan diberikan pada ahli maksiat.
Sepertinya, dalam keadaan negeri yang
carut-marut ini berharap lahirnya sosok seperti Imam az-Zuhri dan empat imam
madzhab lainnya, benar-benar seperti mimpi. Mustahil akan terwujud.
Kita dapat bayangkan bagaimana nasib
sebuah bangsa yang kekeringan ulama. Ulama ibarat suluh. Mereka bagai lampu.
Penduduk negeri yang kekurangan ulama laksana mereka yang berjalan di tengah kegelapan.
Tak tahu arah ke mana yang harus dituju. Beginilah nasih negeri ini. Penduduknya
gamang, bingung,dan linglung. Jika demikian keadaan penduduknya, begitu juga
keadaan pemimpinnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar